PEJABAT adalah abdi masyarakat, lebih-lebih apabila ia pejabat
pemerintah. Itulah kira-kira kalimat yang sering terdengar di
berbagai kesempatan dan oleh pejabat itu sendiri. Kalimat ini
selintas terdengar manis, enteng dan akurat dalam pengertian
yang idealistik. Akan tetapi sebenarnya mengandung konotasi
konsekwensial yang tidak tanggung-tanggung.
Kata Abdi dengan lambat tak dapat dipisahkan konotasinya.
Mengabdi kepada masyarakat berarti sama dengan menghamba atau
bekerja atau bertugas sebagai hamba masyarakat. Seorang pejabat
yang merasa menjadi hamba masyarakat tidak bisa terlepas dari
fungsi hamba itu. Karenanya kepentingan masyarakat yang terdiri
dari individu-individu yang hidup itu wajib didahulukan. Memang
harus disadari bahwa kata masyarakat dapat menjadi kabur
(confuse) pengertiannya apabila dihubungkan dengan tindakan
konkrit sehari-hari. Selain kalau dalam arti yang idealistik
seperti tersebut di atas. Padahal kenyataan sehari-hari, inilah
yang sangat penting dan harus diperhatikan.
Sebagai contoh, seorang individu yang tentunya anggota dari
masyarakatnya ingin menghadap seorang pejabat pemerintah), maka
pejabat itu wajib nenerima individu tersebut dan melayaninya
dalam aturan tertentu yang terbatas. Terbatas dalam artian yang
seuai dengan dasar kehidupan sosial dan bernegara.
Individu yang menghadap dengan nembawa kepentingannya itu
haruslah dilayani demikian, karena ia adalah representasi yang
tepat dari masyarakat secara keseluruhan. Pelayanan yang baik
terhadap individu berarti pengejawantahan dari pelayanan
terhadap masyarakat dalam pengertian yang idealistik itu.
Kalau hal ini tercipta dan tanpa membedakan pula latar-belakang
dari iniividu-individu itu, berarti tercapai dan teriptalah
pula kenyataan sebenarnya dari pernyataan para pejabat di atas.
Namun apa yang telah terjadi?
Seseorang individu yang menghadap seorang pejabat harus
mendaftar, menandatangani dan menunggu berlama-lama. Lalu kalau
di samping individu tersebut terdapat individu-individu lain
yang datang dari "klas lebih tinggi", maka individu "klas
rendah" itu harus duduk atau berdiri seperti batang pisang,
kendati individu "klas rendah" itu sudah datang duluan dan
telah mendaftar pertama kali.
Sebagai individu yang berotak seperti juga individu-individu
lain yang berotak dan berbudi itu, dengan sendirinya tahu bahwa
ia berada dalam kelompok "klas kambing".
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah: Cuma sedikitkah
individu-individu "klas kambing", maka mereka diabaikan? Terlalu
representatipkah individu-individu "klas balkon", maka mereka
lebih dipentingkan?
Pejabat adalah abdi masyarakat. Masyarakat dari
individu-individu "klas" manakah? Saya kira terlalu berat
pernyataan ("pejabat adalah abdi masyarakat") dilontarkan di
tengah-tengah masyarakat Indonesia sekarang ini.
Bukankah masyarakat kita sudah bertambah maju dalam berpikir,
dan tak kalah penting, peka dalam perasaan?
SOFI MUHAMMAD BUSTAMI
Jl. Balai 40, Pangkalpinang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini