PADA usia dua tahun Badan Pertanahan Nasional (BPN), kejutan besar mengentak lembaga yang dahulunya bernama Ditjen Agraria itu. "Ledakan" yang terjadi pekan ini bukan karena "bom" sengketa tanah, ataupun membengkaknya kasus sertifikat aspal. Tapi lebih oleh sebab dari dalam sendiri, yakni terungkapnya "kebocoran" uang negara. Tak tanggung-tanggung seorang bekas pejabat agraria, Dr. Arie Lastario K., 55 tahun, yang sudah 34 tahun lebih menjadi pegawai agraria, Rabu pekan lalu, diciduk dan ditahan Kejaksaan Agung. Doktor lulusan Michigan State University, AS (1974), yang juga dosen, antara lain di Institut Pertanian Bogor (IPB), itu disangka terlibat kasus korupsi di lingkungan agraria sehingga merugikan negara sekitar Rp 4 milyar. Menurut Kepala Humas Kejaksaan Agung, Soeprijadi, Arie diduga memanipulasi biaya konstruksi pengukuran dan pemetaan tata guna tanah daerah transmigrasi di Aceh dan di beberapa wilayah Sumatera lainnya. "Permainan" itu semua, masih kata Soeprijadi, berlangsung sewaktu Arie menjabat Kasubdit Perencanaan dan Program, Direktorat Tata Guna Tanah (TGT), Ditjen Agraria, pada 1975-1988. Sebagai koordinator pelaksana proyek Arie memang berwenang dari merencanakan Daftar Usulan Proyek (DUP) hingga menjadi Daftar Isian Proyek (DIP). Hanya saja, peneliti senior, dan konsultan sumber daya alam, itu ternyata juga terjun langsung sebagai rekanan, pelaksana pekerjaan, dan pengatur uang proyek. Dana proyek Rp 2 milyar per tahun, masih menurut Soeprijadi, selalu dipecahnya menjadi banyak proyek, yang bernilai Rp 20 juta ke bawah. "Maksudnya tak lain agar proyek itu luput dari tender dan bisa diberikan kepada rekanannya sendiri," tutur Soeprijadi. Sesuai dengan ketentuan, memang proyek bernilai di atas Rp 25 juta saja yang perlu ditenderkan. Hebatnya, rekanan yang ditunjuk Arie, antara lain CV Multi Teknik, PT Bhakti Nusantara, dan PT Indograf Baru, tak lain adalah perusahaan keluarganya sendiri. "Di situlah letak penyalahgunaan jabatannya," kata Soeprijadi dengan tandas. Dari nilai proyek itu, si rekanan menyerahkan 80% kepada Arie, sedangkan sisanya menjadi jatah rekanan tersebut. Untuk memuluskan garapannya, pada Mei 1982, Arie mendirikan Yayasan Pengembangan Keterampilan dan Mutu Kehidupan Nusantara di Jakarta Selatan. Yayasan ini -- yang juga bergerak di bidang konsultan pertanahan, pendidikan, dan pelatihan dari pembantu rumah tangga sampai karyawan honorer di TGT -- juga menggodok dan mengerahkan tenaga teknis dari TGT untuk melaksanakan proyek-proyek tadi. "Permainan" itu semakin terlindung lantaran pada 1980-1982 Arie sempat menjadi pimpinan proyek di lingkungan TGT. Sebelumnya, pada 1977-1980, jabatan pimpinan proyek di lingkungan TGT dipegang Dr. I Made Sandi, yang Direktur TGT, selaku atasan Arie. Tapi, konon, "otak" Arie memang lebih lihai ketimbang "pengawasan" Made. Hasil pengutipan sekitar 25% dari setiap proyek bernilai Rp 2 milyar selama 10 tahun itu, sambung Soeprijadi, dipergunakan Arie untuk kepentingan pribadi. Antara lain, simpanan di bank, membeli tanah dan rumah di berbagai tempat, mendirikan Yayasan Nusantara itu, dan untuk mendirikan Universitas Nusa Bangsa -- lengkap dengan asrama mahasiswa -- di Bogor. Pada 1984, "muslihat" itu sebetulnya sempat tercium Irjen Departemen Dalam Negeri, yang membawahkan Agraria. Itu gara-gara membanjirnya surat kaleng, yang menuding Arie melakukan pembelian alat-alat, survei, perjalanan, pengolahan data komputer, dan pemetaan tanah plus desain tata ruang, fiktif. Sayangnya, waktu itu, Depdagri menilai cara kerja Arie itu masuk akal. "Pada waktu itu memang sulit untuk mengontrakkan proyek pengukuran dan pemetaan daerah transmigrasi. Selain daerahnya terpencil, ahli pemetaan juga terbatas," kata sebuah sumber di Depdagri. Belakangan, entah bagaimana prosesnya, ternyata kasus itu diusut Irjen. Bahkan sewaktu Soni Harsono dilantik menjadi Ketua BPN, pada November 1988, kasus itu sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Sebelum itu, atas rekomendasi Dirjen Agraria Sarwata, jabatan Arie selaku Kasubdit Perencanaan dan Program dicopot Mendagri. Bahkan pada April 1989, Arie dikenaki cuti setahun di luar tanggungan negara. Kejaksaan Agung, kemudian, menahan dan menyita berbagai harta Arie. Yakni, gedung Yayasan Nusantara, yang bernilai sekitar Rp 504 juta, dan 131 persil tanah seluas 18 hektare lebih di 10 tempat. Kejaksaan Agung juga memohon agar BPN membebastugaskan Arie. Permintaan yang terakhir itu agaknya sulit dikabulkan. Sebab, menurut Soni, Arie kini berstatus cuti di luar tanggungan negara tak menerima gaji. Untuk dibebastugaskan, kata Soni, berarti Arie harus diaktifkan kembali. Sampai akhirnya pada 24 Juli lalu, Soni memperoleh kabar dari Kejaksaan Agung bahwa Arie sedang diperiksa. Dengan begitu, "Saya tidak bisa berkomentar kenapa kasus itu bisa berjalan sampai 10 tahun. Saya berharap agar Kejaksaan Agung mengusut tuntas kasus itu. Kalau perlu bantuan, BPN selalu terbuka," kata Soni. Bagi Soni kasus itu terhitung semacam rahmat yang tersembunyi. "BPN kan sedang bertekad memperbaiki aparatnya. Jadi, kalau ada yang menyeleweng, saya malah ingin menunjuk hidung si penyeleweng," katanya. Benar-tidaknya tuduhan "permainan" milyaran rupiah di Agraria itu memang belum pasti. Sebab, Arie kini dijaga ketat di dalam tahanan Kejaksaan Agung. Sementara itu, tak seorang pun anggota keluarganya yang berkenan menjelaskan soal itu. Hanya saja, menurut Soni, Arie pernah berkirim surat kepadanya. Isinya menyatakan bahwa dirinya tak bersalah. Sebab, menurut Arie lewat suratnya, semua dana "berlebih" itu dipergunakannya untuk kegiatan sosial dan pendidikan -- di antaranya Yayasan Nusantara dan Universitas Nusa Bangsa. Heppy S., Sri Pudyastuti, G. Sugrahetty (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini