Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dendam Cinta Seorang Lesbi

Dibantu Jaja, 31, Riansah (Rian) alias Mimin, 32, wanita lesbian membunuh Iroh Rohaeti, 20, karena cintanya ditolak. Semula Polres Garut kesulitan menangkap pelaku. Keduanya diperiksa polisi.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK memang pemuda yang menaksir gadis berkulit hitam manis ini, Iroh Rohaeti, karyawati salon Sari Baru, Garut, Jawa Barat. Tapi, siapa sangka, yang benar-benar kasmaran kepada gadis berusia 20 tahun itu adalah Riansah (Rian) alias Mimin alias Idan, seorang wanita juga. Berkali-kali wanita berusia 32 tahun yang kelaki-lakian itu mencoba menyatakan cintanya kepada Iroh. Toh gadis itu menolak. Akibatnya -- tak terbayangkan -- bersama seorang pembunuh bayaran, Jaja, Rian membantai Iroh di tempat kerjanya, di siang bolong, tepat 17 Agustus lalu. Berkat kerja keras polisi, misteri pembunuhan yang menggegerkan Garut itu, pekan lalu, terungkap tuntas. "Kami tidak menyangka sama sekali bahwa pelaku dan otak pembunuhan adalah wanita lesbi," kata Kapolres Garut, Letnan Kolonel A. Somantri Emay. Sebenarnya, pembunuhan di salon yang sekaligus tempat tinggal itu hampir tak meninggalkan bekas. Polisi hanya menemukan korban, yang hari itu sendirian di salon tersebut, dengan leher hampir putus. Tapi, menurut Kapolwil Priangan, Kolonel Agusman Djumadi, sejak awal pihaknya telah mencium pelaku. "Seminggu setelah kejadian, kami sudah mengetahui pelakunya adalah Jaja," kata Agusman kepada wartawan. Menurut informasi, Jaja, seorang residivis, berusia sekitar 31 tahun, dan biasa mangkal di terminal Garut. Tim khusus segera dibentuk untuk memburu Jaja. Tapi buron itu bagai raib ditelan bumi. Kendati tim telah menjelajahi daerah yang dicurigai sebagai tempat persembunyiannya -- hingga ke perbatasan Jawa Tengah dan Cirebon, toh hasilnya nihil. Baru pada 8 November lalu, buruan itu muncul di terminal Garut. Tak membuang kesempatan, polisi segera membekuknya. Tanpa berbelit-belit, Jaja, yang sudah tiga kali menghuni penjara itu, mengaku ikut membunuh Iroh. "Saya hanya orang suruhan. Saya dijanjikan uang Rp 1 juta. Tapi sampai sekarang uang itu belum saya terima sepeser pun," kata Jaja. Dalang pembunuhan itu, kata Jaja, adalah seorang wanita bernama Idan, yang berkali-kali membujuknya menghabisi seseorang dengan imbalan Rp 1 juta. Wanita itu, tambahnya, berambut potong pendek, agak keriting, kulit kehitam-hitaman, dan bertubuh kecil. Berdasarkan info itu, polisi segera mengumpulkan bencong-bencong yang jadi langganan salon tersebut. Mereka dipertemukan dengan Jaja. Ternyata, tak seorang pun bencong itu yang dikenal Jaja sebagai Idan. Untunglah, seorang anggota polisi di situ punya data penting: wanita dengan ciri di atas pernah lapor kehilangan KTP. Nama wanita itu Riansah -- sebuah nama yang mirip laki-laki -- dengan panggilan Rian, tinggal di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Polisi pun memburu ke sana. Tapi yang dicari keburu kembali ke Garut. Dikejar ke Garut, ternyata buruan itu sudah kabur ke Cicadas, Bandung. Tanpa membuang waktu lagi, Rian diburu ke Bandung. Tak banyak kesulitan, Senin dua pekan lalu polisi menangkap wanita yang masih nona, dan selama ini juga dikenal sebagai buruh cuci itu, di sana. Kepada polisi, Rian alias Mimin alias Idan, yang hanya berpendidikan kelas I SD itu, mengaku membunuh Iroh karena sakit hati. Ia, katanya, dendam dan ingin melenyapkan Iroh karena cintanya ditolak. "Saya puas setelah ia mati," katanya kepada TEMPO. Rian tak hanya sakit hati, tapi juga merasa dihina Iroh sebagai wanita yang saraf, gila. Padahal, ia merasa tidak gila. Hanya saja, pada umur 12 tahun, anak tunggal dari keluarga kurang mampu itu merasakan kelainan dalam tubuhnya. "Saya rasanya hanya senang pada perempuan. Kalau dengan laki-laki, seperti teman biasa saja," katanya. Tapi, katanya, rasa cintanya pada sesama wanita itu, selama ini, selalu dipendamnya. Nah, entah mengapa, sejak bertemu Iroh pada awal Agustus itu, cintanya menggebu. Dengan modal Rp 1.000 sebagai ongkos gunting rambut, ia memanfaatkan pertemuan itu untuk menyatakan cintanya. Ternyata, jawaban Iroh menyakitkannya. "Eh, amit-amit dipacari sama banci. Kamu ini seperti saraf," olok-olok Iroh, yang konon sudah punya pacar tersebut. Tapi, biar cintanya sudah ditolak, Rian tetap datang, dan datang lagi. Nah, pada kedatangannya yang ketiga kalinya, sekitar pukul 10.00, pada 17 Agustus itu, ia sudah berencana mengahabisi gadis tersebut. Selain ditemani Jaja, ia sudah membekali dirinya dengan sebuah pisau daging sepanjang 25 sentimeter. Sesampainya di depan salon bertingkat yang di kiri-kanannya tanah kosong itu, Jaja disuruhnya menunggu di luar. Kamis siang itu, kebetulan hanya Iroh yang menunggui salon milik kakaknya itu. Rian, yang tiba-tiba muncul, minta rambutnya dipendekkan lagi. Selagi digunting itulah, ia kembali menyatakan cintanya -- siapa tahu masih ada harapan. Ternyata, kandas lagi. Maka, apa boleh buat. Rian, yang pernah ditahan di penjara Kebon Waru dalam kasus penipuan itu tiba-tiba menghunus Iroh dengan pisau tadi. Korban menjerit. Jaja, begitu mendengar jeritan, ikut masuk. "Waktu itu, saya lihat Idan -- begitu Jaja memanggil Rian -- dengan pisau di tangan sedang menghadapi seorang wanita yang sedang duduk di kursi," kata Jaja. Lalu, pisau itu direbutnya dan dibacokkan empat kali ke tubuh wanita itu. "Saya bacokkan ke muka, tengkuk, dan ke paha dua kali," kata Jaja. Setelah Iroh terluka, Rian mengambil pisau itu dan menyuruh Jaja keluar. "Kamu dulu yang keluar. Tunggu saya di terminal," perintah Rian kepada Jaja. Jaja menurut karena sebelumnya telah dijanjikan upah Rp 1 juta oleh wanita itu. Sendirian wanita itu membacok Iroh bertubi-tubi. Tak kurang dari 29 tusukan merajang tubuh Iroh. Luka paling parah ada pada tengkuk kirinya yang nyaris putus. Iroh terkulai di kursi kamar tidurnya dengan darah membanjir ke mana-mana. Berdasar visum dokter, gadis itu tewas karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Ternyata, kata Jaja, ia ditipu Idan. Hingga semalaman wanita itu tak muncul di terminal. Rupanya, setelah mencuci pisau berlumur darah itu di kamar mandi -- dan membuangnya di jalanan -- ia kabur sendirian. Widi Yarmanto, Ida Farida (Biro Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus