PERAMPOK kini semakin nekat. Bayangkan, di siang bolong, Sabtu pekan lalu, kawanan perampok beraksi di kompleks -- perumahan Bea Cukai di Jalan Erlangga Barat, Semarang. Selain membawa kabur uang senilai Rp 2,5 juta , dua buah jam Rolex, lima cincin emas seberat 70 gram, dan sebuah peniti emas, kawanan rampok juga membunuh dua pembantu rumah tangga di rumah itu. Kedua korban, Yuni Ametado, 23 tahun, dan Tuyem, 70 tahun, ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Yuni tertelungkup berlumuran darah di dipan kamar tidur. Pada tubuhnya terdapat tujuh bekas tusukan senjata tajam, di perut, leher, punggung, dan dada. Tuyem ditemukan menggeletak di lubang WC, juga dengan luka tusukan di tubuhnya. Pemilik rumah, G. Tobing, 45 tahun, sehari-harinya pendeta Pantekosta, Semarang, sebenarnya sudah hendak boyong ke Ujungpandang. Sebab, istrinya, Nyonya Anna Maria, belum lama ini diangkat menjadi Kepala Sub-Bagian Umum Inspektorat Bea Cukai, Ujungpandang -- sebelumnya menjabat staf Inspektorat Bea Cukai di Semarang. Hanya saja keluarga ini belum sempat pindah semua karena Tobing masih menunggu proses pendaftaran anak tertuanya, Waldi, di perguruan tinggi swasta di Semarang. Siang itu, Waldi, 19 tahun. baru pulang -- mengurus sekolahnya. Pemuda itu merasa curiga ketika menjumpai rumahnya dalam keadaan berantakan. Pintu bagian dalam tak terkunci, beberapa pakaian berserakan di tempat tidur, dan pintu lemari terbuka. Dia tambah terkejut melihat darah berceceran di lantai. Ceceran darah itu dia ikuti. Waldi tambah kaget, ternyata darah itu berasal dari tubuh pembantunya, Yuni, yang ditemukan sudah tewas. Ceceran darah yang lain ternyata berhenti di kamar mandi pembantu. Di situ Tuyem tergeletak sudah tak bernyawa. Jalan Erlangga Barat, yang terletak di belakang kampus Universitas Diponegoro memang sepi dari lalu lintas. Tapi saksi mata, dua orang pembantu sebelah rumah Tobing, Puji dan Kartini, sekitar pukul 09.00 pagi, melihat rumah Tobing didatangi dua orang tamu berkendaraan sepeda motor warna hitam. Bahkan kedua tamu tak dikenal itu sempat menegur Kartini. "Rumah ini sepi, nggak ada orang, ya. Apa pembantunya sudah ganti," kata Kartini menirukan salah seorang lelaki yang bertubuh tinggi kekar itu. "Nggak tahu," jawab Kartini. Hanya saja kedua saksi itu tak lagi memperhatikan ketika tamu-tamu itu memasuki rumah Tobing. "Saya tak mendengar suara jeritan orang atau keributan di rumah Pak Tobing saat itu," kata Kartini. Polisi, sampai awal pekan ini, masih mencari jejak kedua "tamu" itu. "Sampai saat ini kami belum ketemu siapa-siapa yang bisa dicurigai kejadian ini masih dilacak terus kata Letnan Kolonel Iwan Panjiwinata, Wakapoltabes Semarang, pada TEMPO. "Mereka nampaknya sndah tahu lingkungan sekitar. Buktinya, mereka beraksi ketika rumah dalam keadaan sepi?" kata sumber TEMPO di Poltabes Semarang. Sebelum terbunuh, korban diduga polisi sempat melakukan perlawanan. "Baru setelah korban tewas, pelaku mendongkel pintu kamar dan mengambil barang-barang," kata polisi. Waldi membenarkan perampok itu kelihatannya sudah tahu situasi rumahnya. Buktinya, penjahat itu bisa langsung menemukan tempat penyimpanan barang berharga. Padahal, tiga kamar tidur di rumah itu terkunci rapat -- hanya satu yang dibongkar. Dua kamar lain kebetulan memang tak berisi barang-barang berharga. "Perampok itu tak mencoba mencongkel dua pintu kamar yang tak ada barang berharga itu," kata Waldi. Ada kemungkinan juga, menurut polisi, perampoknya sudah dikenal dan mengenal korban. Itu diperkuat dua gelas berisi air putih yang terletak di meja teras rumah. Dua gelas air putih itu belum sempat diminum tamunya. "Jadi, untuk menghapus jejak dan saksi, perampok sengaja menghabisi korban," kata sumber TEMPO. Tak hanya di Semarang perampok semakin nekat. Di Jakarta perampok nasabah bank kembali menunjukkan taringnya. Korbannya Abdul Mukti, 46 tahun, anggota Kopti Jakarta Barat, tewas ditusuk perampok karena mempertahankan uang perusahaannya sebesar Rp 16,9 juta. Jumat siang pekan lalu Abdul Mukti dan temannya Karso berboncengan hendak menyetorkan uang ke Bank Bukopin di Jalan S. Parman, Jakarta Barat, tak jauh dari Kantor Polisi Jakarta Barat. Tiba-tiba, begitu mereka sampai di depan bank, di jalan ramai itu sebuah motor menyalip dan menendang mereka. Mereka berdua terjungkal. Karso langsung melarikan diri. Namun, Abdul Mukti, yang membawa uang, bernasib sial. Dua penjahat bersenjata pisau menghadangnya. Mereka mengancam Mukti agar menyerahkan tas yang dikempitnya. Tapi Mukti tetap tak mau melepaskan tasnya itu. Seorang perampok langsung menusuk punggung Abdul Mukti. "Bles". Tas tetap belum lepas. Lalu kedua perampok itu menusukkan pisaunya lagi ke dada dan perut korban, "bles ... bles". Abdul Mukti masih bertahan. Ia baru tersungkur di halaman bank dengan tas uang masih tetap terjepit di ketiaknya. Akhirnya penjahat itu kabur tanpa hasil. Kejadian itu begitu cepat sehingga masyarakat yang ramai di sekitar tempat kejadian tak sempat memberikan bantuan. Mereka hanya bisa melarikan Abdul Mukti, yang sudah berlumuran darah, ke RS Harapan Kita. Tapi jiwa korban tak tertolong lagi. "Para pelaku itu sekarang masih dalam pengejaran. Tinggal tunggu waktu saja," kata Letnan Kolonel Latief Rabar, Kadispen Polda Metro Jaya, pada TEMPO. Agaknya, perampok kini tak hanya terang-terangan menjarah penduduk desa atau pinggir kota. Di tengah keramaian kota dan di dekat kantor polisi pun penjahat tak segan-segan menghabisi korbannya. Gatot Triyanto, Heddy Lugito, dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini