SEKOLAH yang disebut-sebut bakal melahirkan kader-kader bangsa itu tak lagi cuma gagasan. Senin pekan lalu di Balai Pertemuan Taman Siswa Yogyakarta, pendirian sekolah khusus setingkat SMTA, yang idenya dilontarkan Jenderal Benny Moerdani dua tahun lalu dibicarakan lebih rinci. Selain Benny dan tokoh-tokoh Taman Siswa yang dipimpin langsung Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa Ki Suratman, hadir pula Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno. Dua hari setelah itu, di Hotel Ambarrukmo Yogyakarta, Benny menjelaskan lagi keberadaan sekolah itu dalam acara temu wicara dengan budayawan Yogya. Sekolah itu, seperti gagasan awal, bernama Taman Madya Taruna Nusantara (TMTN). Taman Madya diambil karena penyelenggaranya melibatkan Perguruan Taman Siswa. Taruna diambil dari istilah dalam Akabri. Sedang Nusantara menunjukkan bahwa sekolah ini terbuka untuk semua lapisan masyarakat Indonesia. TMTN menggunakan kurikulum resmi SMTA ditambah hal-hal khusus yang mengajarkan kepemimpinan dan kedisiplinan. Selain itu, diajarkan "Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Kebudayaan Ki Hajar Dewantara", dan Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Kejuangan Panglima Besar Soedirman". Mata pelajaran ini tak dikenal di SMTA mana pun. Benny Moerdani melontarkan ide sekolah itu tatkala ia berceramah di Taman Siswa ketika menjabat Panglima ABRI. Dalam Kongres ke-15 Taman Siswa, Juli tahun lalu, ide itu disepakati untuk dilaksanakan, bahkan dimasukkan dalam "Pernyataan Politik". Bersamaan dengan itu polemik pun marak. Benny dikesankan ingin mendirikan sekolah yang akan mencetak calon pemimpin bangsa. Maka, ada yang tak setuju. Kelompok ini berpendapat pemimpin itu dilahirkan dan bukan diciptakan. Polemik jalan terus. Tapi Taman Siswa pun jalan terus, menjabarkan gagasan Benny itu. Kini sudah tersusun Piagam Dasar Pendidikan yang terdiri dari mukadimah dan 22 bab, Kerangka Dasar Buku Induk, serta konsep kurikulum. Bahkan ada yang dinamakan "Tri-Prasetya Siswa" yang terdiri tiga bagian. Bagian pertama diambil dari Sumpah Pemuda. "Karena ketika melontarkan ide itu saya masih Panglima ABRI, maka proyek ini merupakan kerja sama ABRI dengan Taman Siswa. Panglima ABRI yang baru menyatakan kesanggupannya melanjutkan proyek ini," kata Menhankam L.B. Moerdani pekan lalu. Untuk itu, telah didirikan Yayasan Panglima Besar Soedirman, yang akan mengelola TMTN ini. Ki Suratman menyebutkan, dalam kerjasama dengan ABRI itu, Taman Siswa mempersiapkan rancangan idiilnya, termasuk kurikulum? sistem peneriman siswa, dan penyediaan tenaga pengajar. Sedang ABRI kebagian tugas menyediakan gedung, asrama, dan sarana belajar lainnya. Warna pendidikan sekolah ini mengacu pada sistem yang dipakai di Akademi Militer. Misalnya saja dalam hal seleksi penerimaan murid. "Kita belajar dari sistem seleksi Akabri," kata Ki Suratman. Siswa yang diterima di sekolah itu harus berinteligensia tinggi. Juga sehat dan tidak cacat. Karena bahan bakunya adalah putra terbaik yang datang dari seluruh Indonesia, hasilnya diharap bakal menjadi yang terbaik pula. "Sekolah ini memang eksklusif dalam pengertian tidak ada duanya, tetapi bukan sekolah elite karena siswa justru didekatkan dengan rakyat," kata Suratman. Seperti pada Akademi Militer, semua siswa TMTN bakal diasramakan. Pagi-pagi sekali, mereka akan dibangunkan serentak. Mereka harus berolahraga. Setelah masing-masing mandi dan mengurusi keperluan sendiri, para siswa makan pagi bersama. Barulah mengikuti pelajar seperti biasa. Di luar jam-jam sekolah murid-murid itu wajib mengikuti ceramah dan berbagai kegiatan. Selama di asrama, tak ada acara yang tidak dilakukan secara bersama -- termasuk makan. Tampaknya semua konsep itu sudah matang. Namun, kapan sekolah itu bakal berdiri, belum ada kepastian. Ini menyangkut lokasi. Awalnya, direncanakan sekolah itu berada di Yogyakarta, dekat jalan lingkar luar kota. Lokasi itu sudah terpakai untuk monumen Yogya Kembali. Jenderal Try Sutrisno, yang menggantikan peran L.B. Moerdani dalam meneruskan kerja sama dengan Taman Siswa ini, kemudian menawarkan lokasi di kompleks Akabri Magelang. Di situ masih tersisa tanah yang luas. Namun, menurut Ki Suratman, lokasi ini pun belum pasti benar. "Baru alternatif, kalau memang kami kesulitan mencari lokasi di Yogya," katanya. Dalam hal dana Yayasan Panglima Besar Soedirman membuka pintu lebar-lebar bagi para pengusaha untuk ikut serta menyumbang pendirian sekolah khusus ini. Yang belum dirinci adalah sistem penerimaan slswa. Menurut Dr. A.M.W. Pranarka, salah satu tokoh Taman Siswa, kepada Bambang Aji dari TEMPO, "Mungkin sekolah itu akan memakai sistem PMDK Andi Hakim Nasoetion." Maksudnya, seleksi masuk dilakukan dengan memonitor perkembangan murid sejak kelas I SMP. Dengan cara itu, murid dengan nilai terbaik dan punya motivasi kuat -- selain fisik memenuhi syarat -- dari berbagai SMP di Indonesia akan dipanggil. Siswa TMTN dibebaskan dari semua biaya. Alternatif lain, TMTN merekrut murid yang sudah pernah duduk di kelas I SMA. Tetapi cara begini menjadikan siswa rugi waktu. Dan Pranarka juga sangsi, "Apakah nantinya dibolehkan oleh Undang-Undang Pendidikan Nasional?" Benny sendiri sangat berharap sekolah itu mampu menampung 1.000-1.500 siswa. Tetapi, menurut Ki Suratman, pada tahap awal paling yang tertampung hanya 100 murid. Atau cuma 7 kelas yang terdiri dari 40 siswa untuk setlap angkatan. Tenaga pengajar dengan perbandingan 1 guru untuk 20 siswa. Lalu, apa komentar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan? "Idenya boleh diberi acungan jempol," kata Fuad. Ia tak memberi komentar yang lain, karena mengaku belum diberi tahu semua urusan itu.Zaim Uchrowi, I Made Suarjana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini