MISTERI itu tetap tak terjawab. Hingga dua pekan setelah pengumuman likuidasi bank, teka-teki mengapa pemerintah menasionalisasi tujuh bank sekarat belum juga bisa diungkap. Menteri Keuangan Bambang Subianto cuma mengatakan, bank-bank itu tak ditutup karena jaringan dan nasabahnya cukup besar, lebih dari 80.000 rekening. Jika mereka dikubur hidup-hidup, sistem pembayaran masyarakat akan terganggu.
Seperti diketahui, dua pekan lalu pemerintah telah menentukan nasib 54 bank swasta yang penyakitan. Ada 38 bank yang dikubur hidup-hidup, sembilan bank dipelihara dengan bantuan transfusi modal dari pemerintah, dan tujuh bank dinasionalisasi. Dua keputusan pertama berlalu tanpa protes. Namun keputusan ketiga mengundang tanda tanya: sebelumnya tak ada rencana untuk menasionalisasi bank.
Pedoman penyehatan perbankan sebenarnya jelas dan tegas. Bersama Dana Moneter Internasional (IMF), pemerintah sudah memberi kata putus: semua bank harus memenuhi persyaratan tingkat kecukupan modal?yang diukur sebagai rasio antara modal dan aset berisiko alias capital adequacy ratio (CAR)?minimal 4 persen.
Kalau mau banknya bertahan hidup, para bankir harus menyuntikkan tambahan kapital (dengan bantuan pemerintah jika perlu dan dinilai layak), agar persyaratan minimal itu bisa terpenuhi. Jika tak mampu, jawabannya jelas, bank-bank itu akan dikubur. Jelas, tak ada pilihan lain, tidak juga nasionalisasi bank.
Karena itu, keputusan menasionalisasi sejumlah bank memicu syak wasangka. Apalagi, peran ekonomi bank-bank itu tak kelihatan menonjol. Mereknya juga sulit dijual. Tak seperti Bank Central Asia atau Bank Danamon yang diambil alih pemerintah dari tangan pemiliknya Agustus tahun lalu, bank-bank ini tak punya nama besar.
Cilakanya lagi, kinerja bank-bank itu juga tak istimewa. Bahkan, menurut penilaian seorang analis perbankan, beberapa di antaranya lebih buruk dari 38 bank yang dikubur hidup-hidup. Setidaknya, tiga dari bank-bank itu kelangsungan hidupnya diragukan. Kendati terus disuntik modal oleh pemerintah, bank-bank ini akan sulit bertahan. Sedikitnya, hingga tiga atau lima tahun ke depan, bank-bank itu akan terus memoroti kantong pemerintah.
Penyakit kronis yang merongrong bank-bank takeover ini bermula dari buruknya kualitas aset bank. Kredit macetnya besar, sebagian gara-gara terlalu getol memberikan kredit ke grup sendiri. Akibatnya, bank-bank ini akan terus merugi, hidup senin kamis, dan harus dibantu dengan transfusi tambahan modal untuk membuatnya tetap bernafas.
Bahwa mereka punya nasabah yang besar memang sebuah nilai plus. Namun jumlah nasabah gampang berubah. Jika bank sehat, terlihat aman, nasabah bakal datang tanpa diundang. Sebaliknya, jika banknya terbukti ringkih dan keropos, nasabah bakal pergi tanpa permisi.
Lalu, apakah keputusan menutup dan mematikan bank, yang punya dampak finansial tak sedikit bagi pemerintah, harus didasarkan pada indikator yang gampang berubah? Harap dicatat, menurut hasil kajian Bank Indonesia (BI), Bank Aken, salah satu bank yang ikut ditutup, punya nasabah hampir setengah juta orang. Jadi? ''Ini keputusan yang avonturir," kata seorang bankir agak sinis
Benar atau tidak, orang bisa berdebat. Menurut Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glenn S. Yusuf, keputusan menasionalisasi tujuh bank bernasabah besar diambil berdasarkan pengalaman penutupan BDNI dan Bank Umum Nasional. ''Kita jadi tahu berapa jumlah nasabah yang bisa kita handle," kata Glenn dalam wawancara khusus dengan Kontan. Artinya, Glenn percaya, penutupan bank dengan jumlah nasabah besar sulit ditangani.
Argumen Glenn didukung Ferry Hartoyo, analis perbankan dari Vickers Ballas Tamara. Keputusan pemerintah mengambil alih tujuh bank ini, katanya, sudah pada tempatnya. Alasannya, total kewajiban bank-bank ini cukup besar. Bukan cuma kewajiban terhadap simpanan dana masyarakat, tapi juga kewajiban kepada kreditur dan Bank Indonesia. Ia khawatir beban keuangan negara bakal membengkak jika bank-bank ini ditutup. ''Lalu, dari mana duitnya," kata Ferry.
Lagi pula, bank-bank yang diambil oper ini masih punya basis simpan an nasabah yang besar. Mereka belum diserbu penabung untuk di-rush. Dan, karena itu, pinjaman kasbon dari BI juga belum terlalu besar. Kalau banknya ditutup, pemerintah perlu banyak dana untuk menalangi simpanan nasabah.
Semua orang tampaknya akan sepakat dengan Ferry?dalam hal biaya harus ditekan. Namun kalau mau melongok lebih dalam, sebagian dari bank-bank ini sudah hidup bukan dengan memutar uang nasabah, tapi melulu dari pinjaman bank sentral atau pinjaman antarbank. Ambil contoh Bank Nusa Nasional (BNN).
Bank yang sahamnya dikuasai Grup Bakri itu sudah banyak ditinggalkan nasabah. Simpanan dana publiknya sudah susut sampai Rp 3,4 triliun. Dengan modal minus hampir Rp 2 triliun, dana publik ini pasti tak bisa membeking kredit BNN yang mencapai Rp 2,3 triliun. Karena itu, BNN harus mencari sumber dana lain.
Akibatnya, selain punya beban utang antarbank hampir Rp 1 triliun, BNN juga punya kasbon ke BI yang jumlahnya hampir Rp 4 triliun (lihat tabel). La, kalau mau mengikuti logika Ferry, beban keuangan pemerintah mestinya lebih murah untuk menutup BNN ketimbang mempertahankannya.
Ini belum melihat isi perut BNN. Kendati tingkat kredit macetnya tak istimewa (cuma Rp 626 miliar atau 26 persen dari total kredit), kualitas aset BNN terhitung mencemaskan. Salah satu sebabnya, BNN harus menggembol aset macet yang dibawa Bank Perniagaan. Perlu diingat, BNN merupakan gabungan (merger) dari Bank Nusa, Bank Nasional, dan Bank Perniagaan. Nah, Bank Perniagaan ini menurut hasil uji tuntas (due diligence) auditor internasional menanggung kredit macet senilai Rp 1,2 triliun.
Berdasarkan perjanjian antara Bakrie dan BI, aset macet ini di atas kertas akan dihitung lancar jika Bakrie menempatkan Rp 170 miliar dana cadangan dalam escrow account. Logikanya, dana cadangan yang terus berbunga ini kelak akan setara nilainya dengan aset macet Bank Perniagaan yang dilikuidasi. Singkat kata, ''Di atas kertas, BNN tampak bersih tak bernoda, tapi kenyataannya tidak," kata seorang analis.
Bank-bank takeover yang lain kondisinya tak jauh beda dengan Bank Nusa. Bank Duta, misalnya, selain terbelit kredit macet 22 persen, juga menderita penyakit kronis perbankan kita: sebagian besar kreditnya mengalir ke grup sendiri. Bank Pos pun setali tiga uang (lihat boks: Bank-Bank ''Nasional" Selintas Pandang).
Kalau mau berdebat, dibandingkan dengan ketiga bank itu, beberapa bank yang kini ditutup lebih punya alasan untuk dinasionalisasi. Bank Bahari dan Bank Umum Servitia, misalnya. Dana pihak ketiga di Bank Bahari tetap terpelihara baik. Nilainya 1,02 triliun atau hampir 85 persen dari total aset. Kewajiban antarbank tak seberapa, cuma Rp 50 miliar (4 persen dari aset), sedangkan kewajiban ke Bank Indonesia sama sekali tak ada.
Pengelolaan Bank Bahari juga tampak tak sembrono. Total kreditnya cuma 70 persen dari dana pihak ketiga. Sekitar 20 persen dana nasabah dimainkan di pasar uang. Karena itu, bank publik ini kurang mendapat tekanan negative spread maupun kredit macet. Buktinya, Bahari masih bisa mencetak laba, dengan kredit macet cuma 6 persen dari total kredit. Tekanan dan campur tangan pemilik terhadap manajemen hampir tak berarti. Memang, ada pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Namun, menurut sumber TEMPO, jumlahnya cuma Rp 77 miliar atau 10 persen total kredit.
Dengan kondisi kesehatan yang lumayan, seorang analis berpendapat, peluang Bahari tetap bertahan jauh lebih besar ketimbang bank-bank tadi. Menurut hasil kajian tim rekapitalisasi, proyeksi CAR Bahari hingga tahun 2001 akan mencapai 5 persen dengan tingkat pengembalian modal rata-rata 22,2 persen per tahun. Kalau pemerintah mau mengambil oper kepemilikan bank publik ini, diharapkan tak sampai lima tahun kemudian ''modalnya" bakal kembali.
Satu hal yang kurang dari Bahari hanyalah jumlah nasabah. Bahari merupakan bank kecil dengan jumlah nasabah 30 ribu, masih jauh dari ''target" 80 ribu yang ditetapkan. Namun, persoalannya, dengan kinerja yang tak buruk, apakah jumlah nasabah tak bisa didongkrak pelan-pelan?
Satu bank lain yang juga bisa dipertimbangkan, menurut seorang analis, adalah Bank Umum Servitia (BUS). Bank publik ini memang berdarah-darah digempur pencairan dana nasabah. Ketika gosip penutupan bank merembes ke publik, pertengahan Februari sampai Maret lalu, penabung Servitia panik dan menarik uangnya. Akibatnya, Servitia mengalami bleeding. Bank Indonesia sampai menginjeksi dana talangan hingga Rp 1,2 triliun (seperempat dari total aset).
Namun, di luar bleeding itu, kata seorang analis, kinerja Servitia terbilang lumayan. Kredit macetnya 20 persen lebih lumayan jika dibandingkan dengan Bank Nusa atau Bank Jaya. Masa depannya juga bisa bersaing. Menurut kajian tim rekapitalisasi, bank publik ini mencapai tingkat kecukupan modal 3 persen pada tahun 2001. Ini lebih baik dari Bank Duta, BNN, maupun Bank Pos. Nasabah? Lumayan. Kendati sudah berdarah-darah, masih ada 68 ribu nasabah yang tetap bertahan di Servitia.
Namun keputusan pemerintah agaknya sudah bundar bulat. Vonis sudah jatuh. Dan, tanpa alasan yang gamblang dan penjelasan yang rasional, kita serta-merta harus menerima keputusan itu begitu saja. Padahal, ongkos untuk membiayai keputusan ini, kita semua, rakyat kebanyakan, harus ikut menanggung.
Dwi Setyo, Nurur Rokhmah Bintari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini