DOR! Suara pistol menyalak dari sebuah rumah di Jalan Kemuning, Galur Sari, Jakarta Timur. Letusan senjata api di siang bolong itu tak menarik perhatian tetangga. Kebetulan, ketika peristiwa terjadi, pekan lalu, para tetangga sedang menunaikan salat Jumat. Di dalam rumah, Teti yang sedang membersihkan kamar segera menghambur ke arah asal letusan, di ruang depan. "Masya Allah," pekik Teti ketika melihat adiknya, Diana Apriani, 17 tahun, roboh berlumur darah dalam pelukan Dede -- bukan nama sebenarnya, 17 tahun. Pelajar kelas I STM Kapin, Jakarta Timur, ini adalah bekas tetangga Teti dan Diana ketika masih tinggal di kawasan Matraman. Mendengar pekik Teti, ibunya, Tini Sarosi, segera menghambur ke ruang depan. Tapi ia langsung pingsan, begitu melihat anak ketiganya -- dari empat bersaudara -- tergeletak bersimbah darah. Korban segera dibawa Dede dengan mobilnya ke RSCM. Tapi, sesampai di RSCM, Diana mengembuskan napas terakhir. Gadis manis kelahiran Cianjur itu tewas karena peluru merusak jaringan otaknya. Esoknya, jenazah pelajar Sekolah Menengah Industri Pariwisata Kartini, Jakarta, ini dimakamkan di Cianjur, Jawa Barat. Persoalannya, kini, sengaja atau tidakkah Dede? "Kami tidak tahu," ujar Nyonya Tini. Ia tidak mendengar tawa canda anaknya, atau teriak ketakutan sebelumnya. Tiba-tiba ada letusan, dan Diana sudah terkapar. Siang itu, cerita orang-orang di rumah itu, Nyonya Tini, Teti, Diana, dan Dede baru saja usai makan siang. Malah, Dede yang sejak malamnya menginap di rumah keluarga Tini Sarosi-Memed Sumedi itu hanya minum secangkir kopi. Selesai santap siang, Teti masuk untuk membersihkan kamar. Nyonya Tini juga masuk, hendak mandi, karena pada siang itu Diana mengajak ibunya ke pusat perbelanjaan Pasar Pagi, di kawasan Mangga Dua. Tak ada firasat apa-apa pada Tini, ketika Diana dan Dede terus menuju ruang depan. Cuma saja, malam sebelumnya, Diana sempat mengutarakan ketakutannya pada Metti, kakaknya yang lain, tentang Dede, yang selalu bercanda dengan mengacung-acungkan pistol ke arahnya. Entah dari mana didapat, Dede sering membawa pistol FN 32 buatan Cekoslovakia. "Gue takut ada kejadian. Contohnya kan sudah banyak," kata Diana, seperti ditirukan Metti. Pistol di tangan Dede memang menakutkan teman-temannya. Sekali-sekali anak muda itu mengosongkan isinya, lalu pistol dikokang dan ditembakkan ke arah kepala teman-temannya. "Ya, mirip adegan film Deer Hunter itu, lho," ujar seorang teman Dede, yang sering melihat anak muda ini bermain dengan pistolnya. Suatu ketika, dalam perjalanan mobil, Dede kembali menakut-nakuti Diana dengan FN 32-nya. "Dian orangnya gampang takut, sehingga Dede senang," ujar Metti. Ketika kejadian, menurut sumber TEMPO, Dede kembali menodongkan pistolnya ke wajah gadis itu. Diana, yang ketakutan, menutupi mukanya dengan tangan. Tak dinyana, pistol itu meledak. Pelurunya menembus telapak tangan kanan Diana, menghunjam bagian bawah mata kirinya dan merusak jaringan otak gadis itu. "Saya tidak sengaja. Semula hanya bermaksud menakut-nakuti, tapi pistol itu meledak," kata Dede pada polisi. Dari mana Dede mendapatkan FN 32 itu? Kabarnya, anak muda ini mencomot "beceng" -- istilah anak muda Jakarta -- itu dari laci meja ayahnya, Sabeni Effendi, bekas Wali Kota Jakarta Timur. Anehnya, pistol itu, menurut beberapa temannya, sudah lama di tangan anak muda itu. Atas musibah itu, kakak-kakak Dede sudah datang menyampaikan dukacita dan mohon maaf kepada keluarga korban. Hanya saja, "Kedua orangtua Dede, juga ayahnya, Sabeni Effendi, katanya sedang berulang tahun, jadi sibuk menerima tamu dan belum sempat datang ke rumah kami," ujar Nyonya Tini kepada TEMPO, Sabtu pekan lalu. Menurut Nyonya Tini, kakak-kakak Dede menawarkan peringatan tiga hari Diana dilangsungkan di rumah Dede. Tapi Tini menampiknya. "Saya sudah tak punya rasa simpati lagi," ujar Nyonya Tini, yang membantah Dede sebagai pacar salah seorang putrinya. Anak muda bekas tetangganya itu, katanya, hanya sekadar berteman dengan gadis-gadisnya. Kendati begitu, keluarga Diana kelihatan pasrah atas musibah itu. "Kami tak akan menuntut Dede," ujar Nyonya Tini lagi, sembari memperlihatkan surat pernyataan di atas kertas segel seribu rupiah. "Kami ikhlas Diana pergi, walau dengan cara yang tidak wajar," ujar Nyonya Tini. Keluarga Dede juga pasrah. "Kita sih menurut hukum saja. Kalau adik saya bersalah, ya, mau bagaimana lagi?" ujar Tuti, seorang kakak Dede, Senin pekan ini, kepada TEMPO lewat telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini