SEORANG nyonya paro baya datang bergegas ke kantor Komres 1501
Badung. Kaki dan tangannya bengkak. Sang nyonya yang bernama AM
dan mengaku berumur 40 tahun cepat-cepat mengatakan kepada
Polisi yang bertugas "saya menyerahkan diri. Saya membunuh suami
saya". Polisi kaget, sang nyonya segera ditenangkan. Dan
diamankan.
Setelah agak tenang, sang nyonya yang nampak memang cantik
diminta bercerita secara lengkap di hadapan Kabag Reserse Komres
Badung, Kapten Pol drs Suyono. "Saya nekad membunuh suami saya
karena tidak tahan lagi melayani kesadisan sexnya di tempat
tidur. Keterlaluan sekali", ujar sang nyonya. Malam itu -- Kamis
9 September -- suaminya S mempergunakan "obat kuat". AM
kewalahan dan menolak permintaan suaminya dilanjutkan, karena
menurut AM, bukan lagi permainan normal sebagai suami isteri.
Dengan meronta dan mengumpat, sang nyonya berhasil menghentikan
kehendak suaminya, tapi S marah dan jengkel.
Dan Meninggal
S menuduh AM sebagai perempuan yang tak bisa membahagiakan
suaminya sendiri dan berbuat serong. S merasa dihina, hingga di
malam buta dalam rumah yang hanya berisi 2 manusia itu
berlangsung perkelahian sungguh-sungguh, mempertaruhkan nyawa.
"S nampak benar-benar garang, dan saya jadi kalap. Ketika saya
sempat memeluk lehernya, S saya banting. Kepalanya membentur
pinggiran ranjang. Dan meninggal". AM berhenti bercerita.
Polisi segera mengadakan pemeriksaan di tempat kejadian, sebuah
rumah di komplek kota baru Sanglah. Mayat S segera diangkut ke
RSUP Sanglah untuk diteliti. Besoknya AM kelahiran Bondowoso
(Jatim) ini bercerita lagi, kali ini di hadapan polisi dan
wartawan. "Belakangan ini hubungan kami tidak secerah dulu,
ketika kawin tahun 1970. Suami saya lemah syahwat", tutur AM.
Tentang penyakit suaminya itu, sudah sering dicarikan obat ke
Surabaya, namun tidak berhasil. "Suami saya mulai impoten sejak
mengawini seorang gadis dari Karangasem", tambahnya. AM
menuturkan, betapa sakit hatinya, ia dimadu, padahal AM sendiri
membiayai hidup dua penganten yang tidak muda ini. "Yah saya
menyesal sekali sekarang. Saya mencintai S, saya bertobat",
tiba-tiba AM menjadi sedih, tapi tanpa air mata sebagaimana
seorang wanita bersedih.
Di tengah-tengah penyelidikan yang seksama untuk mengetahui apa
latar belakang AM sebenarnya membunuh S, sementara menunggu
visum dokter, 15 September di Komres Badung datang 2 wanita.
Seorang gadis bernama Ermin, 18 tahun datang dari Muncar.
Seorang lagi wanita yang, menggendong bayi 8 bulan bernama
Arsini, 22 tahun dari Klungkung. Keduanya tidak saling kenal,
dan keduanya bertujuan sama, menanyakan kematian S.
Ermin bercerita begini. Ketika ia berumur 12 tahun, keluarganya
yang tenteram menjadi berantakan. Ini disebabkan ada tetangga,
seorang janda yang menggoda ayah Ermin. Godaan janda ini
menyebabkan ibu Ermin selalu mendapat tamparan sang ayah yang
lagi kasmaran. "Ibu saya sakit hati, akhirnya minta cerai.
Perceraian pun berlangsung segera di Muncar, dan ibu pulang ke
Pasuruhan" tutur Ermin. Benar, ayah Ermin kawin dengan sang
janda dan keduanya hidup sebagai suami isteri tanpa ada surat
kawin dan pergi meninggalkan Muncar menuju Denpasar. Ermin ikut
ibunya ke Pasuruhan. Ayah Ermin ini adalah S yang terbunuh dan
janda itu adalah AM yang pembunuh.
Ermin menutup kisahnya dengan kejadian terakhir. Pada 3
September, ayahnya, S, datang ke Pasuruhan, karena diminta
Ermin. Ermin mau kawin dengan tunangannya Oei Ciaw Wie, 23 tahur
Karena ada UU Perkawinan, sang ayah yakni S dan ibu yang di
Pasuruhan harus tahu S bukan saja menyetujui, malah menjadi
baik-baik dengan bekas isterinya yaitu ibunya Ermin. Tanggal
perkawinan ditetapkan 10 Oktober mendatang. Di saat rencana
bahagia ini, tiba-tiba muncul AM di Pasuruhan. AM jengkel dan
sangat marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa, lalu balik ke
Denpasar. S tenang-tenang saja. Dan merasa urusan telah selesai,
dan juga telah memberi uang persiapan perkawinan Ermin Rp
500.000. S pada 7 September balik ke Bali, karena tak bisa
meninggalkan pekerjaannya lama di Perikanan Samudra Besar Benoa.
Sang ibu muda bernama Arsani, wanita Bali, giliran bercerita. Ia
adalah isteri syah S. Kawin 19 September 1974 dengan upacara
adat Bali di rumah orang tua Arsini di Karangasem. Ia menyimpan
rapi surat keterangan kawin yang dibuat Kepala Desa Padang
Kertha Karangasem. "S jujur, mengakui punya anak gadis di Jawa
dan kami menetal di Klungkung dengan bahagia. Di Denpasar tak
ada rumah, S katanya tak kuat sewa rumah, sementara perusahaan
tak memberikan rumah. Jadi tidak apa ia mondar-mandir
Klungkung-Denpasar". kata Arsini. Tapi Arsini tidak tahu, kalau
S sering bermalam di Denpasar karena punya simpanan, sementara
ia menduga S kerja lembur.
Barangkali Lembur
Arsini membenarkan, awal September 1976 S minta ke Jawa, katanya
mengawinkan anak gadisnya. Malah Arsini menyarankan agar S
memberi uang pada anaknya yang kawin, sebagaimana lazimnya di
Bali. S tiba di Klungkung dengan muka yang cerah pada 7 Septem-
ber. "Semua urusan beres", kata S pad Arsini. S yang disebut
Arsini sebagai lelaki normal dan suami penuh tanggung jawab,
keesokan harinya berangkat kerja ke Denpasar. "Anak saya ini
diciumnya, dan ia bilang kerja lembur sampai besoknya", tutur
Arsini. Kamis 9 September S tidak kembali, Arsini tidak curiga.
"Maklum pekerjaan lama ditinggalkan, barangkali lembur terus",
begitu fikiran Arsini polos. Betapa terkejutnya ketika Arsini
mendengar S mati terbunuh, oleh nyonya AM yang tidak dikenalnya.
Cerita Ermin dan Arsini ini menjadi bahan buat polisi melakukan
penelitian, apa motif AM membunuh S. Masih terbuka kemungkinan
lain, apakah pembunuhan S itu direncanakan dan adakah orang lain
lagi yang terlibat. Pembunuhan terjadi jam 1 tengah malam,
menurut pengakuan AM dan pembunuh melapor keesokannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini