KAMPUS ITB rupanya tak cuma mencetak insinyur. Tak banyak orang
tahu, di sana ada SAIG, singkatan dari Sekolah Ahli Pembuat
Instrumen Logam dan Gelas, semacam STM Pembangunan yang sudah
dikenal. Cuma SAIG nampaknya lebih condong pada pelajaran
praktek (60%) dibanding STM Pembangunan yang membagi sama
praktek dengan teori.
Maka kata Ir. F.X. Nugroho Soelami, wakil direktur sekolah itu,
"dalam kemampuan dan keterampilan, kami dapat bersaing dengan
STM Pembangunan." Apalagi jurusan instrumen logam dan gelas itu
tak terdapat di sekolah menengah kejuruan mana pun di sini. Tak
aneh, kalau Ir. Dida Suhadi, koordinator pelaksana harian
sekolah itu berkata "saya belum dengar ada tamatan sekolah ini
yang jadi penganggur."
Lulusannya biasanya bekerja di berbagai bengkel dan
laboratorium. Yang terbanyak di PT Caltex-Rumbai, Krakatau
Steel, LIN-LIPI, Pindad, atau bengkel-bengkel swasta. Dari 19
lulusannya tahun ini, 15 di antaranya sudah diambil Departemen P
& K, dijadikan tenaga operator di laboratorium berbagai
perguruan tinggi negeri.
Dikoordinasikan oleh Jurusan Fisika Teknik ITB -- ketua jurusan
ini otomatis merangkap direktur SAIG -- sekolah ini memang tak
pusing soal fasilitas. Sekitar 80 muridnya setiap pagi belajar
di 5 lokal di bagian barat kampus ITB. Di dekat kantor
sekretariatnya, ada ruang perpustakaan yang sarat buku-buku. Tak
jauh dari situ terdapat ruangan bengkel yang cukup lengkap: ada
mesin bubut, mesin potong, mesin gerinda, dan berbagai alat
besar untuk membuat instrumen logam dan gelas.
Semua itu memang milik Jurusan Fisika Teknik ITB. Tapi kegiatan
SAIG, menurut Nugroho yang juga staf pengajar Fisika Teknik ITB
itu, tak mengganggu si pemilik fasilitas. Cuma saja, karena
menumpang, jumlah murid yang diterima pun dibatasi: setiap tahun
25 orang. Untuk tahun ini, jumlahnya malah menciut jadi 15
karena ruang praktek Fisika Teknik sedang diperbaiki.
Di sekolah yang menerima lulusan SMP ini, pelajaran lebih
ditekankan pada kemampuan individu, dengan memberikan bimbingan
intensif pada murid -- terutama pada praktikum yang menyita 60%
jam pelajaran itu. Kurikulum yang dipakai bukan dari Departemen
P & K. Tapi sejak 1959 Departemen P & K sudah menetapkan lulusan
SAIG disamakan dengan STM. Artinya, kurikulumnya disusun sendiri
oleh pengelola SAIG, yang terdiri dari para staf pengajar Fisika
Teknik ITB. Pelajaran agama, bahasa Indonesia, atau pengetahuan
umum tetap diberikan, tapi penekanannya hanya pada pembuatan
instrumen gelas dan logam, terutama untuk peralatan
laboratorium. Misalnya, gelas penyuling, gelas ukur, alat ukur
tekanan, dan jangka sorong.
Tenaga pengajar juga tak sulit di sini. Ada 12 tenaga pengajar
tetap -- 4 di antaranya sarjana -- semuanya diambil dari Fisika
Teknik. Ada yang memang dosen, tapi ada juga mahasiswa tingkat
akhir.
Sekolah yang tak pernah dipublikasikan itu -- karena tempat
terbatas -- setiap tahun tak kurang 100 pelamar mencoba masuk.
Dan setelah dites, hanya 25 orang yang diterima sebagai murid.
Itu pun bagi yang tinggal kelas, kontan dikeluarkan.
Beberapa alumninya, bangga dengan sekolah itu. "Begitu saya
melamar, segera saya diterima," kata Sukarna, 28 tahun. Kini
lulusan SAIG 1974 itu bekerja di bengkel milik Direktorat
Geologi dan Tata Lingkungan di Bandung dengan pangkat II b.
Sukarna merasa usahanya selama 4 tahun belajar di sekolah yang
menarik biaya Rp 150 ribu per tahun per murid itu, tidak
sia-sia.
Begitu juga bagi Dading Muhamad, 24 tahun, lulusan tahun 1978.
Setelah bekerja 5 tahun di PT Karya Teknik, perusahaan reparasi
alat-alat logam, kini telah menjabat kepala bagian bengkel
dengan gaji Rp 150 ribu sebulan. "Inilah sekolah yang
betul-betul bermanfaat. Begitu lulus kita mudah cari kerja,"
katanya.
Ini diakui oleh Sumarna Adiwijaya, manajer PT Karya Teknik itu.
"Mereka pekerja yang rapi dan terampil," katanya. Sayang,
menurut Sumarna, sangat sulit mencari lulusan SAIG. Dari 20
buruhnya, yang dari sekolah itu cuma Dading seorang.
Sekolah itu setiap tahunnya memang cuma mengeluarkan 20 lulusan.
Berdiri sejak 1921, bersamaan dengan berdirinya ITB, mulanya
cuma berupa kursus untuk memenuhi kebutuhan tenaga operator di
laboratorium fisika Bosscha (sekarang Fisika Teknik ITB). Baru
setelah 1950, kursus itu berubah menjadi sekolah seperti
sekarang, disejajarkan dengan STM, tapi dengan masa belajar 4
tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini