Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENENTENG sebundel dokumen, Irfan Kurnia Saleh bergegas menghadap penyidik di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis tiga pekan lalu. Hari itu, untuk pertama kalinya bos PT Diratama Jaya Mandiri tersebut diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101 di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. "Yang diserahkan ke penyidik antara lain berkas penawaran harga dari AW," kata Maqdir Ismail, kuasa hukum Irfan, ketika menceritakan pemeriksaan Irfan, akhir dua pekan lalu.
Berkas yang diserahkan Irfan memuat rincian harga per item komponen helikopter angkut berat senilai US$ 39,8 juta atau sekitar Rp 537,3 miliar. Kepada penyidik, Irfan juga menjabarkan tambahan anggaran untuk alih teknologi dari perusahaan patungan Westland Helicopters asal Inggris dan Agusta asal Italia itu. Akibatnya, nilai kontrak pembelian satu unit AW101 naik menjadi US$ 55 juta atau sekitar Rp 740 miliar. Penyidik KPK menganggap selisih harga tersebut sebagai kerugian negara. "Itu merugikan negara Rp 224 miliar," ucap Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Komisi antikorupsi telah menetapkan Irfan sebagai tersangka pada pertengahan Juni lalu. Pemeriksaan perdana Irfan sebagai tersangka pada Kamis tiga pekan lalu hanya berlangsung tiga jam. "Sebagian jawaban ke penyidik mengulang yang disampaikan saat penyelidikan," ujar Maqdir. "Pak Irfan kurang enak badan, karena masih syok semenjak adanya kasus ini."
PENGADAAN helikopter AW101 berawal dari rencana TNI Angkatan Udara membeli satu skuadron helikopter combat search and rescue. Pengadaan 16 unit helikopter itu masuk Rencana Strategis TNI Angkatan Udara 2009-2014. Realisasinya, TNI Angkatan Udara membeli enam helikopter full combat SAR mission EC725 dari PT Dirgantara Indonesia pada 2012. Pembelian itu memakai anggaran Kementerian Pertahanan dengan nilai kontrak 155,6 juta euro.
Pengadaan 10 helikopter sisanya masuk Rencana Strategis TNI Angkatan Udara 2015-2019. Semula yang diincar helikopter full combat SAR mission EC725. Belakangan, rencana pembelian berubah menjadi enam helikopter angkut berat dan empat helikopter very very important person (VVIP). Menurut Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Hadi Tjahjanto, perubahan terakhir masuk Rencana Strategis TNI Angkatan Udara 2015-2019. "Sudah dialokasikan anggarannya," tutur Hadi.
Pada medio 2015, Kepala Staf TNI Angkatan Udara ketika itu, Marsekal Agus Supriatna, mengusulkan pembelian AgustaWestland 101 sebagai helikopter VVIP untuk presiden. Pembelian itu untuk mengganti Eurocopter EC225 Super Puma, helikopter VVIP buatan PT Dirgantara Indonesia yang sudah berumur lebih dari 20 tahun.
Menurut Agus, pemilihan AW101 sudah melalui kajian panjang. Agus beralasan, Angkatan Udara ingin helikopter VVIP yang menjamin keamanan, kenyamanan, dan keselamatan. "Yang memenuhi spesifikasi itu AgustaWestland 101," ucap Agus pada akhir November tahun lalu.
Sebelum helikopter itu tiba, pada akhir Desember tahun lalu, Presiden Joko Widodo juga sudah mencium bau penyelewengan. Presiden pernah menolak rencana pembelian helikopter tersebut dalam rapat terbatas di Istana Negara pada 3 Desember 2015. "Kalau ada penyelewengan, tahu sendiri akibatnya," ujar Jokowi kala itu.
Karena ada penolakan dari Jokowi, anggaran pembelian helikopter sempat dibintangi oleh Kementerian Keuangan. Namun Agus berkukuh membeli AW101. Dia juga mengalihkan fungsi helikopter mewah itu sebagai alat angkut berat, yang kemudian berubah lagi fungsinya untuk pencarian dan penyelamatan.
Tim penyidik KPK dan penyidik Polisi Militer TNI lantas bekerja sama menguak skandal pengadaan helikopter AW101. Polisi Militer TNI menyidik mereka yang berasal dari kalangan militer. Sedangkan lembaga antikorupsi menangani aktor swasta atau orang sipil.
Polisi Militer telah menetapkan empat tersangka. Mereka adalah Marsekal Pertama TNI Fachri Adamy selaku pejabat pembuat komitmen; Letnan Kolonel WW, pejabat pemegang kas; Pembantu Letnan Dua SS, yang diduga menyalurkan dana ke pihak tertentu; dan Kolonel FTS, Direktur Unit Layanan Pengadaan (ULP) TNI Angkatan Udara. "Kepala ULP yang bertanggung jawab terhadap pengadaan barang dan jasa," kata Komandan Polisi Militer TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko. Menurut Dodik, penyidik Polisi Militer dan KPK masih menelusuri keterlibatan aktor lain dalam pengadaan helikopter AW101 dengan metode pembelian khusus pada April 2015 itu.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan tim penyidik gabungan menemukan indikasi pengaturan tender oleh TNI Angkatan Udara agar PT Diratama keluar sebagai pemenang. Berdasarkan hasil penelusuran KPK dan TNI, Irfan Kurnia Saleh telah meneken kontrak dengan Leonardo/AgustaWestland Limited pada Oktober 2015 untuk pembelian satu unit helikopter AW101. Nilainya kontraknya US$ 39 juta atau sekitar Rp 514 miliar.
Sewaktu TNI Angkatan Udara menggelar lelang pada Juli 2016, hanya ada dua perusahaan yang berpartisipasi, yakni PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan PT Karya Cipta Gemilang (KCG). PT Karya Cipta Gemilang merupakan perusahaan milik Bennyanto, yang juga bekerja di PT Diratama. "Baik PT DJM maupun PT KCG, Irfan yang menentukan. Dia sudah tahu yang akan dimenangkan PT DJM," ucap Basaria. Setelah ditentukan sebagai pemenang pada Juli 2016, Irfan mengubah nilai kontrak pembelian satu unit helikopter AW101 menjadi Rp 738 miliar.
Dalam suratnya kepada TNI pada 18 Juni lalu, AgustaWestland menyebutkan harga helikopter AW101 dengan fasilitas 24 tempat duduk itu senilai US$ 43,8 juta. Harga belum termasuk paket pelatihan sebesar US$ 2,4 juta, penempatan dua perwakilan Leonardo di Indonesia selama setahun sebesar US$ 1,5 juta, biaya pengiriman helikopter ke Indonesia sebesar US$ 2,02 juta, dan biaya lainnya total US$ 14,4 juta.
Selain menemukan pembengkakan harga, tim gabungan KPK-TNI menemukan potongan dana sebesar empat persen dari nilai anggaran yang disebut sebagai "dana komando". Dana itu dipotong secara otomatis ketika TNI Angkatan Udara membayar ke rekening penampungan PT Diratama di Bank Negara Indonesia. Pemotongan "dana komando" sebesar Rp 17,7 miliar terjadi dalam pembayaran tahap pertama, dari total Rp 432 miliar, pada 5 September 2016.
Adapun dalam pembayaran tahap kedua, sebesar Rp 147,7 miliar, pada akhir Januari 2017, TNI Angkatan Udara tidak sempat menyisihkan "dana komando". Pembayaran tahap ketiga, Rp 73,8 miliar, pada awal Maret 2017 juga luput dari potongan. Menurut seorang penegak hukum, TNI tak lagi mengutip "dana komando" karena penyelewengan pengadaan helikopter AW101 sudah terkuak ke publik.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, berdasarkan hasil kajian penyidik KPK dan Polisi Militer TNI, AW101 tidak cocok untuk pencarian dan penyelamatan. Karena menggunakan tiga mesin, bobot AW101 terlalu berat. "Itu yang juga diusut tim tentara dan KPK," ujar Agus. Selain itu, penyidik gabungan telah mengantongi data bahwa AW101 yang dibeli TNI Angkatan Udara merupakan produksi lama. "Penyidik menemukan bukti bahwa itu produksi 2012," kata Agus. "Produksi lama, tapi harganya lebih mahal."
Agus menerangkan, sejak awal tim pengadaan di TNI Angkatan Udara sebenarnya sudah mengetahui bahwa pembelian AW101 tidak beres. Namun proses pembelian tetap lanjut, bahkan setelah ditentang Presiden. "Setiap ditanya kenapa dilanjutkan, jawaban mereka selalu ’ini perintah dari atasan’," ucap Agus.
Agus Supriatna tak mau menanggapi tuduhan bahwa dia yang ngotot membeli helikopter pabrikan Leonardo itu. Namun dia memastikan pembelian AW101 sudah mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pertahanan, dan Badan Perencanaan Pembangunan. Persetujuan dari Menteri Keuangan turun lewat surat pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2016. Surat itu berimplikasi pada pelepasan tanda blokir anggaran pengadaan AW101 sebesar Rp 742,5 miliar.
Agus Supriatna juga mengaku tak tahu-menahu soal potongan "dana komando" sebesar empat persen. "Tidak ada itu potong-potong. Makanya saya kaget. Sebaiknya tanya mereka saja," ujar Agus Supriatna.
Sedangkan Irfan Kurnia Saleh, melalui Maqdir Ismail, membenarkan adanya potongan dana komando itu. Bahkan Irfan sempat melayangkan surat protes ke TNI Angkatan Udara. Ketika kasus ini mencuat, menurut Maqdir, dana yang sempat dipotong dikembalikan kepada Irfan. "Ada seorang kolonel yang menghubungi Pak Irfan dan mengantarkan langsung dana yang dipotong itu dalam bentuk cash," tutur Maqdir.
Meski uang itu dikembalikan, menurut Maqdir, kliennya tetap menanggung kerugian. Sebab, helikopter yang seharusnya diserahkan ke pemerintah Indonesia pada akhir Januari lalu itu masih berada dalam penguasaan Irfan. Akibatnya, Irfan harus membayar ongkos sewa tempat parkir AW101 di Pangkalan Udara Atang Sendjaja, Bogor, Jawa Barat. Kliennya juga harus membayar denda dengan hitungan harian ke TNI Angkatan Udara karena helikopter itu dianggap belum rampung.
Sisa pembayaran di rekening PT Diratama sebesar Rp 139 miliar belakangan juga disita KPK. Padahal, kata Maqdir, kliennya sudah mematuhi semua isi kontrak. PT Diratama antara lain telah mengirim empat anggota TNI untuk mengikuti pelatihan di pabrikan, mengirim tiga anggota TNI lainnya untuk menjadi technical representative di fasilitas pabrikan, dan memperbaiki fitur-fitur helikopter sesuai dengan permintaan TNI Angkatan Udara. "Kini klien kami malah gigit jari," ujar Maqdir.
Linda Trianita, Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo