YANG disebut keadilan mungkin ada, tapi bukan buat petani seperti Amar, 46 tahun. Akibat dianiaya polisi, ayah empat anak, warga Desa Rosep, Bangkalan, Madura itu kini lumpuh. Bila hendak berwudu atau membuang hajat, ia harus digendong dua orang. Tulang rusuknya patah, kedua mata kakinya rusak, dan pahanya tertembus perluru yang diberondongkan oleh petugas. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan polisi itu digugat Amar melalui tuntutan praperadilan. Malang baginya. Apa boleh buat, ia dikalahkan Senin pekan lalu di Pengadilan Bangkalan.
Bencana yang menimpa Amar terjadi Senin, 2 November 1998. Waktu itu ia pergi ke Desa Telok, Bangkalan, untuk menjenguk kakaknya, K.H. Suyuti, pemilik Madrasah Diniyah Nurul Islam. Amar mendengar, di desa kakaknya itu terjadi pembunuhan terhadap tiga polisi yang datang dari Surabaya.
Memang, beberapa hari sebelumnya, tujuh polisi berpakaian sipil yang didampingi dua polisi setempat mendatangi Desa Telok. Mereka mencari warga bernama Musa yang diduga bertindak sebagai penadah kendaraan bermotor hasil curian. Sewaktu sampai di lokasi, mendadak mereka disambut dengan teriakan, ''PKI..., maling..., ninja...." Teriakan ini, kabarnya, dikumandangkan oleh Musa. Ketika itu, masyarakat memang sedang resah karena terimbas isu ninja pembantai dukun santet.
Tanpa pikir panjang, segenap warga mengepung kesembilan polisi itu. Usaha penegak keamanan ini untuk menunjukkan identitas mereka dan surat penangkapan Musa sia-sia. Massa tampak beringas. Mereka menghunus senjata tajam dan menyerang. Enam polisi bisa menyelamatkan diri, tapi tiga polisi tewas. Musa yang dicari polisi juga lari. Begitu pula adiknya, Ali, yang tangannya semula digari dan dibawa polisi untuk mencari Musa.
Akibat amuk massa yang tak terduga-duga itu, pada 2 November, sekitar 50 polisi dikerahkan ke Desa Telok. Mereka mencari-cari warga yang disangka membantai tiga polisi. Dalam pencarian ini dikabarkan dua penduduk tewas tertembak?seperti diungkapkan oleh polisi?karena mereka melawan ketika hendak ditangkap.
Ternyata, kediaman K.H. Suyuti, ulama yang disegani di Telok, juga dikepung oleh petugas. Menurut Amar, polisi langsung menembak secara membabi buta. Tak terdengar aba-aba peringatan. Yang ada hanya suara perintah, ''Jangan lari! Jangan lari!" ''Saya tertembak di bagian paha hingga tembus," tutur Amar. Setelah ditangkap dan dipukuli, Amar dimasukkan ke truk. Ternyata, di kendaraan itu sudah ada 15 warga yang ditangkap.
Di perjalanan menuju Kepolisian Resor (Polres) Bangkalan, tiba-tiba seorang polisi memberondongkan tembakan ke arah warga?mungkin sebagai ancaman atau pelampiasan amarah. Untung, tak ada yang terluka. Sesampai rombongan di tempat tujuan, Amar dan 15 warga disuruh berjalan merangkak seraya ditendangi petugas. Pukulan kabel berkali-kali mendarat di punggung, kaki, dan kepala Amar. Ia dan 15 warga lainnya kemudian digiring ke sel penahanan.
Karena luka Amar amat parah, polisi langsung mengirimnya ke Rumah Sakit Umum Bangkalan. Semestinya orang yang malang ini dirawat, tapi ternyata hampir setiap hari dianiaya. Hantaman balok kayu telah mematahkan beberapa tulang rusuknya, sedangkan kedua mata kakinya retak.
Empat hari kemudian, Amar dijemput oleh seorang iparnya dari Surabaya. Sang ipar melihat kondisi Amar cukup parah dan sekujur tubuhnya penuh luka. Tangannya diborgol di tiang penyangga tabung infus. Hanya bagian kemaluan tubuhnya yang ditutup sehelai kain putih. Amar lantas dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Surabaya. Sampai 27 November, biaya pengobatan Amar sudah mencapai Rp 27 juta. Hingga sekarang, untuk obat saja ia harus mengeluarkan sedikitnya Rp 700 ribu sebulan.
Namun, bukan hanya soal biaya yang membuat Amar nekat mempraperadilankan Polres Bangkalan. Tim pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Surabaya dan Bangkalan menjelaskan, di mata Amar, penangkapannya tidak sah. Bukti permulaan yang didalihkan polisi juga dinilai berlebihan. Sebab, sewaktu ditangkap, Amar sama sekali tak bersenjata dan tak melawan petugas.
Bukti-bukti itu mestinya cukup mendukung, tapi Hakim Sigit P. tak mengabulkan tuntutan Amar. Menurut Hakim, penangkapan atas petani ini sah karena ada surat penangkapannya. Hakim membenarkan bahwa polisi belum menahan Amar. Tentu saja keputusan itu sangat bisa diperdebatkan, apalagi selama empat hari Amar diborgol dan disiksa. Namun, ketika diingatkan soal kebenaran materiil ini, Hakim Sigit hanya menepis, ''Proses praperadilan hanya tujuh hari. Tak mungkin hakim mengecek secara rinci. Jadi, globalnya saja."
Maka jelaslah, tak ada keadilan bagi Amar. Laki-laki tak berdosa itu kini menderita lahir batin. Tubuhnya cacat seumur hidup, statusnya pun masih sebagai tersangka. Dan ia terpaksa bersembunyi. ''Saya takut, jangan-jangan polisi menculik saya bila tetap di rumah," ujar Amar, yang tiap malam mimpi dikejar-kejar polisi. Seminggu sekali, istrinya datang membawa uang Rp 100 ribu dari hasil usaha mesin giling padi milik mereka di Bangkalan.
Hp.S., Munib Rofiqi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini