Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Diantara pasal penganiayaan

Muhammad samin harahap, 30, dituduh melakukan pembunuhan berencana atau penganiayaan ternyata divonis bebas murni oleh pengadilan negeri kisaran. seharusnya jaksa menuduh dengan pasal penganiayaan biasa.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU jaksa malu-malu menjaring terdakwa dengan banyak pasal, akibatnya bisa runyam. Seorang tersangka yang dituduh melakukan pembunuhan berencana atau penganiayaan, Muhammad Samin Harahap, 30 tahun, Selasa dua pekan lalu divonis bebas murni oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kisaran, yang bersidang di Labuhan Ruku. Kabupaten Asahan, Sum-Ut, dan diketuai M. Yahya Harahap. Padahal, Jaksa B. Malau, yang membawa Samin ke sidang, sebelumnya menuntut Samin 10 tahun penjara. Menurut Malau, Samin jelas terbukti ikut membunuh korban, Jahirsyah. Agar tersangka tak lolos dari jerat hukum, jaksa tak tanggung-tanggung menuduh Samin juga melanggar pasal penggunaan kekerasan, pembunuhan, pembunuhan berencana, penganiayaan berat, dan penganiayaan yang menyebabkan kematian (pasal 340, 338, 355, 170, dan 351 ayat 3 dihubungkdn dengan pasal 55 KUHP). Toh kelima pasal itu, menurut hakim, tak tepat. Seharusnya, kata Yahya, jaksa juga menuduh terdakwa dengan pasal penganiayaan (351 ayat 1 ) -- yang tak menyebabkan kematian. Samin dan Bachtiar Efendi Sirait, pedagang ayam, menurut Jaksa, pada malam 6 April 1988 asyik bekombur (berbincang-bincang) di rumah Bachtiar Simpang Sipare-pare, Indrapura, Asahan. Bersama mereka ikut pula Setu, anak buah Bachtiar. Ketika itulah muncul Jahirsyah, turunan Pakistan, dalam keadaan teler akibat minuman keras. Jahirsyah yang dikenal sebagai preman di desa itu mengumbar kehebatannya. "Kalian 'kan mengenalku. Aku pencuri, pemerkosa. Digebuk massa pun aku tak mati. Semua polisi temanku," katanya. Samin dan Bachtiar tak mengacuhkan kesombongan preman itu. Jahirsyah pun pergi. Tapi setengah jam kemudian, ia muncul lagi dan meminta uang Rp 25.000. Dia menyalakan korek api, dan mengancam akan membakar rumah Bachtiar. Namun, setelah dibentak Bachtiar, ia kembali cabut dari tempat itu. Rupanya ancaman Jahirsyah tadi mempengaruhi pikiran Samin. Ia waswas kalau-kalau rumahnya memang dibakar begundal itu. Sebab itu, Samin mengajak kedua temannya tadi melihat rumahnya, sekitar 500 meter dari rumah Bachtiar. Ternyata, di perjalanan mereka kepergok Jahirsyah. "Serahkan duit yang kuminta tadi," kata Jahirsyah. Kedua pedagang ayam itu tak meladeninya. "Kami miskin, kasihanlah kami," begitu permohonan Bachtiar waktu itu. Jahirsyah, menurut terdakwa, jadi berang. Ia memukul bahu kiri Bachtiar dengan kayu api. Samin segera memegang tangan Jahirsyah, 25 tahun, dan merampas kayu api itu. Dengan kayu sepanjang 45 cm dan sebesar pegangan itulah Samin mengaku memukul paha Jahirsyah dua kali. Ternyata Jahirsyah semakin kalap. Samin dan Bachtiar mengaku ketakutan dan lari kembali ke rumah Bachtiar. Tak lama kemudian, tutur mereka, Setu muncul. Anak buah Bachtiar itu mengaku telah memukul kepala Jahirsyah dengan kayu api tadi. "Mati atau tidak, tak tahu aku," kata Setu, seperti ditirukan kedua orang itu. Ternyata, Jahirsyah memang sudah jadi mayat. Penduduk menemukannya di dekat rumpun bambu. Belakang kepalanya terluka, sementara leher dan tulang rusuknya patah. Mendengar kabar itu, esoknya Samin dan Bachtiar lari ke Medan. Sedang Setu lari entah ke mana dan buron sampai kini. Karena tak merasa bersalah, 20 hari kemudian Samin dan Bachtiar kembali ke desanya. Mereka melapor ke Polsek di desanya. Samin ditahan polisi, karena ikut memukul korban. Sedang Bachtiar dilepaskan karena tak ada bukti membunuh. Menurut Malau, meskipun Samin cuma memukul Jahirsyah dua kali -- dan bukan jadi penyebab kematian korban -- toh itu satu rangkaian dengan perbuatan Setu. Peristiwa itu terjadi tanpa jarak waktu. Dengan kata lain, Samin dan Setu bersama-sama membunuh. Dengan dasar itulah Malau menuduh Samin dengan lima pasal tadi. Tapi Hakim Yahya tak sependapat dengan Malau. Setelah meneliti saksi, terdakwa, dan alat bukti lainnya, hakim berpendapat, "Samin hanya melakukan penganiayaan saja." Menurut Yahya, seharusnya jaksa juga menjaring terdakwa dengan pasal 351 ayat 1 yang mengatur penganiayaan biasa. Sebab itu, hakim membebaskan terdakwa. Pihak kejaksaan tak bisa menerima vonis hakim itu. Tanpa konsultasi dengan atasannya, Malau langsung mengajukan kasasi di persidangan itu. Vonis hakim itu ternyata tak hanya mengagetkan jaksa. Pembela Samin, Usman Jabbar dari LBH Pos Kisaran, juga tak menduga kliennya dibebaskan. Dalam pembelaannya, Usman hanya meminta kliennya dihukum ringan.MS & Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum