Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Aku sakit, kau tak menjengukku

Orang miskin tak sanggup melunasi utang cintanya kepada allah. karena waktu, tenaga, hidup dan ruang usia mereka habis oleh kalah terus dalam persaingan pekerjaan dan makan minum tak menentu.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI saat heningnya malam itu, kawan saya tiba-tiba bertemu dengan Nabi Muhammad. Ia kaget setengah mati. Jadi canggung sikapnya. Mungkin takut, atau, lebih tepat, ia dihinggapi semacam rasa pekewuh yang amat merepotkan hatinya. "Hai, sahabatku" -- berkata Nabi -- "Kamu sebenarnya sayang aku atau tidak, sih?" Agak gelagapan kawan saya menjawab, "Sayang, sih, sayang, wahai, Nabi...." "Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut namaku?" "Aduh, Nabi, gimana, yaaa...," -- ia gemetar -- "bukannya tak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi. Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah dan menggumam-gumamkan nama-Nya. Tiap saat. Tiap detik. Tjap sekon. Tak ada sela-selanya lagi buat yang lain. Ampuni aku, Nabi. Waktu benar-benar sudah tak ada, digantikan oleh Allah. Juga tak ada ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah, dan urat sarafku, hati dan jiwaku, seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah saja. Allaaah melulu...." Sungguh tak enak rasanya. Kawan saya merasa posisihya sangat ruwet. Ingin ia menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi mungkinkah Kanjeng Nabi Muhammad, rasul sakti pamungkas segala derajat ilmu itu, tak mengetahui apa yang ia ketahui? Misalnya, Muhammad sendirilah yang menganjurkan agar kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya. Wajah Muhammad tak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun sirna di hadapan wajah Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia? Di masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya: Kenapa orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca salawat Nabi dalam situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-dor di sana-sini, kalau ada bahaya mengancam kok malah disuruh membaca salawat yang mendoakan keselamatan Muhammad. Kan kita yang perlu selamat. Sedangkan Muhammad sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara, terpilih di singgasana paling karib di sisi Allah. Akhirnya, ia memperoleh penjelasan bahwa konteks bersalawat adalah keseimbangan jual beli kita semua dengan Muhammad. Semacam take and give. Kalau kita mendoakan Muhammad, berarti kita "pasang radar" untuk memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan seluruh umatnya. Muhammad itu agung hatinya, amat kasih kepada semua "anak buah"-nya di muka bumi, amat merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita semua. Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan semua ini seolah-olah untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan, pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-Nya, tapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak. Maka, di tengah berbagai rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik ekonomi dan kebudayaan, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga -- kawan saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja. Pokoknya, Allah, Allah, Allaaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti. Tiba-tiba Kanjeng Nabi Muhammad nongol... menagih cinta. Alangkah tak enak posisi macam begini! Tapi ternyata beliau malah tertawa. "Kamu kelihatan takut, sahabatku. Kenapa?". "Aku merasa pekewuh, Nabi...." Nabi tertawa lagi. "Kenapa pekewuh? Mungkin karena kamu orang Jawa, ya. Kamu pikir aku marah atau tersinggung, ya, kalau kamu tak punya waktu untuk ingat aku?" Kawan saya tersipu-sipu. "Coba, apa, sih, bedanya ingat Allah dengan ingat aku?" berkata Nabi. "Kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu...." Mendadak Muhammad lenyap dari hadapannya. Kawan saya menarik napas lega. Haihaataa! Pertemuan agung! Pertemuan agung! Sebenarnya, sudah diduganya bahwa Nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe manusia cerewet atau pencemburu yang membabi buta. Ia empan papan, dan mengerti inti jagat. Tapi diam-diam ada yang tetap mengganjal di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati yang amat diyakininya, tapi belum pernah satu kali pun ia mengungkapkannya, apalagi kepada manusia, baik di pasar maupun di masjid. Pintu rahasia itu akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya kepadanya, "Hai, kamu sebenarnya sayang Aku atau tidak, sih?" Modarlah kawan saya. Ketika ia menjawab, "Sayang, sih, ya sayang...", Tuhan mengejar, persis seperti yang dilakukan oleh Muhammad -- "Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut nama-Ku?" Dalam rasa takut yang amat puncak, kawan saya nekat, "Begini, ya, Tuhan. Aku ini orang melarat, sangat melarat. Sekolah tidak rampung. Kalah terus dalam persaingan cari pekerjaan. Makan minumku tak menentu. Bahkan tempat tinggalku juga selalu darurat. Padahal, aku juga tahu amat banyak saudaraku yang sama melaratnya dengan aku, bahkan jauh lebih melarat. Aku juga melihat banyak hal yang tidak benar yang dilakukan oleh penguasa-penguasa manusia dalam manajemen alam semesta ini. Tuhan kan jauh lebih mengerti dibanding aku. Jadi, aku tak perlu omong soal kemiskinan struktural, monopoli ekonomi, atau kebudayaan jahiliah modern. Aku ini maunya punya tangan yang besar, panjang, dan kuat, sehingga bisa mengatasi semua problem ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan itu. "Tapi aku, Tuhan tahu, tak punya tangan. Aku tak punya kaki. Darahku tak begitu merah lagi. Tulang-belulangku hanya kayu-kayu kering. Mulutku terbungkam. Aku hanya punya hati untuk menangis. Tapi aku tak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang usiaku terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu. Bagaimana mungkin aku sanggup melunasi utang cintaku kepada-Mu? Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan kusebut nama-Mu ? Aku ini lapar, Kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, Kau tidak menjengukku. Aku ini kesepian, Kau tidak menyapaku ...." Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah kata-kata-Nya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus