GAGAL menjual rumah dan tanah warisan, Ukur Sitepu menjadi
berang. Soalnya, rumah dan tanah seluas sekitar 100 m2 di
Gang Kantil, Desa Selayang II, Kecamatan Medan Baru, itu
sudah ada yang menawar Rp 1,5 juta. Tahu-tahu yag hendak membeli
membatalkan niatnya.
Ukur segera mendatangi Ratna. Karena adiknya itulah yang diduga
menjadi penyebab kegagalan transaksi. Pertengkaran terjadi. Dan
Ukur, karena mata gelap, menghantamkan potongan kayu ke kepala
adiknya. Ratna, 28 tahun, pun tersungkur. Anaknya yang berumur
delapan bulan menangis panjang. Ukur makin kalap. Dibekapnya
mulut si orok dengan kasur. Tak hanya tangisnya terhenti.
Hilanglah dua nyawa, 10 Juni malam lalu, saat orang ramai
membicarakan gerhana matahari yang akan terjadi esok harinya.
Lepas "kerja keras", Ukur tak segera beranjak. Tengah malam,
dengan seutas tali, Ukur kemudian mengikat kaki dan tangan
Ratna. Mulutnya pun disumpal. Langkah berikut, ia membuka pintu
belakang, lalu menceburkan tubuh adiknya ke dalam sumur.
Bagaimana keadaan kemanakannya, tak dihiraukan lagi karena Ukur
buru-buru pulang ke rumahnya di Jalan Bliton, Belawan, sekitar
20 km dari Medan.
Ia ditangkap lima hari kemudian, setelah orang-orang di Gang
Kantil menjumpai Ratna dan anaknya mulai membusuk. Ukur kini
merenungi perbuatannya di kamar tahanan.
"Sungguh, tak pernah saya bermaksud membunuhnya. Tapi dia kok
suka sekali bertengkar dengan saya," kata Ukur di tahanan polisi
Medan Baru. Terus terang ia mengakui, berhasrat menjual warisan
itu, untuk menambah modalnya berjualan kain di kaki lima. Namun
Ratna menolak. Karena di tanah warisan yang hendak dijual itu
ada bangunan kecil, sekitar 30 m2, yang selama ini ditempati
olehnya.
Lagi pula, "Ibu masih hidup, tak baik menjualnya sekarang ini,"
begitu Ratna seperti ditirukan Ukur. Sebab itu, ketika Ratna
tahu siapa calon pembeli harta warisan tersebut, ia bersama
kakak sulungnya, Seman, menyarankan agar niat itu diurungkan
saja. Upaya mereka berhasil, dan itulah yang membuat Ukur,
30 tahun, naik darah.
Satu hal lagi, kata Ukur, yang membuatnya tak senang kepada
Ratna. Wanita itu punya dua anak tapi tak ketahuan siapa
bapaknya. Hidupnya juga susah, karena hanya mengandalkan
berjualan sayur.
Tapi, menurut Seman, kelakuan Ukur sendiri tak bisa dijadikan
contoh. "Dia penjudi, sampai-sampai istrinya bosan, lalu
meninggalkannya," katanya. Pernah pula Ukur membawa kabur uang
yang diperuntukkan membeli bahan bangunan. Akibatnya, rumah yang
ditinggali Ratna tersebut sampai kini masih setengah jadi.
Akan halnya surat tanah, kata Seman, diambil Ukur dari tangan
ibunya dengan cara paksa. "Seumur hidup pun Ukur di penjara,
saya tak peduli," kata Seman gemas. Ia tak habis pikir, mengapa
gara-gara tanah warisan yang boleh dibilang tak seberapa
harganya itu, Ukur sampai hati membunuh adik dan kemanakan
sendiri.
Memang mengherankan. Tapi di Pengadilan Negeri Boyolali, kini
juga ada seorang kakak tengah diadili karena tuduhan membunuh
adiknya. Malahan, dalam perkara tersebut, sang ibu, Nyonya
Martodikromo, 73 tahun, yang juga duduk sebagai terdakwa,
disebut-sebut sebagai otak pembunuhan. Orang bilang, latar
belakangnya juga soal warisan. Meski yang terungkap di
pengadilan nanti, bisa jadi, soal lain.
Korbannya adalah Agus Sumanto, 27 tahun, karyawan perusahaan
asuransi Bumi Putera 1912. Agus, anak bungsu dari enam
bersaudara. Ia kedapatan meninggal 3 September lalu, terkapar di
tepi sawah Desa Madusari, Kecamatan Sawit, Boyolali. Kepalanya
penuh darah dan memar oleh pukulan benda keras. Di lehernya ada
bekas cekikan dengan kawat.
Jaksa Djafar Hamzah menuduh Nyonya Marto bertanggung jawab atas
kematian si bungsu. Dakwaannya didasarkan pada sepucuk surat
mandat -- yang berhasil dijumpai polisi -- yang menyebutkan
bahwa pedagang rempah-rempah tersebut berkeinginan agar Agus
dihabisi. Surat mandat itu ditandatangani Sriyadi, anak
sulungnya, lalu diberikan kepada Jiman, seorang pembunuh
bayaran. Si Jiman ini, yang konon dijanjikan mendapat "uang
lelah" Rp 200 ribu, segera mengontak temannya, Dul.
Si Dul, begitu tuduhan jaksa, setuju saja asal dibayar lebih.
Disepakati, Dul boleh mengangkut skuter milik korban, setelah
pekerjaan selesai. Benar saja. Begitu selesai menjalankan
misinya, Dul tancap gas, naik Vespa ke jurusan Semarang. Di sana
ia tersandung razia. Vespa ditahan polisi, karena tak dilengkapi
surat-surat. Dan Dul, yang bilang hendak mengambil surat
kendaraan, kontan menghilang -- sampai sekarang.
Di muka polisi, Nyonya Marto mengaku berniat membunuh Agus,
karena anak bungsunya itu sering merongrong minta dibelikan
Vespa. Tapi kata istri Agus, Nyonya Savitri, kendaraan suaminya
yang kemudian digondol Dul itu dibeli dari keringat sendiri.
"Mas Agus membeli kendaraan itu secara kredit lewat kantornya,"
katanya.
Tentang Vespa itu, Nyonya Marto tak memberi komentar. Namun dia
menyangkal tuduhan menjadi dalang terbunuhnya Agus. "Saya tidak
tahu apa-apa. Masak saya, ibu kandungnya, tega membunuh anak?"
katanya kepada TEMPO. Sriyadi juga menyangkal telah bersekongkol
dengan ibunya. Jiman, turut pula menolak tuduhan jaksa. "Semua
keterangan saya pada polisi saya cabut. Saya tak pernah mendapat
mandat untuk menghabisi Agus," katanya kepada majelis hakim yang
diketuai Hartati.
Vonis hakim akan jatuh tak lama lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini