Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA ratusan pria merangsek gedung MNC TV di Pintu II Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Rabu pagi tiga pekan lalu, mereka mengusir semua karyawan, termasuk petugas keamanan di sana. Para pria itu juga membawa surat kuasa dari Siti Hardiyanti Rukmana untuk mengambil alih aset PTCipta Televisi Pendidikan Indonesia, yang kini bernama MNC TV.
Ini adalah klimaks dari kisruh kepemilikan stasiun televisi di bawah Grup MNC milik Hary Tanoesoedibjo. Tahun lalu, putusan Mahkamah Agung memenangkan Tutut-panggilan akrab Siti Hardiyanti, putri bekas presiden Soeharto-dalam perkara arbitrase yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Kekalahan sengketa ini tak pelak mempengaruhi kinerja PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), induk bisnis media Grup MNC. "Perpindahan kepemilikan ini ada pengaruhnya," kata analis senior Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Apalagi napas perseroan salah satunya bergantung pada bisnis media. Media Nusantara Citra menguasai 75 persen saham MNC TV, dengan aset Rp 2,9 triliun. Angka itu sekitar 21 persen dari total aset Media Nusantara Citra.
Tekanan juga datang di lantai bursa. Setelah kehilangan MNC TV, hampir semua harga saham tujuh emiten grup ini ambruk. Menurut Reza, sejumlah kasus hukum yang menjerat Hary Tanoesoedibjo turut berkontribusi menekan kinerja saham emiten MNC Group. Tren penurunan paling tajam terjadi sejak Hary Tanoe ditetapkan sebagai tersangka perkara pesan ancaman kepada Kepala Subdirektorat Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Yulianto, pada akhir Juni lalu. "Sentimen itu kentara sekali," ujar Reza.
Harga saham PT Media Nusantara Citra Tbk, misalnya, turun 10 persen dari Rp 1.895 per lembar pada akhir Juni menjadi Rp 1.705 per lembar pada 7 Juli. Harga saham PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP) anjlok 25 persen dibanding bulan lalu. Adapun harga saham induk usaha PT MNC Investama Tbk (BHIT) secara keseluruhan turun 9,25 persen satu bulan terakhir.
Di tengah terpaan itu, Grup MNC juga dibekap masalah keuangan. Tak mengherankan bila entitas bisnis ini sibuk melakukan refinancing, baik dengan rights issue maupun penerbitan obligasi. Tercatat sebanyak Rp 19,97 triliun-dari total Rp 45 triliun kewajiban-merupakan utang jangka pendek perseroan. Data itu diolah Binaartha dari laporan keuangan tujuh emiten Grup MNC. "Utangnya masih dalam batas wajar karena korporasi ini masih bertumbuh," kata Reza.
Kepala Ekonom dan Riset Samuel Aset Management Lana Soelistianingsih mengatakan bisnis para konglomerat biasanya bermasalah saat mereka terjun ke kancah politik. "Biaya berpolitik itu cukup mahal," ucap Lana. "Kita bisa lihat pengalaman Aburizal Bakrie. Bisnisnya menurun karena konsentrasi terpecah." Naik-turunnya harga saham Grup MNC juga tecermin dari kiprah politik Hary Tanoe.
Syahril Nasution, Direktur dan Sekretaris Perusahaan MNC Group, menepis penilaian bahwa kasus hukum Hary Tanoe mempengaruhi kinerja saham. Menurut dia, perusahaan dikelola manajemen tersendiri secara profesional. "Kasus hukum HT (Hary Tanoe) juga belum bisa dipastikan hasilnya karena belum ada persidangan," ujar Syahril kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Syahril memastikan utang perusahaan masih sangat aman. Secara konsolidasi, di luar utang unit jasa keuangan, utang MNC sebanyak Rp 12,9 triliun (per kuartal I 2017). Dari jumlah itu, Rp 5,1 triliun jatuh tempo tahun ini. Total ekuitasnya Rp 24 triliun sehingga rasio utang hanya 0,52. "Grup masih memiliki dana kas dan setara kas Rp 4 triliun," kata Syahril.
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo