Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKURANG kini kesibukan Riady Fitri. Sehari-hari ia lebih banyak mengkliping berita. Padahal, di tempat lamanya dulu, Bagian Hubungan Masyarakat Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), ia selalu sibuk melayani permintaan berbagai pihak akan data lembaran kekayaan penyelenggara negara (LKPN).
Kini, di tempat barunya, Bagian Pencegahan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), ?Data LKPN tidak bisa lagi diberikan jika ada yang meminta,? katanya. Awal pekan lalu, misalnya, seorang wartawan media Ibu Kota meneleponnya. Wartawan itu, kata Riady, menanyakan data kekayaan anggota DPRD suatu provinsi yang baru dilantik.
Riady tak bisa memenuhi permintaan itu. Di komputernya, data itu juga tak muncul. ?Data itu dikunci sejak Juni lalu,? katanya. Tertutupnya akses mengetahui kekayaan penyelenggara negara tersebut tak urung memancing kecaman. Bekas anggota KPKPN, Chairul Imam, menyatakan seharusnya data kekayaan para pejabat itu tidak tertutup dan bisa diketahui publik.
Ini yang dulu dilakukan KPKPN. ?Jika sudah masuk lembaran tambahan berita negara, publik bisa mengaksesnya,? ujarnya. Chairul menunjuk Pasal 5 Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal itu, kata Chairul, mewajibkan penyelenggara negara melaporkan kekayaan dan mengumumkannya dalam tambahan berita negara.
KPK, ujar Chairul, sebenarnya bersifat meneruskan data yang telah dikerjakan KPKPN. ?Hanya melanjutkan saja,? ujar bekas Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung itu. Lalu, mengapa KPK menutup rapat data itu? Sumber Tempo di KPK mengatakan, ditutup- nya akses ini semata lantaran terhalang undang-undang.
Menurut sumber itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, akses informasi yang bisa diketahui publik hanya menyangkut masalah penyelidikan dan penyidikan yang ditangani KPK. ?Tidak untuk data LKPN,? kata sumber yang juga salah satu pejabat di Komisi itu. Inilah yang menurut sumber itu berbeda dengan yang dilakukan KPKPN.
Menurut dia, KPKPN bisa mengumumkan dan membuka akses LKPN kepada publik karena Peraturan Pemerintah No. 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara memang mengatur demikian. Peraturan pemerintah (PP) itu merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 17 Ayat (4) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999. ?Namun, PP itu tidak lalu tidak berlaku setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi,? tuturnya.
Memang sebelumnya, akhir Maret lalu, Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan hak uji materiil beberapa anggota KPKPN atas Undang-Undang No. 30/2002. Mahkamah kala itu memutuskan, dengan terbentuknya KPK, KPKPN bubar dan menjadi subbagian KPK seperti diatur Pasal 69 Undang-Undang No. 30/ 2002 tentang KPK.
Sumber Tempo itu lalu menjelaskan alasan hukum tidak bisa dibukanya akses LKPN oleh KPK. Menurut dia, pembentukan KPKPN berdasarkan Pasal 10 sampai 19 Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Dan lahirnya PP 65 itu berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang No. 28/1999. Dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 sampai 19 Undang-Undang No. 28/1999 dianggap tidak ada. ?Otomatis, PP 65 itu juga dianggap tidak ada,? katanya.
Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, menyebut dua alasan tak dibukanya data LKPN itu. Pertama, lantaran alasan hukum. Dan kedua, karena masih adanya dua kubu yang berbeda pendapat tentang perlu-tidaknya akses LKPN itu dibuka. Alasan hukumnya, menurut Erry, karena menurut Undang-Undang No. 30/2002 KPK tidak punya kewenangan dan kewajiban membuka akses LKPN kepada umum.
Menurut Erry, jika pun untuk publik, pejabat itu sendirilah yang memberikannya. Data LKPN, kata Erry, hanya dibuka untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. ?Ini satu-satunya aksesibilitas yang dijamin undang-undang,? tuturnya sembari memberi beberapa contoh kasus dugaan korupsi yang kini sedang ditangani lembaganya.
Dua kubu yang berbeda pendapat itu, kata Erry, adalah dari kalangan LSM dan akademisi. Bagi kalangan LSM, konsekuensi sebagai pejabat publik adalah transparansi, sehingga LKPN itu harus terbuka. Ini berbeda dengan pandangan akademisi. Kalangan ini menekankan privasi seseorang yang harus dijamin. Artinya, data kekayaan seseorang tak bisa seenaknya dibaca publik.
Tertutupnya akses data ini, apa pun alasannya, selain merugikan masyarakat, akhirnya merugikan KPK sendiri. ?Akibatnya, tidak ada masukan dari masyarakat,? kata Erry. Karena itu, pihaknya sedang menyiasati agar komisinya mempunyai kewenangan mengumumkan LKPN. ?Caranya, pejabat negara memberi kuasa kepada KPK untuk mengumumkan melalui tambahan berita negara,? katanya.
?Siasat? ini yang akan dituangkan dalam surat keputusan KPK. Selain mengatur tata cara pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan lembaran kekayaan penyelenggara negara, surat keputusan (SK) ini memuat pernyataan agar penyelenggara negara memberi kuasa kepada KPK untuk mengumumkan kekayaan mereka. Surat pernyataan itu akan dimasukkan dalam formulir LKPN. Menurut sumber Tempo, SK itu sebenarnya sudah selesai, hanya belum ditandatangani pimpinan KPK. ?Masih tahap simulasi,? ujarnya.
Kendati datanya tak bisa diakses, KPK sendiri hingga kini terus melakukan pendataan terhadap kekayaan pejabat negara. Hingga 6 Oktober lalu, jumlah LKPN yang sudah masuk ke komisi itu sekitar 40.595 data. Sekitar 35 ribu di antaranya sudah dimasukkan ke lembaran negara. KPK juga mengirimkan formulir LKPN kepada anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia.
Anggota DPR Maiyasyak Johan, misalnya, menyatakan sudah mengisi dan menyerahkan data LKPN. Menurut anggota Fraksi Partai Persatuan ini, dibuka atau tidaknya akses LKPN kepada publik sebenarnya bukan persoalan utama. Yang terpenting, menurut dia, semua pejabat negara harus bisa membuktikan harta yang diperolehnya benar dan halal. ?Jika tidak, harus dikembalikan ke kas negara,? katanya.
Sukma N. Loppies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo