Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Disambut Peluru dan Perang Batu

Anggota FKP-DPR yang pengusaha, Nurdin Halid, divonis bebas pada kasus korupsi dana cengkeh Rp 115,7 miliar. Kejaksaan Agung terpukul, Mustafa Chani diperiksa.

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI yang bisa diduga, akhirnya sempurnalah kemenangan Nurdin Halid, 40 tahun. Anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan dan mantan direktur utama Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Hasanuddin itu, Senin pekan lalu, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ujungpandang. Majelis hakim yang diketuai Soewito menganggap Nurdin tak terbukti bersalah pada kasus korupsi dana cengkeh senilai Rp 115,7 miliar itu. Vonis hakim itu persis dengan tuntutan bebas dari tim jaksa yang dikomandani Mustafa Chani. Tuntutan bebas itu sangat kontroversial dan memancing antipati masyarakat. Tim jaksa seakan main-main dalam menegakkan hukum, apalagi pada awalnya jaksa mendakwa Nurdin telah menggelapkan dana sumbangan wajib khusus petani cengkeh dan modal penyertaan KUD. Menurut jaksa, hal itu dilakukan Nurdin selama ia menjadi Direktur Utama Puskud Hasanuddin (1992-1997). Selain itu, Nurdin juga dituduh membeli langsung cengkeh dari petani untuk kemudian dijual dengan harga tinggi ke Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Namun, menurut hakim, tak seorang pun dari 35 saksi bisa membuktikan kesalahan terdakwa. Adapun soal pembelian langsung cengkeh petani, begitu pula pendepositoan dana SWKP ke bank sebelum dibagikan ke petani, kata hakim, itu semua sesuai dengan ketentuan Departemen Koperasi. "Vonis ini sesuai dengan fakta-fakta di persidangan. Tak ada pengaruh dari luar pengadilan," ujar Hakim Soewito. Nurdin meluapkan kegembiraannya saat vonis bebas diucapkan oleh hakim ketua. Ketua Koperasi Distribusi Indonesia dan Direktur Utama PT Goro Yudhistira Utama, perusahaan pusat perkulakan Goro, itu lantas bersujud mencium lantai persidangan. "Sejak awal sudah saya katakan, tak ada korupsi, tak ada kerugian negara," tuturnya. Teriakan dan tepuk tangan kerabat dan pendukungnya yang memadati ruang sidang pun membahana. Di luar pengadilan, vonis hakim justru dianggap sebagai sandiwara hukum yang menafikan semangat reformasi untuk memberantas korupsi. Sekitar 500 mahasiswa yang merasa tak puas dengan vonis itu mendekati pengadilan. Jarak mereka dengan para pendukung Nurdin di halaman pengadilan semakin dekat. Sekitar 450 petugas keamanan berusaha mengatasi keadaan. Sekejap batu-batu melayang dari arah kumpulan mahasiswa. Suasana pun memanas. Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. "Saya tertembak," teriak seorang mahasiswa, Muchtar Jumadi. Muchtar, yang pangkal pahanya tertembus peluru, segera dilarikan ke Rumah Sakit Stella Maris. Menanggapi peristiwa ini, Kepala Kepolisian Kota Besar Ujungpandang, Kolonel Jusuf Manggabarani, menyatakan bahwa personelnya telah bertindak sesuai dengan prosedur. "Polisi sudah melepaskan tembakan peringatan, tapi para mahasiswa tetap maju terus," ucapnya. Ternyata aksi protes mahasiswa tak berhenti sampai di situ. Sebuah mobil taksi milik Puskud Hasanuddin dihancurkan. Beberapa lampu lalu lintas juga dirusak massa. Esoknya, terjadi perang batu antara rombongan mahasiswa dan para pendukung Nurdin yang menjaga Goro. Sebuah taksi milik Puskud dibakar lagi oleh massa. Nurdin dan para mahasiswa juga saling memperkarakan. Mahasiswa menuding Nurdin telah mencuri spanduk sepanjang 30 meter di kampus mereka. Sebaliknya, Nurdin menganggap mahasiswa telah menghinanya, lewat spanduk bertulisan "Nurdin Pengisap Darah Rakyat". Yang jelas, dengan vonis bebas itu, tiada lagi upaya hukum untuk menjaring Nurdin. Sebab, jaksa juga menuntut bebas, dan Nurdin, sesuai dengan asas nebis in idem, tak bisa diadili lagi dengan tuduhan serupa. Sekarang justru Nurdin berpeluang menuntut Gagoek Soebagyanto, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang dipercepat pensiunnya oleh Kejaksaan Agung lantaran ngotot memerkarakan Nurdin. "Gara-gara Gagoek, Puskud Hasanuddin nyaris bangkrut. Nama saya rusak dan keluarga saya menderita," kata Nurdin. Sementara itu, Jaksa Agung Andi M. Ghalib menganggap vonis Nurdin dirasakan sebagai pukulan keras bagi kejaksaan. "Ini kasus paling memalukan dan tak boleh terjadi lagi," katanya. Karena itu pula Jaksa Mustafa Chani, yang dinilai tak mengindahkan perintah Andi Ghalib agar tak menuntut bebas Nurdin, diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Happy Sulistyadi, Tomi Lebang (Ujungpandang), dan Edy Budiyarso (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus