Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menangkis Ilmu Pedang Pekir

Cara menyantet, berbeda-beda antara tiap dukun. Pengusir santet juga berbeda-beda cara pengobatannya masyarakat menanggulangi bahaya santet dengan memasang penangkal. Percaya kepada tuhan harus ditanamkan.

5 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUKUN santet itu menganggap dirinya lebih hebat dari Tuhan? "Bumi ini milikku, langit ini milikku". Itulah bunyi salah satu mantra teluh yang diamalkannya. Merasa sangat berkuasa, ia terperangkap takabur. Sedangkan yang sudah putus asa, lebih percaya si dukun dan lupa pada kekuasaan Tuhan. Padahal, menurut agama, itu syirik, menyekutukan Allah. Bukan rahasia bahwa sementara kalangan yang menyebut dirinya modern, di kota, juga "membudaya" pada dukun. Misalnya ada yang "minta" agar teman sekerjanya celaka, atau disayangi majikan, gila pangkat, dan kepingin terpandang dengan kedudukan tinggi. Pokoknya, dukun tetap laris, deh. Maka, air minum dalam gelas yang sudah "mengandung" mantra, bila diminumkan kepada seseorang -- yang jadi sasaran teluh -- bisa menyebabkan ia celaka. Dan itulah, sebagai contoh, konon "resep" Mbah Pramu, dari Probolinggo, Jawa Timur. Sekarang ia "bertapa" di sel polisi (lihat Ganyang Modong ....) Padahal, mereka yang minta tolong kepada dukun santet untuk mengirim teluh atawa tenung kepada orang yang tak disukai, itu merupakan akal bulus. Ini pendapat Kartoredjo, 58 tahun. Ia orang tua di kawasan hutan jati di Tuban, Jawa Timur. Ia biasa "mengirim" santet, karena dipesan orang. "Tapi tak semua saya layani," katanya. Ia mengaku perbuatan itu jahat dan dosa. "Itu akal licik untuk mencelakakan orang lain, karena dia terpepet, dan tak berani menghadapi lawan. Maka, hanya kepada orang yang kepepet dan tertindas itu baru saya bersedia membantu," kata Karto. Ia menyebut amalannya sebagai "ilmu ronggolawean" -- diambil dari nama Bupati Ronggolawe yang memberontak kepada pemerintah pusat di Majapahit. Seperti layaknya pengamat politik, katanya, "Pemberontakan itu karena kepepet, setelah lama menahan diri." Dan, ini masih menurut Karto, ilmu santet sebenarnya berasal dari ilmu kanuragan (kesaktian) sebagai bekal prajurit Tuban. Dalam perkembangan dari zaman ke zaman -- setelah diotak-atik dan dijaili -- lalu bisa dipakai untuk mencelakakan orang lain. Ilmu ronggolawean ia peroleh pada 1950. Gurunya, Santiaji. Ia tak makan dan minum selama 40 hari suntuk, di pantai Laut Jawa. Lalu "puasa" membisu, masih juga 40 hari suntuk. Setelah itu, ia diajak gurunya jalan kaki keluar-masuk semua desa di Tuban. Lulus. "Menyantet itu gampang," katanya. Sediakan kembang setaman (ramuan bermacam bebungaan) tanpa kemenyan. Juga harus jelas: nama, tanggal, dan hari lahir jangan lupa weton atau hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing) dan nama ibunya yang melahirkannya. Kemudian Mbah berpuasa sehari suntuk. Usai itu ia membaca mantra, yang katanya, "Ah, itu rahasia" -- tanpa menyebut nama sasaran korban. Jika meleset? "Kemungkinannya kecil. Sebab, nama dan tanggal lahir, berikut pasaran-nya, apalagi nama ibunya, 'kan untuk setiap orang pasti tak sama," katanya. "Lebih mudah lagi bila ada foto yang mau disasar," tambah Karto. Tenang dia. Di Nusa Tenggara Timur, teluh itu disebut ilmu leo-leo. Biasanya menganiaya korbannya tengah malam, sambil duduk pada kain putih dan menghadapi semangkuk air putih. Tentu ada komat-kamit baca mantra. Bila calon korban sedang tidur, maka ruhnya bisa terpanggil, katanya. Dan muncullah "wajah" yang disasar, dalam air mangkuk itu. Pada pusat konsentrasi, sang dukun menikam bayangan itu dengan belatinya. Cara ini juga disebut ilmu pedang pekir. Ada pula dukun santet yang menggunakan seekor tawon yang dimasukkan dalam kotak korek api. Sembari membaca mantra tertentu, memusatkan pikiran, minta bantuan setan, jin, iblis, korek api itu dipelototi, sementara "permohonan jahat" diucapkan berulang kali. Pada hari ke-40 di malam Jumat, korek api berisi tawon itu ditiup dan si korban diperkirakan bisa blaasss. Bahwa "budaya santet" biasanya muncul di kalangan masyarakat yang tingkat sosial dan pendidikannya rendah, diakui Ketut Nuada, 58 tahun. Ia banyak mengenal leak. "Tapi leak tak bisa membunuh, hanya menyakiti," kata bekas anggota DPRD Badung, Bali, itu. Gangguan leak, biasanya, lantaran "hawa panas" dalam diri seseorang dihidupkan si penyantet. Rasa panas itulah yang menyiksa. "Tapi kalau orang yang jadi sasaran memiliki pribadi kuat, hawa panas itu tak akan dirasakannya," ujar Nuada. Ada dua cara mempelajari ilmu ini, yaitu dari tulisan-tulisan mengenai leak, mungkin pada lontar-lontar kuno, atau menelan ajaran seorang dukun. Yang menempuh cara kedua itu sering menampakkan diri sebagai binatang jadi-jadian: anjing, babi -- tergantung kehendak si penyandang leak. "Jika sudah berupa binatang jadian, makanan juga barang busuk. Jenis ini banyak dijumpai di pedesaan yang tingkat pendidikannya rendah," tambah Nuada. Dan menangkal santet itu bermacam jenis. Untuk "memagar" begu ganjang, misalnya, orang Batak mamajang patung-patung berukir yang disebut gana-ganaan, juga azimat-azimat lain. Ini masih disertai dengan reramuan yang bahannya ditentukan oleh datu alias parbaringin, dukun, dan diperkuat dengan mantra. Jika diperkirakan roh korban itu "ditangkap" oleh si begu, dibuatlah patung-patung kecil dari batang pisang atau enau. Disebut porsili, yaitu memindahkan penyakit itu ke tubuh patung, untuk disajikan kepada si begu, plus sesajennya. Tetapi ada juga "orang tua" yang memberi tangkal "pagar" lebih dulu kepada pasiennya. "Orang tua" itu, misalnya, Pater Loogman, 50 tahun -- alias Endrikus Handoyo Lukman. Pastor Katolik di Purworejo, Jawa Tengah, itu terkenal sering mengobati pasien yang kena santet. Pertengahan November lalu ia praktek empat hari di Cirebon. "Untuk menyembuhkan korban, dia harus dilihat langsung. Kalau orangnya tak kuat, ia biasanya saya rawat dulu. Setelah fisiknya sehat, baru sumber teluh itu saya hantam. Dan pasien itu saya bentengi," kata Handoyo, yang tinggal di sini sejak 1965. Ia mengaku ilmu itu dipelajarinya sendiri sejak 1974. Caranya? Ia merahasiakannya. Yang tak suka main rahasia adalah Ki Mahmud Jaya Kusumonegoro, 54 tahun. Ia bekas ketua Yayasan Parapsikologi Semesta, Jakarta. Untuk menangkal santet, katanya, sekeliling rumah ditabur reramuan: garam, merica, ketumbar, kencur, kacang hijau, beras. Tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan, antara lain, kayu limo, daun widoro putih yang banyak tumbuh di beberapa pekuburan lama. Juga boleh dipakai, akar tunjang dan akar angin beringin putih atau beringin seto, kayu nogosari. Kalau penyakitnya belum parah benar, cukup dioles dengan tumbukan garam, kencur, beras pada bagian tubuh yang sakit. Bisa pula dengan air putih atau air garam, air kelapa gading, atau kelapa hijau. Doanya? "Wah, itu rahasia," ujar Ki ngakak. Penduduk di kampung-kampung biasanya lebih percaya dengan menanam daun talas hitam dibelakang rumah, untuk menangkal santet. Tapi ada juga yang menanam empat telur angsa busuk di empat sudut rumah. Lain lagi dengan Muhammad Hijrah (nama samaran), 40 tahun. "Kiai" dari Gresik ini dikenal di Jawa Timur sebagai pengusir setan santet. Biasanya ia langsung berhadapan dengan korban, lalu langsung menggebrak, tanpa menyentuh tubuh pasien. Yang dikerjai adalah bagian tubuh pak kiai sendiri. Kepala diurut, ditimpuk, leher dibetot, dada ditepuk dan dipukul, perut dipijit, juga telapak kakinya. Pasien tak merasakan apa-apa -- cuma berkeringat dan tubuhnya lemas. "Tapi itu bila santetnya hanya main-main. Kalau santetnya serius, terpaksa saya panggil dukun yang bikin ulah itu," katanya. "Ia menjerit kesakitan. Tapi yang menjerit itu sebetulnya si dukun santet," tambah Hijrah. Dan ia tak percaya ada santet berbobot. "Yang berbobot itu ongkos sesaji dan upah dukunnya. Kalau soal santet itu sama saja, karena itu pekerjaan iblis," katanya, tangkas. Karena itu, ia tak setuju berita orang yang disantet dibesar-besarkan. Menurut dia, melawan santet itu memang sangat gampang: tawakal, beriman, dan bersyukur atas nikmat rezeki dari Tuhan. Dan Tuhan, memang sumber penangkal yang tak ada duanya di dunia. "Bila terjadi kegersangan iman," kata Ephorus HKBP, Dr. S.A.E. Nababan, "orang juga mudah percaya adanya beguanang dan memperalatnya untuk mencelakakan orang lain. Kalau gereja benar hidup, maka orang Batak Kristen tak akan terlibat perbuatan kafir itu." Karena itu, memang perlu "pencerdasan", dan tentu saja menanamkan landasan ketaatan beragama -- seperti kata Tb. Ronny Nitibaskara. Dosen antropologi budaya kriminologi FISIP UI ini banyak mempelajari ihwal santet. "Seorang muslim yang taat biasanya lolos dari santet," katanya. Itulah sebabnya Islam, antara lain, mengajarkan sembahyang tahajud di tengah malam. Dan sebelum tidur membaca doa-doa tertentu, terutama ayat Kursi dan Suratul-ikhlas. Dalam Quran, banyak ayat lain yang bila diamalkan sungguh-sungguh dapat menangkal santet. Menurut Teungku Hasan, 55 tahun, pemuka masyarakat Tanah Pasir, Aceh, misalnya ayat 105-106 Surat at-Taubah dapat menangkal santet. Atau, seperti kata H.M. Thaha, dari Jember, ayat 84 Surat an-Nisa'. Ada beberapa buku yang menguraikan ajaran Islam untuk menangkal santet. Misalnya Syams al-Ma'arif al-Kubra wa Lathaif al-'Awarif (Matahari Pengetahuan Agung dan Kelembutan Kaum Arif), karangan Imam Ahmad ibnn Ali al-Buni, ulama Mesir yang meninggal pada 622 Hijri. Atau al-Rahmah fi al-Thibbi wa al-Hikmah (Kitab Kerahmatan dalam Ilmu Kedokteran dan Hikmah), karya al-Suyuthi, yang meninggal pada 911 Hijri di Kairo. Kitab itu beken di kalangan pesantren. Dalam bahasa Indonesia juga banyak. Antara lain Sakti Mandraguna, karangan K.H.A. Zaenuri al-Yusak, penganut tarekat Qadiriah. Ada pula Primbon Pusaka Pengobatan llmu Rohani dan Bathin karya Ustad Hasan Shaleh. Ada pula Setan sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Tahayul, Pedukunan dan Azimat, susunan Umar Hasyim. Di masa lalu, satu-satunya sarjana yang mampu mempelalari ilmu sihir dan santet secara sosiologis hanyalah Ibnu Khaldun. Dalam bukunya yang masyhur, Muqaddimah (yang terbit sekitar abad ke-12 Masehi), antara lain ia menyatakan, ilmu gaib ini mulanya dikenal penduduk Babilonia dan bangsa Koptik di Mesir kuno. Santet, kata Ibnu Khaldun, adalah ilmu pengaruh-mempengaruhi. Jika jiwa calon korban kukuh, tak waswas, tidak mudah dipengaruhi, santet keder untuk menembus batinnya. "Santet dilakukan oleh orang yang jiwanya jahat, dan tipis bahkan tanpa iman," ujar Ibnu Khaldun. Azimat yang dimaksudkan sebagai penangkal santet juga bisa mengurangi kadar iman seseorang. Artinya, orang lebih percaya kepada azimat ketimbang, kepada Tuhan. Santet, sihir, azimat, semua dilarang agama karena kandungan jahatnya. Laporan Biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus