Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban tanpa konfirmasi

Penculikan misterius terhadap gali (pemegang ktl) terjadi di yogya dan jakarta. diduga ada yang memanfaatkan operasi pemberantasan kejahatan (opk) untuk memusnahkan saingannya.(krim)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTU Tanda Lapor (KTL) ternyata bukan jaminan keselamatan. Petugas di Yogyakarta memang menjamin tidak akan mengambil "tindakan tegas", selama pemiliknya menghentikan kegiatan sebagai gali. Tapi bahaya bisa datang dari arah lain: penculik misterius. Selama Juni kemarin, beberapa pemegang "paspor keselamatan" tersebut, di antaranya Enggar dan Suraji, diketahui telah diculik, entah oleh siapa. Yang jelas pihak yang berwajib, Korem dan Kodim, merasa tak pernah mengeluarkan perintah untuk menangkap para terculik. Ketika Enggar Santoso, 29 tahun, dijemput orang bermobil dan bersenjata api 6 Juni lalu, misalnya, Komandan Garnizun Yogya Letkol M. Hasbi tegas-tegas menyatakan bahwa hari itu tidak ada operasi dilancarkan. Namun ketika penjemputan terjadi, Enggar tampaknya yakin betul, yang datang adalah petugas keamanan. Sebab itu, ia menurut saja ketika dibawa. "Padahal Mas Enggar biasanya keras," tutur Nyonya Vonny, istrinya. Enggar adalah penduduk Desa Bogem, Kalasan, di Kabupaten Sleman. Sejak beberapa waktu lalu ia memegang KTL sebagai gali. Menurut ayahnya, Kapten Purnawirawan Soekardjo, Enggar melapor karena disuruh olehnya. Gara-garanya, Enggar yang pernah menjadi anggota Kopasgat itu, pernah bikin ribut ketika minta jatah kapling kepada Lurah Bogem. "Setahu saya, meski sejak SMP nakalnya bukan main, ia tak pernah 'menggali'," kata Soekardjo. Di desanya, yang terletak di tepian jalan raya antara Yogya dan Solo, Enggar membuka bengkel sepeda motor. Di rumah kontrakannya itu juga ia membuka toko bahan bangunan. Dan Senin malam 6 Juni itu, ia memang sedang membicarakan soal jual-beli kayu dengan Notosudiro, pamong desa. Enggar menerima uang panjar Rp 50 ribu. Sekonyong-konyong dari arah pintu, terdengar teriakan yang memerintahkan agar Enggar tiarap. Pria jangkung berbadan tegap itu kontan menjatuhkan diri. Dua lelaki yang mengacungkan pistol, segera memborgol tangan Enggar, membawanya naik jip dan tancap gas ke arah Yogya. Salah seorang penculik suaminya, menurut Vonny, bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, mengenakan jaket dan pakaian warna gelap. "Wajahnya mirip orang Arab," kata ibu dua anak itu. Ia masih "beruntung" karena bisa mengenali wajah penculik suaminya. Sebaliknya Nyonya Neneng. Ia hampir-hampir tak melihat siapa yang 'menjemput" suaminya, Suraji, pada 31 Mei malam lalu. Sebab ketika itu ia sedang melayani seorang pembeli yang datang ke toko kelontongnya. Suaminya duduk di depan kios. Jalan di Desa Sendangadi, Mlati, Sleman, sudah sepi, meski jam baru menunjukkan angka 21.30. Mendadak ada sebuah jip berhenti di depan rumah. Seorang penumpangnya turun. Suraji menghampiri karena mengira ada seseorang hendak menanyakan sebuah alamat. Betul saja. Tapi alamat yang dituju, tak lain dia sendiri. Pemegang KTL berbadan kekar -- tinggi 170 cm -- menurut saja ketika diajak naik ke mobil. "Saya pergi sebentar," ia berseru pada istrinya tanpa nada cemas. Jip kemudian meluncur -- lagi-lagi -- ke arah Yogya. Yang tak diketahui ke mana arahnya, ialah kendaraan roda tiga, bajaj, yang dipakai memboyong Agus Ganda Prayitno, 20 tahun, di Jakarta. Hari itu, 6 Juni, Agus agak mabuk setelah menenggak minuman keras. Ia berjalan sempoyongan, menyeberang jalan di bilangan Pasar Rumput, Manggarai. Dan entah dari mana datangnya, seketika tiga orang lelaki menggetok kepalanya, lalu menyeretnya ke dalam bajaj. Teman-temannya, yang kebetulan melihat pedagang burung itu dianiaya, menghampiri untuk menolong. Namun, kata Itoh, istrinya, "mereka mundur waktu diacungi pistol." Agus, menurut istrinya, bukan sebangsa preman atau gali. Tapi, memang, terkadang ia suka minum sampai mabuk. Polisi setempat pun tak mengenalnya, karena tampaknya ia memang bukan pemeras atau suka bikin ribut. Meski begitu, Itoh, 17 tahun, sesekali menyempatkan diri menengok kamar mayat Rumah Sakit Cipto. Siapa tahu suaminya telah menjadi korban penembak misterius. Namun sampai pekan lalu, Agus tak juga nongol, baik di kamar mayat maupun di rumahnya. Polisi angkat bahu: "Kami belum mendapat gambaran, siapa yang menculiknya." Begitu pula tentang nasib Enggar dan Suraji. Ke mana hendak dicari? Petugas Garnizun, yang dihubungi keluarga Enggar jelas menyatakan bahwa tak ada petugas yang melakukan operasi malam itu. Soekardjo, ayah Enggar, masih penasaran. Ia lalu menghubungi bagian intel di Korem. Mayor Wahyu, komandannya, kebetulan bekas anak buahnya. Di sini pun ia mendapat jawaban bahwa tak ada perintah untuk menangkap Enggar. Jawaban serupa diperoleh dari Kodim Sleman dan Koramil Kalasan. Kini orang mulai menduga-duga: jangan-jangan ada yang mencoba menunggangi Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Setidaknya, seperti kata Soekardjo, "penculikan Enggar, misterius".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus