MATA Wagiyo dan Sumadi ternyata masih nyalang, menjelang pukul 2 dinihari, Minggu lalu. Kedua petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP) Mlaten, Semarang, yang berjaga di Pos II itu menyakslkan seperti ada enam sosok bayangan di sebuah sudut yang gelap. Menggunakan tali yang terbuat dari kain sarung dan selimut yang disambung-sambung, keenamnya mencoba menaiki tembok LP setinggi 3,5 m. Tak salah lagi, itu usaha pelarian Wagiyo dan Sumadi segera menghubungi petugas di pos lain juga polisi segera dikontak. Tak lama kemudian, beberapa moncong senjata api dari berbagai sudut terarah pada keenam sosok bayangan yang ingin mencari kebebasan itu. Teriakan dan tembakan penngatan bergema beberapa kali, tapi tak digubris. Akhirnya, menurut kepala Kanwil Departemen Kehakiman Jawa Tengah dan Yogyakarta, M. Dimyati, apa boleh buat, perintah tembak diberikan. Serentetan tembakan, tak ampun lagi, menghaiar para narapidana yang mencoba lari itu. Dan drama pada malam buta itu pun berakhir. Menurut Dimyati, hanya satu narapidana yang tewas, yaitu Sakison, 30. Sedangkan Jammad kena di pantat. Napi lainnya - Supoyo, Jarigin, Sugiono, dan Musroni - tak mengalami cedera barang secuil pun. Tapi sumber TEMPO yang layak dipercaya menyebutkan bahwa semua napi yang mencoba lari ltu tewas tertembak. Tentang di mana mereka tertembak, belum ada kejelasan. Dimyati tetap menyatakan bahwa yang tertembak di tembok LP hanya dua. Satu tewas dan satunya luka-luka. Pihak Poltabes Semarang sendiri, yang malam itu ikut mengepung LP Mlaten, sayangnya tak mau memberi keterangan. "Yang saya tahu, mereka adalah penjahat kelas kakap yang pada 1983 lalu merampoki rumah-rumah di Semarang Selatan," ujar Kolonel Hartantyo, kepala Poltabes Semarang. Sumber lain menyatakan bahwa yang tertembak di LP memang hanya dua. Yang lainnya, yang tak mengalami cedera, dibawa polisi untuk diperiksa. Tapi di jalan dekat Banjir Kanal Timur, atau sekitar 300 m dari LP mereka mencoba lari. Pada saat itulah keempatnya kena tembak dan tewas. Jammad, yang di LP hanya terkena tembakan di pantat, ternyata kemudian juga tewas. Hal itu bisa diketahui karena di Rumah Sakit Kariadi, dijumpai ada enam mayat berjajar, yang di kaki masing-masing tertera nama mereka. Dan nama-nama itu tak lain Sakison dan kawan-kawan. Pelarian itu diduga sudah direncanakan lama. Bersama 36 napi lain, mereka selama ini menghuni sebuah ruangan di blok sembilan. LP itu sendiri, yang terletak dijalan Dokter Cipto, dihuni oleh 104 napi dan 136 tahanan. Dengan sebuah gergaji kecil, yang entah diperoleh dari mana, Sakison dan kawan-kawan berhasil mematahkan sebuah jeruji besi sebesar jempol kaki di kamar. Lewat celah jendela itulah mereka keluar dan lari menuju tembok tlnggi yang memisahkan LP dengan dunia luar. Dimyati sangat heran, mengapa mereka bisa melewati jendela kamar. Setelah sebuah teralis digergaji, jarak antara dua teralis masih terap sempit, sekitar 18 senti saja. "Dengan jarak sekecil itu, mereka bisa lolos. Heran," kata Dimyati. Melihat kenyataan itu, mau tak mau ada juga petugas LP yang akhirnya percaya bahwa Sakison memang mempunyai "ilmu". Menurut dugaan sementara, Sakison itulah yang memotori usaha pelarian. Di LP Mlaten, ia tergolong narapidana kelas berat. Kepala LP Mlaten, Ruslan, menyatakan bahwa Sakison dipidana 17 tahun karena mencuri dengan kekerasan dan melakukan pembunuhan. Temannya, Masroni, harus menjalani hukuman 11 tahun untuk dua kasus kejahatan dengan kekerasan, sedangkan narapidana lain umumnya dipidana di bawah 10 tahun. Apa yang melatarbelakangi usaha pelarian, baik Dimyati maupun Ruslan belum bisa memastikan. Kemungkinan mereka rindu terhadap keluarga, yang telah sekian lama tak kunjung menengok. Tapi, usaha melarikan diri dari LP bukan hanya terjadi di Mlaten, Semarang. Januari dan Februari lalu, tujuh narapidana kelas berat juga kabur dari beberapa LP di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Mereka - seperti biasa dilakukan para pelarian - diduga menyeberang ke Pulau Jawa dengan menggunakan rakit darurat atau menumpang perahu nelayan. Usaha pencegatan di sepanjang pantai daerah Cilacap ternyata tak membawa hasil. Sejauh ini, baru satu pelarian dari Nusakambangan yang tertangkap, yaitu Syarif, 25. Ia tertangkap secara tak sengaja oleh petugas di Cikampek, Jawa Barat, karena naik kereta api Parahiyangan jurusan Bandung-Jakarta, akhir Februari lalu, tanpa memiliki tiket. Saat diperiksa, lelaki asal Palembang itu akhirnya mengaku sebagai pelarian dari LP Geliger Nusakambangan. Pihak keluarga narapidana yang tertembak di LP Mlaten rupanya belum sempat dihubungi. Kakak kandung Supoyo, Nyonya Marto, misalnya, merasa terkejut ketika mendengar adiknya mencoba melarikan diri dankena tembak. "Dia memang telah membunuh orang, tapi dia sangat baik. Tak mungkin nekat mau lari segala," ujar Nyonya Marto, yang tinggal di kampung Pleburan, Semarang. Menurut dia, yang dibenarkan Kepala Desa Sastro Hadijoyo, Supoyo membunuh Didik - seorang residivis - karena korban beberapa kali mengganggu Sumiyati, istri Supoyo. Aklbat perbuatannya, mengelewang Didik sampai tewas, Supoyo dihukum 5 tahun penjara. Tapi dia agaknya tak perlu lebih lama tinggal di LP. Seperti dikatakan seorang petugas rumah sakit, ia ikut terbaring bersama lima rekannya dalam keadaan sudah tak bernyawa. Surasono, Laporan Bandelan Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini