GADIS berumur 13 tahun, Dewi Nurasih, tewas di kamar mandi rumahnya. Lehernya terjerat tali skipping milik kakak kandungnya -- lain ayah -- sendiri, Jajang Rohimat, 20 tahun. Mulutnya penuh darah. Seluruh tubuhnya lebam membiru bekas hantaman benda tumpul. Tapi barang-barang di rumah itu tak ada yang hilang. Tak ada orang lain di rumah itu. Ibu korban, Nyonya Enok, sedang berada di Banjar. Sang ayah, Dahlan -- ayah tiri Jajang -- sudah meninggal karena kecelakaan, 1988. Siapa pembunuhnya? Jaksa Tjikmanan -- yang membawa perkara itu ke sidang Pengadilan Negeri Bandung, pekan-pekan ini -- menuding Jajang sendiri yang membunuh adiknya. Motifnya, karena sakit hati. Inilah dugaan Jaksa: Pada 22 Februari 1990 itu, sepulang sekolah, Jajang minta uang kepada Dewi. Permintaannya tak diluluskan, malah Jajang diumpat habis-habisan. Terdakwa gelap mata dan menghabisi adik kandungnya. Begitu Dewi tewas, Jajang berpura-pura mencari adiknya ke rumah tetangga. Setelah itu, pelajar kelas III SMA itu kembali ke rumah, lalu menyeret korban sambil minta tolong. Maka, gemparlah warga kompleks perumahan di Panghegar Permai, Ujung Berung, Bandung. Seminggu kemudian Jajang diciduk polisi dan ditahan sampai sekarang. Benarkah dia membunuh? Di persidangan, Jajang membantah. Para saksi yang dimunculkan juga melemahkan tuduhan itu. "Sampai kapan pun, saya tidak akan pernah mengakui membunuh adik kandung saya sendiri," kata lelaki bertubuh jangkung itu kepada TEMPO. Inilah tuturnya: Pada 22 Februari, sepulang sekolah sekitar pukul 12.45, ia mendapati pintu rumahnya tertutup. "Dewi! Dewi!" teriaknya. Tak ada sahutan. Ia kemudian berhasil membuka pintu setelah merogoh kunci lewat jendela. Di ruang tamu, ia melihat beberapa batang rokok bekas dan setumpuk abu di asbak -- Jajang bukan perokok. Selain itu, ada secangkir air putih masih utuh. Tapi tak seorang pun di situ. Karena itu ia keluar rumah memanggil pembantu di rumah sebelah, Enni. Bersama Enni, Jajang memeriksa rumahnya. Lemari di kamar acak-acakan, teraduk-aduk. Tapi Dewi tetap tak ketemu. Tapi Jajang melihat sesuatu yang aneh. Sebuah kamar mandi, yang selama ini tak terpakai, tampak tertutup. Ia pun mendorong pintu kamar mandi tersebut. Astaga! Kaki Dewi mengganjal. "Dewi, kenapa kamu tiduran di kamar mandi," kata Jajang. Pintu pun didorongnya lebih ke dalam. Masya Allah! Kepala pelajar SD itu tersandar di dinding, lehernya terbelit tali skipping milik Jajang. Tubuh korban, yang hanya berkaus dan bercelana pendek, tampak lebam. Jajang berteriak minta tolong. Waktu itu, cerita Jajang, napas Dewi lemah. Tetangga yang berdatangan melarikan korban ke Rumah Sakit Santo Yusuf. Namun, sebelum ditangani dokter, Dewi sudah tewas. Jajang kontan pingsan. Benarkah cerita Jajang? Semula, polisi menduga pembunuhan ini berlatar rebutan waris. Sebab, Dahlan yang beristri tiga dan punya sembilan anak -- meninggalkan sejumlah warisan tanah di Palembang. Ibu Dewi adalah istri ketiga. Menurut polisi, Jajang berkerja sama dengan anak-anak Dahlan yang lain untuk menghabisi Dewi. "Malah, terdakwa menghasut anak-anak Dahlan agar ikut serta membunuh Dewi," kata Wakapolresta Bandung Timur Mayor Drs. T.B . Chanafi di sidang. Tapi, itu tadi, Jajang -- yang dibela Melani dari LBH Bandung -- membantah. "Saya terpaksa mengaku karena dipermak. Saya nggak mau mati konyol di tangan polisi," kata Jajang kepada TEMPO. Menurut Jajang, ada enam orang oknum yang menghajar dirinya, termasuk Chanafi sendiri. Bantahan Jajang didukung keterangan saksi-saksi. Saksi Enni, 15 tahun, misalnya, mengaku pada hari itu sekitar pukul 11.00 melihat seorang tamu lelaki di rumah Dewi. Lelaki itu, katanya, berkaus merah, bercelana jeans, berbadan tegap, rambut potongan pendek. Enni, yang kala itu mau membeli supermi, sempat bertanya kepada Dewi. Siapa tamu itu? Jawab Dewi, "Nggak tahu, nggak kenal." Karena itu, si tamu memelototi Enni. Soal si kaus merah dibenarkan saksi lain, Pak Guru Sanu. Siang itu, ia melihat lelaki itu keluar dari rumah Dewi. Tukang becak Ucup juga membenarkan lelaki berkaus merah secara terburu-buru naik becaknya, dengan membayar Rp 500 -- tarif umum cuma Rp 300. Sementara itu, Nyonya Enok sejak semula tak yakin Jajang membunuh adiknya. "Anak saya itu bukan pembunuh," kata Enok. Sebab, Dewi dan Jajang, katanya, tak pernah cekcok -- paling-paling hanya keributan kakak adik biasa. Jadi, benarkah Jajang cuma tumbal? Widi Yarmanto, Ahmad Taufik, dan Riza Sofyat (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini