Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Warisan berdarah

Gara-gara warisan, seorang kakak membunuh adik kandungnya (di medan). sedang di boyolali, seorang ibu didakwa mendalangi pembunuhan anaknya sendiri. (krim)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAGAL menjual rumah dan tanah warisan, Ukur Sitepu menjadi berang. Soalnya, rumah dan tanah seluas sekitar 100 m2 di Gang Kantil, Desa Selayang II, Kecamatan Medan Baru, itu sudah ada yang menawar Rp 1,5 juta. Tahu-tahu yag hendak membeli membatalkan niatnya. Ukur segera mendatangi Ratna. Karena adiknya itulah yang diduga menjadi penyebab kegagalan transaksi. Pertengkaran terjadi. Dan Ukur, karena mata gelap, menghantamkan potongan kayu ke kepala adiknya. Ratna, 28 tahun, pun tersungkur. Anaknya yang berumur delapan bulan menangis panjang. Ukur makin kalap. Dibekapnya mulut si orok dengan kasur. Tak hanya tangisnya terhenti. Hilanglah dua nyawa, 10 Juni malam lalu, saat orang ramai membicarakan gerhana matahari yang akan terjadi esok harinya. Lepas "kerja keras", Ukur tak segera beranjak. Tengah malam, dengan seutas tali, Ukur kemudian mengikat kaki dan tangan Ratna. Mulutnya pun disumpal. Langkah berikut, ia membuka pintu belakang, lalu menceburkan tubuh adiknya ke dalam sumur. Bagaimana keadaan kemanakannya, tak dihiraukan lagi karena Ukur buru-buru pulang ke rumahnya di Jalan Bliton, Belawan, sekitar 20 km dari Medan. Ia ditangkap lima hari kemudian, setelah orang-orang di Gang Kantil menjumpai Ratna dan anaknya mulai membusuk. Ukur kini merenungi perbuatannya di kamar tahanan. "Sungguh, tak pernah saya bermaksud membunuhnya. Tapi dia kok suka sekali bertengkar dengan saya," kata Ukur di tahanan polisi Medan Baru. Terus terang ia mengakui, berhasrat menjual warisan itu, untuk menambah modalnya berjualan kain di kaki lima. Namun Ratna menolak. Karena di tanah warisan yang hendak dijual itu ada bangunan kecil, sekitar 30 m2, yang selama ini ditempati olehnya. Lagi pula, "Ibu masih hidup, tak baik menjualnya sekarang ini," begitu Ratna seperti ditirukan Ukur. Sebab itu, ketika Ratna tahu siapa calon pembeli harta warisan tersebut, ia bersama kakak sulungnya, Seman, menyarankan agar niat itu diurungkan saja. Upaya mereka berhasil, dan itulah yang membuat Ukur, 30 tahun, naik darah. Satu hal lagi, kata Ukur, yang membuatnya tak senang kepada Ratna. Wanita itu punya dua anak tapi tak ketahuan siapa bapaknya. Hidupnya juga susah, karena hanya mengandalkan berjualan sayur. Tapi, menurut Seman, kelakuan Ukur sendiri tak bisa dijadikan contoh. "Dia penjudi, sampai-sampai istrinya bosan, lalu meninggalkannya," katanya. Pernah pula Ukur membawa kabur uang yang diperuntukkan membeli bahan bangunan. Akibatnya, rumah yang ditinggali Ratna tersebut sampai kini masih setengah jadi. Akan halnya surat tanah, kata Seman, diambil Ukur dari tangan ibunya dengan cara paksa. "Seumur hidup pun Ukur di penjara, saya tak peduli," kata Seman gemas. Ia tak habis pikir, mengapa gara-gara tanah warisan yang boleh dibilang tak seberapa harganya itu, Ukur sampai hati membunuh adik dan kemanakan sendiri. Memang mengherankan. Tapi di Pengadilan Negeri Boyolali, kini juga ada seorang kakak tengah diadili karena tuduhan membunuh adiknya. Malahan, dalam perkara tersebut, sang ibu, Nyonya Martodikromo, 73 tahun, yang juga duduk sebagai terdakwa, disebut-sebut sebagai otak pembunuhan. Orang bilang, latar belakangnya juga soal warisan. Meski yang terungkap di pengadilan nanti, bisa jadi, soal lain. Korbannya adalah Agus Sumanto, 27 tahun, karyawan perusahaan asuransi Bumi Putera 1912. Agus, anak bungsu dari enam bersaudara. Ia kedapatan meninggal 3 September lalu, terkapar di tepi sawah Desa Madusari, Kecamatan Sawit, Boyolali. Kepalanya penuh darah dan memar oleh pukulan benda keras. Di lehernya ada bekas cekikan dengan kawat. Jaksa Djafar Hamzah menuduh Nyonya Marto bertanggung jawab atas kematian si bungsu. Dakwaannya didasarkan pada sepucuk surat mandat -- yang berhasil dijumpai polisi -- yang menyebutkan bahwa pedagang rempah-rempah tersebut berkeinginan agar Agus dihabisi. Surat mandat itu ditandatangani Sriyadi, anak sulungnya, lalu diberikan kepada Jiman, seorang pembunuh bayaran. Si Jiman ini, yang konon dijanjikan mendapat "uang lelah" Rp 200 ribu, segera mengontak temannya, Dul. Si Dul, begitu tuduhan jaksa, setuju saja asal dibayar lebih. Disepakati, Dul boleh mengangkut skuter milik korban, setelah pekerjaan selesai. Benar saja. Begitu selesai menjalankan misinya, Dul tancap gas, naik Vespa ke jurusan Semarang. Di sana ia tersandung razia. Vespa ditahan polisi, karena tak dilengkapi surat-surat. Dan Dul, yang bilang hendak mengambil surat kendaraan, kontan menghilang -- sampai sekarang. Di muka polisi, Nyonya Marto mengaku berniat membunuh Agus, karena anak bungsunya itu sering merongrong minta dibelikan Vespa. Tapi kata istri Agus, Nyonya Savitri, kendaraan suaminya yang kemudian digondol Dul itu dibeli dari keringat sendiri. "Mas Agus membeli kendaraan itu secara kredit lewat kantornya," katanya. Tentang Vespa itu, Nyonya Marto tak memberi komentar. Namun dia menyangkal tuduhan menjadi dalang terbunuhnya Agus. "Saya tidak tahu apa-apa. Masak saya, ibu kandungnya, tega membunuh anak?" katanya kepada TEMPO. Sriyadi juga menyangkal telah bersekongkol dengan ibunya. Jiman, turut pula menolak tuduhan jaksa. "Semua keterangan saya pada polisi saya cabut. Saya tak pernah mendapat mandat untuk menghabisi Agus," katanya kepada majelis hakim yang diketuai Hartati. Vonis hakim akan jatuh tak lama lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus