Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Keadilan tak ada, pengadilan dibakar

Pengadilan negeri lubuk pakam, sumatera utara, terbakar. sebagian berkas perkara jadi abu. penyelidik memperkirakan kebakaran itu dilakukan oleh orang yang kecewa terhadap pengadilan.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA orang penjaga malam di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Aliaman dan Mashudi, Senin subuh pekan lalu nyaris ditelan api. Untung, penduduk yang kebetulan melihat gedung pengadilan tersebut dimangsa api sempat membangunkan mereka. Kedua orang itu selamat. Tapi empat dari enam ruangan pengadilan, yaitu ruangan pidana, perdata, personalia, dan keuangan, yang hanya disekat tripleks, hangus. Dan yang lebih parah, berkas perkara di keempat ruangan itu ikut menjadi abu. Polisi, yang mengusut kasus itu bersama Kodam I, menemukan dua poster dengan tulisan spidol berbunyi: "Pengadilan Bakar" dan "Tidak ada keadilan di sini, semua curang". Kalimat itu tertulis di balik lembar kalender yang dikeluarkan Yayasan Benteng Huraba, milik Brimob. Poster itu masing-masing diikat ujungnya dengan tali plastik lalu digantungkan di pilar penyangga lantai II gedung itu. Disengaja? Beginlah kesimpulan petugas yang menyidik kasus itu dan juga Ketua Pengadilan Tinggi Sum-Ut di Medan, Djazuli Bachar. Menurut sumber TFMPO di Kodam I Bukit Barisan, gedung itu dibakar oleh mereka yang tidak puas dengan putusan-putusan para hakim di pengadilan tersebut. Sebab, petugas menemukan bekas minyak di ruangan pengadilan tersebut. Djazuli Bachar bahkan menganggap pembakaran gedung itu dilakukan orang-orang yang bermental dan berpikir egosentris. Sikap itu, katanya, membahayakan mekanisme kerja sama dunia peradilan. "Ini memukul wibawa pengadilan," kata Djazuli kepada TEMPO. "Dan yang melakukannya justru mendapat angin dan pejabat." Siapa? "Saya tak mau mengatakannya," tambahnya. Polisi dan pihak Kodam I, yang mengusut kasus itu, memperkirakan, "Yang melakukannya bukan perorangan, tapi mereka yang berperkara secara berkelompok," kata sumber TEMPO di Kodam I. Tapi sampai saat ini belum ada yang memastikan kolompok mana yang berulah. Hanya, selain kedua penjaga malam tadi, penyidik juga memeriksa 21 penduduk Pasar Melintang, 13 km dari pengadilan tersebut. Ke-21 orang ini sebagian dari puluhan orang penduduk Desa Pasar Melintang, yang pada Sabtu 21 Januari 1989 datang berbondong-bondong dengan 3 truk ke pengadilan tersebut. Hari itu, pengadilan lagi menyidangkan perkara perdata yang melibatkan 6 penduduk Pasar Melintang sebagai tergugat dalam kasus tanah wakaf berupa pekuburan umat Kristen di desa itu. Keenam penduduk desa tersebut, Kepala Desa Marifin Gultom dan Ketua LKMD Mauli Manurung beserta empat orang petani di desa itu, digugat seorang penduduk lain, Mepol Sinaga. Melalui pengacaranya Rulat Sitepu. Mepol menuduh lima dari enam tergugat telah menebang 30 pohon kelapa dan 30 pohon pisangnya yang terletak di atas dua bidang tanah miliknya. Selain itu, menurut Mepol, para tergugat juga merusakkan pagar kawat berduri yang mengitari tanahnya, merobohkan sebuah pondok dan menggarap tanah itu sejak 1982. Padahal, kedua bidang tanah, masih menurut Mepol, masing-masing ukuran 175 x 21 meter dan 56 x 21 meter, dibelinya dengan sah pada 1953 dan 1960. Pemilikan itu dibuktikan Mepol dengan surat keterangan tanah tertanggal 4 November 1977. Tapi yang lebih menarik selain keenam orang tadi, Mepol juga mencantumkan tergugat ke-7, yang katanya tak jelas idenntasnya. Hanya disebut dengan istilah "Orang-orang yang seolah-olah ikut menguasai tanah itu". Istilah itu ternyata nnengundang puluhan penduduk datang ke pengadilan itu. Sebagian dari 3.600 jiwa penduduk desa itu merasa terlibat akibat istilah Mepol tersebut. Apalagi sebagian tanah yang diklaim Mepol tadi termasuk tanah wakaf berupa kuburan Kristen di desa itu. "Ini milik umat. Berarti, kami semua jadi tergugat," kata salah seorang tergugat, Japentar Gultom. Persidangan yang panas tersebut, yang dipimpin Hakim Andar Purba, pada hari itu juga dibatalkan hakim. Sebab, menurut hakim, ada tergugat yang tak jelas identitasnya. Hakim Andar Purba menyarankan Bulat Sitepu memperbaiki gugatannya karena, "tak memenuhi syarat-syarat formal." Bulat setuju. Penduduk Pasar Melintang pun tak ada yang protes, kendati ada yang bersungut-sungut "Janganjangan si Mepol ada main, sehingga sidang dibatalkan," ujar seorang penduduk. Setelah itulah pengadilan terbakar dan penduduk Pasar Melintang diperiksa penyidik. Tapi tergugat Japentar dan kawan-kawannya mengatakan tak tahu-menahu. "Saya baru tahu hari Senin, setelah polisi datang ke desa kami," kata Japentar. Dirjen Pembinaan Peradilan Umum, M. Zakir, menyayangkan kejadian tersebut. "Sejak dulu, Menteri Kehakiman selalu mengingatkan masalah kewaspadaan dan keamanan gedung pengadilan," kata Zakir. Soal ini, kata Zakir, bahkan pernah ditegaskan dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, tahun 1985 dan 1987. Zakir menyatakan, hingga pekan ini kasus kebakaran gedung Pengadilan Lubuk Pakam itu masih diselidiki dibakar ataukah terbakar. "Kalau memang sengaja dibakar, wah, keterlaluan sekali. Itu 'kan merugikan kepentingan umum," ujar Zakir. Untungnya, kebakaran itu tak sampai menyebabkan pengadilan tak bisa bersidang. Sebab, menurut kepala panitera, Zein Halomoan Siregar Syukur, berkas perkara yang persidangannya masih berjalan bisa dikumpulkan lagi dari polisi, jaksa, pengacara, dan pihak berperkara. "Semuanya akan diberkaskan kembali," katanya. Sementara itu berkas yang sudah diputuskan disimpan di ruang arsip yang kebetulan tak ikut terbakar. Kendati begitu, Wakil Ketua Mahkamah Agung, H.R. Purwoto S. Gandasubrata. membenarkan bahwa pengadilan harus kerja berat. "Ya, apa boleh buat. Ini memang kerja berat. Saya kira, sekitar setahun baru pengadilan itu bisa normal kembali," kata Purwoto. Kalau benar pengadilan itu dibakar orang yang kecewa atas putusan hakim, inilah kasus pertama dalam sejarah peradilan Indonesia. Agaknya inilah protes paling kasar dari orang yang berperkara, setelah kasus perusakan pengadilan, penganiayaan hakim, sampai ke pencari keadilan yang melempar sepatunya kepada hakim.Monaris Simangunsong, Bersihar Lubis & Sarluhut Napitupulu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum