MUSIK boleh tidak cengeng, gajah boleh jadi satpam, dan Ne Win boleh lari ke Bangladesh, namun banyak orang di Jakarta tak menghiraukan semua itu. Sepanjang pekan silam, perhatian tertuju ke hasil angket majalah Matra, yang belakangan bukan cuma diintip kaum wanita, tapi diperbincangkan di seantero pelosok Ibu Kota, tak terkecuali masyarakat lapisan atas. Bila wanita hanya sampai pada berbisik atau menyindir halus, maka pria telah dengan sangat terbuka dn asyik membicarakannya. Dan selalu pada akhir pembicaraan, setiap pria akan mengakui -- tanpa diminta sekalipun -- bahwa ia tidak termasuk dalam dua pria (di antara tiga) yang menyeleweng itu. Lalu masih dalam suasana santai, mereka akan tergelak beramai-ramai. Sepintas kaum pria yang muda-muda terutama -- tidak menanggapi hasil angket itu secara serius. Tentu ada yang merenung, malah memikirkan masa depan bangsa, dengan keluarga sebagai unit kecil masyarakat yang terancam hubungan extramarital -- disebut juga hubungan luar nikah (lihat: Ada Asap ...). Sementara itu, tak sedikit yang meragukan kesahihan angket itu, antara lain karena terbatasnya jumlah pria yang dihubungi, dan angket tidak dilengkapi wawancara langsung dengan responden, satu proses yang seyogyanya dilakukan. Dalam angket Matra yang diumumkan Sabtu dua pekan lalu, ada kesimpulan yang kontroversial, yaitu: "Penyelewengan atau hubungan seksual di luar nikah dilakukan rata-rata oleh dua dari tiga pria Jakarta yang sudah nikah". Angka 2/3 itu mengejutkan. Padahal, menurut angket, angka itu tepatnya 69% dari 499 orang. Harus diakui, bedanya memang hampir tidak ada. Sebagian besar peserta seminar Pria dan Kesetiaan -- kebanyakan wanita menggelengkan kepala. Bayangkan, kalau saja kesimpulan angket itu benar, setiap istri pantas mencurigai apakah suaminya pernah menyeleweng atau tidak. Dari 500 angket yang disebarkan, 499 diisi dan kembali. Berdasarkan data yang masuk, kata dr. Naek L. Tobing yang mengoordinasikannya, tercatat 361 pria sudah menikah, 120 masih lajang, dan 16 berstatus duda. Sesuai dengan pengakuan resDonden. 69% responden yang sudah menikah (361 orang) pernah melakukan hubungan seks di luar nikah. Yang terbanyak, sekitar 33%, berbuat iseng semacam itu di luar rumah rata-rata 10 kali setahun. Sebagai teman kencannya, sebagian besar (50%) adalah pelacur. Peringkat berikutnya adalah gadis, sebesar 36,7%. Yang dimaksud gadis di sini adalah wanita yang memang masih perawan, wanita muda yang belum menikah, atau perek (perempuan eksperimen). Ini menunjukkan adanya kecenderungan hubungan seks sebelum nikah alias pramarital. Urutan berikutnya ditempati janda, teman sekerja, dan bekas pacar. Pria yang menurut hasil angket berpenghasilan Rp 100 ribu sampai Rp 5 juta sebulan itu sebagian besar melakukan hubungan seks extramarital (hubungan luar nikah) pada perjalanan luar kota, saat pikiran lagi pusing, atau sebagai hiburan istimewa. Sementara itu, tempat-tempat yang sering dipakai untuk melaksanakan hasrat menyeleweng adalah motel, vila, dan hotel yang memang tersedia di Jakarta dan sekitarnya (lihat Dari Cukur Rambut sampai Maksiat). Di samping itu, masih ada yang menggunakan tempat tinggal pasangannya (terutama para janda), tempat pelacuran (terutama mereka yang memang "jajan"), dan tempat-tempat hiburan. Dalam angket yang terdiri atas 57 pertanyaan itu, Naek juga merekam "akibat hubungan seks luar nikah itu terhadap perkawinan". Sebanyak 85,7% menganggap perbuatan menyeleweng sama sekali tidak mengancam perkawinannya. Bahkan menurut Naek 75,6% responden mengaku penyelewengan seks seorang kepala keluarga tidak akan mengguncang keharmonisan perkawinan. "Artinya, ya santai saja. Jalan terus," kata Naek. "Mungkin di sini sudah ada faktor toleransi pihak istri." Yang menahan seseorang tidak berbuat serong adalah kemungkinan kejangkitan penyakit kelamin, hepatitis B, atau AIDS. Yang pernah terkena ternyata hanya 0,8%, dan 79,8% mengaku tidak pernah berurusan dengan penyakit yang memalukan itu. Dasar penyusunan angket pengumpulan pendapat yang mengundang banyak reaksi itu, kata Naek L. Tobing kepada TEMPO, adalah hasil pengamatannya, pengetahuan, dan berbagai pengalaman yang ditemukan selama bertugas sebagai psikiater dan konsultasi masalah seks dan keluarga. Sasarannya adalah pria berusia serendahnya 20 tahun, sudah bekerja dan tinggal di wilayah DKI Jakarta. Diakui Naek, dengan penyebaran angket secara acak (random sampling) belum bisa di katakan mewakili golongan pria yang tinggal di Ibu Kota. "Tapi paling tidak hasil itu bisa dijadikan indikator," katanya. Dengan berbagai pertimbangan (biologis-psikologis, psikososial, dan konsep-konsep sosial) penyebaran angket dimaksudkan Naek untuk mempertegas sketsa peri laku seksual kaum pria di Jakarta. Berdasarkan hasil pol (pengumpulan pendapat) yang diselenggarakan majalah Matra itu, Naek berkesimpulan pada dasarnya, baik pria maupun wanita, punya dorongan untuk melakukan hubungan seks luar nikah. "Cuma kadarnya berbeda-beda," katanya. Ada yang memang berani mewujudkannya, tapi ada pula yang berhasil meredam nafsunya. Pria, katanya, punya kans lebih besar untuk menyeleweng. Tapi baik pria atau wanita cenderung "kecanduan" setelah sekali atau dua kali mencoba. Berdasarkan pengamatannya, laki-laki kelas menengah ke atas cenderung mencari pasangan, "yang bersih, cocok pendidikannya, bisa santai, dan lebih memuaskan. Jadi, bukan sekadar fisik saja," katanya. Tapi mengapa "asyik di luar"? Menurut Naek, suami kurang terangsang menghadapi istrinya, atau si istri suka menolak kebutuhan seksual suami, atau rasa cemburu berlebihan dari istri. Sedangkan di luar, si suami bisa mendapatkan kepuasan yang tidak terpenuhi itu. Sebelum terlalu jauh, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hubungan luar nikah atau extramarital itu? Pada intinya, itulah hubungan seks di luar nikah, dengan wanita/pria mana saja, termasuk dengan pelacur. Kendati pria menyatakan hubungan seks dengan WTS tidak meninggalkan kesan sama sekali, toh ia tetap digolongkan sebagai hubungan seks luar nikah. Sebaliknya, hubungan pria-wanita yang tak ada unsur seksnya, betapa akrab pun, tetaplah bukan hubungan extramarital. Yang kemudian perlu diketahui, apakah penyelewengan seksual perlu dirahasiakan pada sang istri ? Dr. Aznen Aziz yang menjadi pembicara bersama pengusaha jamu dan musikus Jaya Suprana, punya resep yang pantas diingat-ingat para bapak. "Sedapat mungkin bapak selesaikan sendiri. Istri tidak perlu tahu karena kalau bapak bicarakan dengan istri, itu bisa menyakitkan istri," kata dr. Aznen. "Jadi, bohong demi kebaikan tidak apa-apa." Valid tidaknya hasil pol tersebut sebenarnya masih menjadi masalah. Kritik, misalnya, datang dari Roni Nitibaskara, Ketua Jurusan Kriminologi FISIP UI. "Kuestioner yang disebar itu bisa saja diisi sembari uyon," katanya. Denan demikian, perlu diragukan baik validitas sampel yang dinilai kurang mewakili populasi dan reliabilitasnya (apa yang diukur tidak terukur dengan benar). Dari populasi 3,5 juta pria di Jakarta, katanya, belum bisa terwakili oleh cuma 500 responden itu. Ia berpendapat, penyelewengan seks di luar nikah bisa berakibat fatal, terutama di masyarakat lapis bawah. "Bisa berakhir dengan pembunuhan bila terjadi hal demikian," katanya. Di kalangan menengah atas, biasanya istri mendapatkan kompensasi lain, seperti kekayaan dan berbagai fasilitas, sehingga istri menoleransi penyelewengan suaminya. Sementara itu, di kota besar peluang untuk mencari pasangan juga sangat besar dengan hadirnya berbagai fasilitas seperti hotel, motel, bar, diskotek. Ali Djahri, almuni Psikologi UI yang kini mendirikan Lembaga Psikologi Terapan Dimensi di Jakarta, menilai pengumpulan pendapat Naek baru merupakan penelitian pendahuluan untuk suatu penelitian sosial tentang peri laku seks. "Scberapa banyak jumlah orang yang menyeleweng tak akan pernah bisa dideteksi," katanya. Penelitian psikologis secara besar-besaran sekalipun tak pernah disepakati para ahli sebagai gambaran kenyataan. Ali Djahri menilai, hubungan seks di luar nikah bagaimanapun menjadi cermin keharmonisan hubungan suami istri. "Ada suami yang mengalami ejakulasi dini atau impotensi," katanya. Sementara itu, di pihak wanita ada pula yang selalu terlambat orgasme, atau kurang berminat berhubungan intim dengan suaminya. Menghadapi situasi semacam ini, sering seorang suami mencari kebahagiaan di luar. "Ia bisa merasakan kebahagiaan menjadi jago di luar kandangnya," katanya. Dalam pengamatannya, seorang pria tidak akan memikirkan terlalu dalam mengenai wanita yang diajaknya berhubungan. "Di rumah, bisa saja si laki-laki itu menjadi suami yang baik yang tetap memberikan nafkah batin kepada istrinya," katanya. Kecenderungan menyeleweng, menurut psikolog itu, kini tampak di kalangan pengusaha muda. "Ada indikasi bahwa mereka banyak melakukan hubungan seks di luar pernikahan dengan wanita lain," katanya. Di pihak lain, wanita sebagai istri kini juga meningkat kebutuhannya. "Dulu wanita memang nrimo bila suaminya terpuaskan lebih dulu. Kini banyak yang tidak bisa nrimo begitu saja. Mereka merasa punya hak sama dalam hal kepuasan seksual." Sikap semacam ini, konon, menjadi awal penyelewenPan si istri. Ia kemudian juga mencari kompensasi -- kepuasan di luar. Karena, kata Ny. Nani Yamin, Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga, soal menyeleweng seks bukan cuma dilakukan suami. "Buktinya, banyak juga suami yang mengadu kepada kami," katanya kepada TEMPO. Bedanya, dalam menghadapi penyelewengan itu, katanya, wanita lebih mampu menahan diri, seraya mencari kesibukan lain dan berusaha tidak memperburuk keadaan. Sementara itu, kaum pria lebih tidak tahan dan sangat rapuh jika tahu istrinya menyeleweng. Penyelewengan seorang istri dianggap lebih mengancam keutuhan keluarga. Namun, menurut pengamatan para ahli, gejala semacam itu baru berkembang di kota-kota besar. "Gejala itu dimungkinkan karena berbagai fasilitas yang ada di Jakarta seperti night club, bar, pub, tempat khusus prostitusi, atau tempat hiburan lainnya. Sementara itu, di kota kecil atau pedesaan, fasilitas seperti Jakarta itu masih jauh. Kaum lelaki, katanya, memilih untuk kawin lagi. Di kota seperti Jakarta, juga berkembang gejala seorang suami enggan punya istri lebih dari satu. Akibatnya, "daripada begitu, 'kan lebih baik diam-diam nyeleweng. Memang peluang untuk menyeleweng seperti di Jakarta yang berpenduduk 7,8 juta ini terbuka lebar. Masalahnya, apakah benar meningkatnya penyelewengan seks di kalangan pria itu karena jumlah wanita lebih besar? Kebetulan data Biro Pusat Statistik (1985) nasional untuk penduduk kota berusia 20 tahun ke atas menunjukkan demikian. Dari 20,9 juta, kebetulan tercatat laki-laki 10.36 juta dan wanita 10,5 juta. Sementara itu, jumlah penduduk Jakarta (data BPS 1985) ada 4 juta laki-laki dan 3,7 wanita. Dalam komposisi semacam itu, ternyata masih ada wanita yang tidak mau berkeluarga. Lihat saja Dr. Atiek Sukandar, 37 tahun, dari staf FK UNPAD yang doktor lulusan farmakologi di Free University Berlin Barat itu. Ia berparas cantik, sexy, tapi memilih hidup sendiri. Ia tidak mau menikah karena, "saya telanjur memiliki konsep laki-laki idola yang keras berwibawa, mampu memukau banyak orang dan saya sendiri, dan benar-benar mampu menaklukkan saya lahir batin." Ia mengaku pernah beberapa kali berpacaran, tetapi tidak berakhir dengan pernikahan. Sebagai wanita yang dibesarkan oleh ibunya -- setelah bercerai dengan ayahnya Atiek merasa dididik selalu keras dan mengisi hidupnya dengan berbagai kegiatan untuk membunuh kesepiannya. Tanpa pernikahan, ia bisa diterima oleh lingkungannya. "Tidak ada kamus telantar di hari tua saya. Saya juga bukan biarawati," katanya. Seperti tersebut di atas, penyelewengan juga bisa terjadi di kalangan wanita yang sudah menikah. "Jangan mengira kalau sudah kawin lantas sudah aman," kata Bu Kar (Ny. Karcika Amalia Suyono Prawirabisma), pengasuh rubrik Dari Hati ke Hati majalah Femina. Menyeleweng sendiri sebenarnya bukan soal hubungan seks saja. "Untuk naik ke tempat tidur 'kanada prosesnya. Proses itu sendiri sebenarnya sudah merupakan penyelewengan,"' katanya. Tapi sering ia sendiri menyederhanakan masalah, sehingga tidak semua hubungan seks di luar nikah mesti dinilai berat. Ia ambil contoh seorang suami belajar di luar negeri dan melakukan hubungan seks. Si lelaki tetap cinta istri dan anaknya. "Ia hanya kesepian saja dan tergoda. Yang dia lakukan, kata Bu Kar, hanya biological act. Apakah menyeleweng atau tergoda, masalah hubungan seks di luar nikah tampaknya akan banyak dibicarakan di masa-masa yang akan datang. Di samping itu, seperti kata Nani Yamin, kian banyak suami-istri yang datang untuk berkonsultasi -- satu sisi yang menggembirakan memang. Sementara itu, kian banyak pula pria/wanita yang memburu lawan jenisnya di luar jalur pernikahan. A. margana, Bachtiar Abdullah, Agung Firmasyah (Jakarta), Wahyu Muryadi (Surabaya), dan Bersihar Lubis (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini