BULU kuduk Tangi Inen Sulastri meremang ketika bahunya ditepuk Adam Aman Mahdi dari belakang. "Asu. Mengapa pegang-pegang," kata Tangi. Ia marah. Adam tak peduli. Sudah lama dia kesengsem pada wanita 25 tahun itu. Sejak wilayah sensitifnya itu disentuh, Tangi tak mampu melupakan Adam yang pernah dibencinya. Pertemuan ketika mereka menonton tari bines -- kesenian Gayo, menari sambil berpantun setahun lalu itu berlanjut. Tengah malam, Adam mengendap-endap ke rumah Tangi, tetangganya di Simpang Tiga Mungkur. Desa yang 60 km dari Kota Takengon itu di Kecamatan Linge Isaq, Kabupaten Aceh Tengah. Dalam kesempatan itu, yang terjadi kemudian bahwa mereka bercinta sampai lemas. Mereka mengulanginya di waktu lain. "Saya puas. Saya mencintaimu, Tangi," kata Adam. Nikmat seperti itulah awal iblis merasuk Adam, yang akhirnya ingin memiliki Tangi. "Racun saja suamimu," kata Adam kepada Tangi. Bujukan itu ditolak. "Saya tak sanggup membunuhnya. Dia baik kepada saya. Juga kepadamu," ujar Tangi. Sejak kecil, Adam memang sudah bersahabat dengan Salikin, suami Tangi. Mereka sering bersama menjala ikan, dan berburu rusa. Hubungan Sari Inen Mahdi, istri Adam, dengan Tangi juga kental. Kalau Sari berbelanja, Tangi menitipkan belanjaan. Begitu sebaliknya. Mereka sering tukar-menukar lauk, dan saling mengunjungi. Yang terpendam di hati Adam, 30 tahun, rupanya lain. Ia tak cuma melirik Tangi, malah mulai merayu. "Saya ingin anak saya lahir dari rahimmu," kata Adam, suatu kali. Berkali-kali si perempuan selalu mengingatkan Adam bahwa mereka sudah sama-sama berkeluarga. Bangkit muak Tangi pada Adam, ayah 3 anak itu. Tidak. Malah Adam jadi tegar. "Kalau begitu, saya yang akan membunuh dia," kata Adam. Semula Tangi menyangka Adam ingin berolok-olok. Tapi dugaannya keliru. Sabtu subuh, 10 Januari 1987, Adam menuju ladang Salikin di Alur Corong, 5 km dari desa itu. Di tengah jalan, dia bertemu Salikin, 29 tihun. Pagi itu mereka sepakat mengutip cabe. Ketika mereka bekerja, Adam mengatakan dia akan menikah dengan Tangi. "Dia tak menyukaimu. Dan kau akan saya bunuh," kata Adam. Dan Adam, secepat suaranya, sudah mengayunkan golok. Salikin gagal menghindar. Tiga tebasan membuka luka di leher kiri kanan dan pelipis kiri dekat mata Salikin. Korban tersungkur bersimbah darah. Adam belum puas. Dia menendang konconya itu hingga menggelinding, tertahan pada sebatang kopi. Esoknya, Abdullah Aman Syukur, pemilik kebun kopi, berteriak melihat mayat Salikin. Tak seorang penduduk desa itu curiga kepada Adam. Katanya, Salikin diserang harimau, karena tangannya menggenggam bulu raja hutan itu. Syahdan, pendek kisah, Adam akhirnya menikah dengan Tangi -- pertengahan Mei lalu. Setelah menjual dua ekor kerbau, Adam membangun rumah untuk Tangi, persis di sebelah rumahnya yang lama. Mula-mula, mereka akur saja. Belakangan, Adam lebih sering tidur di rumah Tangi. Tak tahan, Sari, 26 tahun, bertanya kepada madunya, "Kau melarang Adam tidur dengan saya?" Tangi membantah. Lain hari dia mendorong Adam supaya pergi ke bilik Sari. "Kalau tidak, ceraikan saya," kata Tangi. Sari juga menuntut cerai. Rupanya, Adam tak kunjung menghampirinya. "Saya jadi bingung," kata lelaki berotot dan berdagu petak itu. Lalu, terlintas niat membunuh Sari. Minggu subuh, 25 Oktober lalu, dia keluar dari kamar Tangi ketika tahu Sari meninggalkan rumah menuju permandian, di belakang rumah. "Sari, saya akan membunuhmu," kata Adam kepada Sari, yang jongkok buang hajat besar di tepi sungai. Sari menjawab, "Terserah Abang saja." Kontan, Adam memukulkan gagang tembilang yang dibawanya, ke tengkuk Sari. Adam menyentap kalung dari leher bininya itu. Kemudian, dia mendorong Sari ke sungai. Adam kembali ke rumah. Dan dengan langkah biasa ia berangkat ke sawah. Pukul 10 pagi, Adam balik ke rumah. Kepada orang sekampung, dia bertanya di mana bininya, dan mendesak Jali Aman Suar, Sekretaris Desa, mengerahkan penduduk mencari Sari. Akhirnya, mayat Sari ditemukan diapit kayu di sungai itu. Adam menangis. Dan seperti pada kematian Salikin, Adam duduk dalam barisan takziah serta membacakan tahlil untuk Almarhumah. Lain dengan Serma Syamsuara Mach, Kapolsek setempat, yang bermata jeli, setelah ia beranalisa di antara tewasnya Salikin dan Sari. Adam diperiksa. Dan ia gagap ketika kalung Sari yang putus ditemukan di balik baju Adam. Dia mengaku, tapi tak sedih. "Biasa saja," katanya enteng kepada TEMPO, ketika pada 22 November lalu peristiwa itu direkonstruksikan. Adam yang tak tamat SD itu mengatakan, dia merindukan kasih sayang. Dan itu belakangan ia dapat dari Tangi yang tak ditahan polisi tapi bakal jadi saksi itu. Adam yatim piatu ketika 15 tahun. Anak bungsu dari delapan bersaudara ini, tiga tahun setelah kematian orangtuanya, menikah dengan Sari, yang baru dikenalnya sehari. Sekarang dia mengaku memang tak cinta pada Sari. Biasa. Monaris Simangunsong & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini