ADA mayat di Sungai Nonang . . . harap dicari." Begitu kira-kira
pesan lewat telepon yang diterima polisi di Medan. Penelepon
tadi segera memutuskan hubungan ketika ditanya identitasnya.
Dengan penasaran, polisi buru-buru menuju sasaran, tak berapa
jauh dari Pelabuhan Belawan. Benar rupanya: di sana ada mayat
terbungkus karung goni dengan beberapa luka tembak di tubuhnya.
Hari itu juga, Rabu pekan lalu, mayat tersebut dikenali sebagai
residivis. Dan ia merupakan korban kelima di Medan yang menjadi
sasaran peluru gelap. Namun si penembak rupanya menghendaki agar
hasil kerjanya diketahui. Buktinya "ia" atau "mereka"
menyempatkan diri menelepon polisi.
Hal itu terlihat lagi pada kasus penembakan terhadap Syamsuri
alias Syambirgo, 24 tahun, lima hari sebelumya. Malam itu Syam,
yang suka merampok dan menodong, menjambret barang penumpang
becak, lalu kabur dengan sepeda motor. Korban berteriak minta
tolong. Tiba-tiba saja ada sedan tua meluncur di situ.
Pengendaranya melepas tembakan. Tepat mengenai ginjal Syam.
Bandit itu tersungkur dan kawannya kabur masuk gang.
Si penembak segera membawa korbannya ke rumah sakit militer, di
Jalan Putri Hijau, lalu cepat menghilang. Kakak ipar Syam, Daud
Albadar, yang diberitahu esok harinya, jadi kaget. "Kok adik
saya dibawa ke rumah sakit militer, ya?" katanya. Petugas rumah
sakit itu pun tak kalah bingung. "Bisa menimbulkan dugaan bahwa
penembaknya tentara," katanya. Maka, sebelum segalanya
berkembang jauh, jenazah Syam segera diboyong ke Rumah Sakit
Pirngadi. Dua hari kemudian, Daud menjemputnya untuk
dikebumikan.
Penembak-penembak bandit memang sudah beraksi di Medan sejak
pertengahan Juni lalu. Selain lima korban di Medan tercatat ada
tujuh korban lain yang tersebar di Pematangsiantar,
Tebingtinggi, Langkat, serta Asahan. Dengan begitu, sampai pekan
lalu berarti sudah tercatat lebih 300 orang yang dituduh bandit
di berbagai daerah yang diketahui mati oleh terjangan peluru.
Korban terbanyak adalah di Bandung, yang mencapai 120 lebih,Jawa
Tengah 70, Yogya 60, dan Jakarta 55 orang.
Dan menurut Pangab Jenderal Benny Moerdani, seusai rapat
koordinasi bidang politik keamanan pekan lalu diJakarta, jumlah
yang terbunuh bisa jadi lebih banyak. Sebab, katanya,
angka-angka tersebut adalah dari jumlah jenazah yang dibawa ke
rumah sakit untuk diautopsi. Santer dugaan, memang, bahwa selain
yang mayatnya bisa ditemukan, banyak juga yang hilang tanpa
bekas. Di Yogya, misalnya, orang hampir percaya bahwa sekian
korban hilang begitu saja karena dimasukkan ke dalam lueng atau
semacam sumur yang di bawahnya mengalir sungai yang langsung
bermuara di Laut Selatan.
Jumlah korban itu, menurut Benny lagi, selain "dikumpulkan" oleh
petugas keamanan, juga karena ada yang jatuh dalam persaingan
antar-gang. "Ini bukan alasan yang dicari-cari. Tapi persaingan
itu timbul karena ruang gerak mereka dibatasi, sehingga ada yang
mencari penghasilan di 'ladang' gang lain," kata Benny.
Akan halnya yang jatuh di Medan, belum diketahui peluru
ditembakkan oleh siapa: petugas yang melakukan operasi atau
karena perang antar-gang. Namun April lalu, ketika di Jakarta
kian banyak orang bertato yang dimangsa penembak misterius,
kabarnya ada yang menghubungi kantor-kantor polisi di Sumatera
Utara. Mereka diminta untuk mendata para langganan kamar
tahanan. Dari Medan, Labuhanbatu, Langkat, dan Asahan kemudian
masuk daftar panjang, berisi sekitar 900 nama, lengkap dengan
foto dan data-data lainnya. Dengan begitu, kata sumber itu
kepada TEMPO, "kecil kemungkinan penembak gelap salah sasaran."
Tapi wartawan surat kabar Sinar Indonesia Baru SIB, Efendy
Naibaho, hampir saja menjadi korban salah sasaran. Dua pekan
lalu, begitu ceritanya, malam itu ia pulang dari kantor naik
sepeda motor. Di tengah jalan, ada sepeda motor lain yang terus
menguntit, lalu menempel ketat di sampingnya begitu Efendy
hampir sampai ke rumahnya di Perumnas Mandala. Wartawan berambut
gondrong itu kemudian mempersilakan penguntitnya mampir. Orang
tadi hanya memandanginya berlama-lama, menarik napas panjang,
lalu pergi.
Tanpa banyak cerita, esok harinya Efendy ke tukang pangkas. Dari
sana ia melapor ke kantor polisi dan Kodim. Dan lima hari
kemudian, orang menemukan sesosok mayat bertato korban tembakan.
Wajahnya memang mirip Efendy. "Hampir saja saya mati konyol,"
kata Efendy.
Tak seperti para penembak di Jakarta, yang gemar naik jip. yang
di Medan bisa naik sepeda motor seperti yang menguntit Efendy.
Atau sedan tua seperti yang digunakan waktu menembak Syambirgo
di Jalan Sun Yat Sen. Bisa juga naik taksi. "Eksekusi" pun
umumnya dilakukan dari jarak jauh.
Parlindungan Marpaung, misalnya, diperkirakan ditembak dari
jarak sekitar 20 meter. Ia kedapatan terkapar di Jalan Krakatau
dengan tiga lubang di dada, 22 Juni lalu, beberapa saat setelah
dijemput empat orang pria tegap dari sebuah hotel kecil. Para
tetangganya di Gang Saurdot, mengenal korban sebagai orang yang
sopan dan agak pendiam. Tapi, menurut catatan polisi setempat,
ia punya kegiatan sebagai penjahat kelas teri.
Ayahnya, M. Marpaung, ketika ditemui TEMPO, masih tampak murung.
Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. "Pikiranku masih
kusut," kata ayah delapan anak itu. Sedangkan Daud Albadar, yang
tahu persis adik iparnya -- Syam -- terkadang suka "nakal",
pasrah saja. Hanya saja, katanya, "yang ditembak mestinya
residivis kelas kakap. Jangan cuma yang kelas teri seperti
Syam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini