KARTU Tanda Lapor (KTL) ternyata bukan jaminan keselamatan.
Petugas di Yogyakarta memang menjamin tidak akan mengambil
"tindakan tegas", selama pemiliknya menghentikan kegiatan
sebagai gali. Tapi bahaya bisa datang dari arah lain: penculik
misterius.
Selama Juni kemarin, beberapa pemegang "paspor keselamatan"
tersebut, di antaranya Enggar dan Suraji, diketahui telah
diculik, entah oleh siapa. Yang jelas pihak yang berwajib, Korem
dan Kodim, merasa tak pernah mengeluarkan perintah untuk
menangkap para terculik. Ketika Enggar Santoso, 29 tahun,
dijemput orang bermobil dan bersenjata api 6 Juni lalu,
misalnya, Komandan Garnizun Yogya Letkol M. Hasbi tegas-tegas
menyatakan bahwa hari itu tidak ada operasi dilancarkan.
Namun ketika penjemputan terjadi, Enggar tampaknya yakin betul,
yang datang adalah petugas keamanan. Sebab itu, ia menurut saja
ketika dibawa. "Padahal Mas Enggar biasanya keras," tutur Nyonya
Vonny, istrinya.
Enggar adalah penduduk Desa Bogem, Kalasan, di Kabupaten Sleman.
Sejak beberapa waktu lalu ia memegang KTL sebagai gali. Menurut
ayahnya, Kapten Purnawirawan Soekardjo, Enggar melapor karena
disuruh olehnya. Gara-garanya, Enggar yang pernah menjadi
anggota Kopasgat itu, pernah bikin ribut ketika minta jatah
kapling kepada Lurah Bogem. "Setahu saya, meski sejak SMP
nakalnya bukan main, ia tak pernah 'menggali'," kata Soekardjo.
Di desanya, yang terletak di tepian jalan raya antara Yogya dan
Solo, Enggar membuka bengkel sepeda motor. Di rumah kontrakannya
itu juga ia membuka toko bahan bangunan.
Dan Senin malam 6 Juni itu, ia memang sedang membicarakan soal
jual-beli kayu dengan Notosudiro, pamong desa. Enggar menerima
uang panjar Rp 50 ribu. Sekonyong-konyong dari arah pintu,
terdengar teriakan yang memerintahkan agar Enggar tiarap. Pria
jangkung berbadan tegap itu kontan menjatuhkan diri. Dua lelaki
yang mengacungkan pistol, segera memborgol tangan Enggar,
membawanya naik jip dan tancap gas ke arah Yogya.
Salah seorang penculik suaminya, menurut Vonny, bertubuh tinggi
besar, berkulit hitam, mengenakan jaket dan pakaian warna gelap.
"Wajahnya mirip orang Arab," kata ibu dua anak itu. Ia masih
"beruntung" karena bisa mengenali wajah penculik suaminya.
Sebaliknya Nyonya Neneng. Ia hampir-hampir tak melihat siapa
yang 'menjemput" suaminya, Suraji, pada 31 Mei malam lalu.
Sebab ketika itu ia sedang melayani seorang pembeli yang datang
ke toko kelontongnya. Suaminya duduk di depan kios. Jalan di
Desa Sendangadi, Mlati, Sleman, sudah sepi, meski jam baru
menunjukkan angka 21.30. Mendadak ada sebuah jip berhenti di
depan rumah. Seorang penumpangnya turun. Suraji menghampiri
karena mengira ada seseorang hendak menanyakan sebuah alamat.
Betul saja. Tapi alamat yang dituju, tak lain dia sendiri.
Pemegang KTL berbadan kekar -- tinggi 170 cm -- menurut saja
ketika diajak naik ke mobil. "Saya pergi sebentar," ia berseru
pada istrinya tanpa nada cemas. Jip kemudian meluncur --
lagi-lagi -- ke arah Yogya.
Yang tak diketahui ke mana arahnya, ialah kendaraan roda tiga,
bajaj, yang dipakai memboyong Agus Ganda Prayitno, 20 tahun, di
Jakarta. Hari itu, 6 Juni, Agus agak mabuk setelah menenggak
minuman keras. Ia berjalan sempoyongan, menyeberang jalan di
bilangan Pasar Rumput, Manggarai. Dan entah dari mana datangnya,
seketika tiga orang lelaki menggetok kepalanya, lalu menyeretnya
ke dalam bajaj.
Teman-temannya, yang kebetulan melihat pedagang burung itu
dianiaya, menghampiri untuk menolong. Namun, kata Itoh,
istrinya, "mereka mundur waktu diacungi pistol." Agus, menurut
istrinya, bukan sebangsa preman atau gali. Tapi, memang,
terkadang ia suka minum sampai mabuk. Polisi setempat pun tak
mengenalnya, karena tampaknya ia memang bukan pemeras atau suka
bikin ribut. Meski begitu, Itoh, 17 tahun, sesekali menyempatkan
diri menengok kamar mayat Rumah Sakit Cipto. Siapa tahu suaminya
telah menjadi korban penembak misterius.
Namun sampai pekan lalu, Agus tak juga nongol, baik di kamar
mayat maupun di rumahnya. Polisi angkat bahu: "Kami belum
mendapat gambaran, siapa yang menculiknya." Begitu pula tentang
nasib Enggar dan Suraji. Ke mana hendak dicari? Petugas
Garnizun, yang dihubungi keluarga Enggar jelas menyatakan bahwa
tak ada petugas yang melakukan operasi malam itu.
Soekardjo, ayah Enggar, masih penasaran. Ia lalu menghubungi
bagian intel di Korem. Mayor Wahyu, komandannya, kebetulan bekas
anak buahnya. Di sini pun ia mendapat jawaban bahwa tak ada
perintah untuk menangkap Enggar. Jawaban serupa diperoleh dari
Kodim Sleman dan Koramil Kalasan.
Kini orang mulai menduga-duga: jangan-jangan ada yang mencoba
menunggangi Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Setidaknya,
seperti kata Soekardjo, "penculikan Enggar, misterius".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini