Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bank-Bank 'Nasional' Selayang Pandang

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah profil bank yang dinasionalisasi itu. Menurut para analis perbankan yang dihubungi TEMPO, dua dari tujuh bank ini, Bank Risjad Salim Internasional dan Bank Tamara, cukup layak diambil oper pemerintah. Masa depan mereka masih lumayan menjanjikan. Tapi tiga yang lain, Bank Duta, Bank Nusa Nasional, dan Bank Pos, bakal banyak memoroti kantong pemerintah. Bank Duta Likuiditasnya paling lumayan. Nasabahnya hampir setengah juta orang, dengan simpanan mendekati Rp 4 triliun, sekitar 69 persen dari total aset bank. Dengan beking dana publik sebanyak itu, Duta mampu beroperasi tanpa talangan kasbon dari Bank Indonesia. Sayang, kredit macetnya cukup besar, sampai 22 persen dari total kredit. Besarnya kredit macet ini agaknya karena bank yang sahamnya dikuasai oleh yayasan-yayasan milik Soeharto ini terlalu rajin meminjami kelompok sendiri. Menurut sumber TEMPO di Bank Indonesia, hampir seperempat dari total kredit Bank Duta yang mengalir ke kantong pemiliknya. Rendahnya kualitas aset ini membuat tim pengkaji rekapitalisasi meragukan masa depan Bank Duta. Diperkirakan, dalam tiga tahun ke depan, Bank Duta masih terus merugi sehingga modalnya terus tererosi. Bank Nusa Nasional (BNN) Bank milik kelompok usaha Bakrie ini hidup dari utang. Dana publik yang masih tertinggal cuma separuh dari nilai aset. Modalnya minus berat. Agar tetap beroperasi, BNN bergantung pada pasokan pinjaman dari pasar uang dan dana talangan Bank Indonesia. Hingga 13 Maret, BNN menggembol beban pinjaman antarbank hampir Rp 1 triliun dan kasbon BI mendekati Rp 4 triliun. Kredit yang mogok amat besar, sekitar 26 persen dari total kredit. Konon, karena Grup Bakrie terlalu rakus menyedot pinjaman dari bank sendiri. Menurut sumber TEMPO, kredit BNN yang mengalir ke Bakrie hampir mendekati Rp 2,5 triliun. Dengan posisi yang serba repot seperti itu, sulit berharap BNN bisa terus bertahan. Kendati pemerintah akan menginjeksi tambahan modal (dibutuhkan sekitar Rp 2 triliun agar BNN bisa memenuhi ketentuan modal minimal), bank ini akan hidup terseok-seok. Tim pengkaji rekapitalisasi menilai, hingga dua tahun ke depan, modal BNN akan terus merosot hingga minus 7,4 persen. Akibatnya, kantong pemerintah akan terkuras untuk menyehatkan BNN. Bank Risjad Salim Internasional (RSI) Barangkali, inilah bank yang paling pantas dinasionalisasi. Bank milik Ibrahim Risjad dan Liem Sioe Liong ini cukup bersih. Kredit macetnya tak sampai 1 persen dari total kredit. Dalam hal likuiditas, RSI juga tergolong oke. Untuk membeking kredit yang tak sampai Rp 2 triliun, RSI berhasil menghimpun dana publik hingga Rp 2,5 triliun. Mungkin karena itu pula, RSI bisa hidup tanpa bantuan likuiditas dari BI. Bahkan, RSI tercatat sebagai net lender, peminjam di pasar uang antarbank. Dengan kualitas aset yang terbilang apik dan dukungan likuiditas yang lumayan, sebenarnya tak sulit bagi RSI untuk terus bertahan. Yang membuatnya cacat, hampir separuh kredit RSI masuk ke kantong pemiliknya. Untunglah, para pemilik ini rupanya lancar membayar pinjamannya sehingga tingkat kredit macet di RSI tak meledak. Agar bertahan hidup, RSI sebenarnya cuma membutuhkan injeksi modal sekitar Rp 460 miliar. Para pemilik ini sebenarnya sanggup menggalang suntikan dana sebesar itu, dan ingin memelihara RSI sendiri. Tapi, entah mengapa, pemerintah memutuskan untuk menasionalisasinya. Bank Tamara Kualitas asetnya lumayan. Kredit macet Tamara tergolong kecil, cuma 8 persen (lihat tabel). Porsi kredit untuk grup sendiri cuma 2 persen dari total kredit. Likuiditas memang agak mengkhawatirkan. Jumlah kredit yang disalurkan dengan dana masyarakat yang digalang hampir seimbang. Untuk menutup modal yang minus, Tamara terpaksa menambang dari pasar uang antarbank. Sumber uang ini memang mudah didapat, tapi biaya bunganya cukup mahal. Untunglah, sampai sejauh ini Tamara belum mengirimkan sinyal SOS ke Bank Indonesia. Menurut proyeksi tim rekapitalisasi, hingga dua tahun ke depan bank yang sahamnya dikuasai Atang Latief ini akan hidup dan bisa mengumpulkan untung kendati kecil-kecilan. Bank Pos Nusantara Setelah Bank Duta dan BNN, inilah contoh ketiga bank sekarat yang selamat karena dinasionalisasi. Menurut hasil kajian tim rekapitalisasi, kredit macet di bank milik kongsi antara Grup Rajawali (Peter Sondakh) dan PT Pos ini memang tak tergolong besar. Hanya 15 persen. Tapi posisi ini diperoleh setelah Bank Pos melakukan bersih-bersih, menghapus kredit macet dan menutupnya dengan dana provisi. Akibatnya, modal Bank Pos coak, berkurang banyak hingga minus berat. Sumber penyakit Bank Pos agaknya tak berbeda dengan BNN dan Bank Duta: kredit untuk grup sendiri. Menurut sumber TEMPO, 98 persen kredit Bank Pos mengalir ke kelompok Rajawali. Benar atau tidak, cerita ini belum dikonfirmasi. Tapi, jika melihat proyeksi masa depan Bank Pos, data ini agaknya tak terlalu salah. Hingga dua tahun ke depan, modal Bank Pos akan terus merosot hingga rasio kecukupan modalnya cuma minus 6,4 persen. Jika tetap bertekad memelihara Bank Pos, pemerintah harus siap-siap dengan modal besar. Bank Jaya Dihitung dalam persentase dari total pinjaman, kredit macet Bank Jaya termasuk yang terbesar di antara tujuh bank take over yang lain (lihat tabel). Kasbon dari BI yang harus dilunasi juga cukup besar (sampai Rp 870 miliar). Tapi, yang mengejutkan, bank ini konon merupakan satu-satunya bank yang tak terjerat pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Barangkali karena itu pula, proyeksi Bank Jaya cukup lumayan. Bank ini diperkirakan bakal bisa mengumpulkan laba. Tingkat kecukupan modalnya memang akan susut (tak sampai minus) karena pertumbuhan asetnya cukup laju. Bank Rama Likuiditasnya cukup baik. Untuk membeking kredit Rp 922 miliar, Bank Rama bisa mengumpulkan dana publik sampai Rp 1,3 triliun. Karena itu pula, Rama terbebas dari talangan dari BI. Sayang, dalam bank yang dikelola orang-orang bayaran ini, kredit macetnya cukup besar. Tapi, menurut proyeksi, bank ini masih bisa berjalan dengan menguntungkan.


Dihantam Kredit Macet dan Pinjaman Ke BI

BankKredit Macet*Utang ke BICAR 2001**ROE 2001**
Bank Duta
Bank Nusa
Bank RSI
Bank Tamara
Bank Pos
Bank Jaya
Bank Rama
22 %
26 %
-
8 %
15 %
28 %
24 %
-
Rp 3,9 triliun
-
-
Rp 969 miliar
Rp 870 miliar
-
Minus 4,8%
Minus 7,4%
3 %
4,9 %
minus 6,4%
2,6 %
3,1 %
negatif
negatif
negatif
18,3 %
negatif
26,3 %
24,9 %

Sumber: Bank Indonesia
* dihitung dari persentasenya terhadap total kredit
** proyeksi tim rekapitalisasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus