TAK pernah terbayangkan oleh Rukmi Widayati untuk berlangganan RCTI. Gadis 26 tahun yang tinggal di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta, itu sampai sekarang masih menganggur. Sebab itu, ia kaget ketika tiba-tiba ditagih RCTI sebesar Rp 96 ribu untuk pelunasan pembayaran decoder (pesawat penerima siaran RCTI). "Saya sama sekali tidak pernah berlangganan, juga tak pernah memesan decoder," ujarnya bingung. Ia mendatangi distributor RCTI, yang mengirim tagihan kepadanya, Kebayoran Service (KS) di Kebayoran Baru. Aneh, di KS ia menemukan formulir berlangganan RCTI atas namanya. Bahkan, tanda tangannya juga tercantum jelas di formulir bermeterai Rp 1.000 dan bertanggal 23 Mei 1989 itu. "Tanda tangan dan KTP saya sudah dipalsukan," ujar Rukmi berang. Pertengahan Oktober lalu, ia mengadu ke Polsek Pasar Minggu. Siapa yang memalsu? Belakangan Rukmi ingat, pada 13 April lalu, pernah mengirim seberkas surat lamaran kepada perusahaan kontraktor PT Aditya Wira Pratama (AWP) yang beralamat di Wijaya Grand Centre, Blok A, Jakarta Selatan. Alumnus program diploma jurusan Akuntansi Universitas Jayabaya Jakarta, 1983, itu mengirimkan surat lamarannya setelah membaca iklan lowongan kerja di harian Kompas sehari sebelumnya. "Yang menerima surat-surat saya adalah Ida," ujar Rukmi. Ternyata, lamarannya tak pernah dibalas AWP. Ida, yang disebut Rukmi adalah Ida Dahlia, sekretaris direktur PT Adiawira Pratama (AP) yang alamatnya sama dengan PT AWP, di Wijaya Grand Centre, Blok A. Nah, selain kantornya seatap, Direktur PT AWP, Nyonya Ati, adalah istri Direktur PT AP. Ida Dahlia sendiri, selain sebagai sekretaris, punya bisnis sampingan: memasarkan decoder RCTI. Ida sempat diperiksa polisi untuk tuduhan pemalsuan. "Tapi tuduhan itu tidak benar. Saya malah jadi korban," tangkis Ida kepada TEMPO, pekan lalu. Sejak Mei 1989, Ida ikut memasarkan decoder RCTI. Barang itu, katanya, didapatnya dari rekan sekantornya Stevanus Suharyoko. Nama terakhir ini sudah lama punya kerja sambilan sebagai agen pemasaran decoder dari perusahaan Iman Aditya, subdistributor Kebayoran Sevice (KS). Menurut Ida, entah bagaimana caranya Suharyoko bisa mendapatkan decoder dalam jumlah banyak. "Saya membeli decoder itu dari Suharyoko," tutur Ida. Suharyoko, konon, menjual decoder itu Rp 35 ribu, dari harga seluruhnya Rp 131 ribu dan sisanya bisa dicicil. Ida mengaku, sejak Mei, telah menjual 35 decoder, termasuk atas nama Rukmi Widayati tadi, kepada orang lain. Menurut daftar pelanggan yang dikeluarkan KS -- bersumber Iman Aditya -- Ida dan Suharyoko tercatat sudah menjual 207 decoder sejak 22 Mei 1989. Ida membantah ia memanfaatkan KTP dan memalsukan tanda tangan Rukmi untuk memesan decoder-decoder tersebut. Ia menuding Suharyokolah yang bertanggung jawab. Sayang, Suharyoko menghilang, setelah dipecat dari PT AP, sejak Oktober lalu, karena kasus lain. Sebelum Rukmi mengadu, ia sudah mencium penipuan rekan sekantornya itu. Pasalnya, decoder-decoder yang dijualnya cuma dinikmati pelanggannya selama seminggu. "Setelah itu, di layar TV langganan cuma muncul garis-garis. Jelas, Suharyoko membohongi saya," ujar Ida. Hubungan ke decoder tersebut tentu saja diputuskan RCTI karena para pemilik decoder tersebut tak terdaftar di RCTI. Kasus Rukmi ini bisa menimpa siapa saja. Dari 100 ribu pelanggan RCTI, tercatat 274 pelanggan -- semuanya berasal dari KS -- yang tak diketahui orangnya. Artinya, nama di formulir pendaftarannya fiktif. Akibatnya, RCTI terpaksa memblokir siaran ke decoder tersebut. Dengan sistem distribusi decoder seperti sekarang, agaknya susah bagi RCTI melacak kasus-kasus semacam ini. Soalnya, banyak distributor menggunakan subsubdistributor dan tenaga lepas, seperti halnya Ida Dahlia itu. "Jelas, dengan cara seperti ini sulit mengawasinya," kata Manajer Distribusi dan Penjualan RCTI, Randy Roebianto. Toriq Hadad dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini