Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel serukan masyarakat untuk boikot Taman Safari Indonesia (TSI). Hal itu sebagai sanksi sosial atas dugaan eksploitasi pekerja di Oriental Circus Indonesia (OCI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari fakta yang terungkap, kata Reza, yang dilakukan pendiri Taman Safari Indonesia (TSI) sebagai pemilik OCI yakni Jansen Manansang, Frans Manansang, dan Tony Sumampou memang memenuhi unsur pidana. Tapi jalur pidana sulit ditempuh oleh para korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Lex specialist berupa UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Hak Asasi Manusia, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual baru ada setelah berhentinya Oriental Circus Indonesia," kata Reza dalam keterangannya, Senin, 21 April 2025.
Reza mengatakan, peristiwa eksploitasi pekerja itu dilakukan sebelum tahun 1997, sementara UU yang mengatur pidana eksploitasi itu baru lahir setelahnya. "Kecuali jika otoritas penegakan hukum menemukan eksploitasi serupa masih berlangsung di bidang-bidang bisnis tiga macan (sebutan untuk Manansang bersaudara)," kata Reza.
Dengan melakukan boikot, ia berharap dapat memberikan keadilan bagi korban eksploitasi tersebut. Selain itu, bisa memberikan efek jera bagi Tiga Macan sebagai ganti jerat pidana yang tak bisa dikenakan.
"Apa yang bisa dilakukan agar Tiga Macan menyampaikan permohonan maaf dan memberikan ganti rugi (restitusi). Jalan pidana sulit dilalui, tersisa satu jalan yakni boikot," kata Reza.
Pria yang juga sebagai konsultan Lentera Anak Foundation itu mengatakan, restitusi juga perlu digeser menjadi kompensasi atau ganti rugi dari pemerintah. Dasar berpikirnya, karena negara telah abai pasca laporan pertama korban pada tahun 1997.
"Maka pemerintah dianggap telah sengaja menghindar dari kewajibannya melindungi warga negara. Atas kesengajaan itulah negara dihukum," katanya.
Reza mengatakan, peristiwa eksploitasi pekerja anak di OCI ini hampir mirip The Stolen Generation. Yaitu, kebijakan pemerintah kulit putih Australia memindahkan secara paksa anak-anak Aborigin dan Torres Strait Island dari keluarga mereka sekian puluh tahun silam.
"Mengakui kebijakan itu sebagai produk keliru negara, Pemerintah Australia pada tahun 2008 meminta maaf secara terbuka," katanya.
Sejumlah mantan pekerja sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) sebelumnya mengadukan dugaan eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia kepada Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta Selatan, Selasa, 15 April 2025. Tindak kekerasan, perbudakan, dan eksploitasi anak yang disampaikan para mantan pekerja diduga terjadi sejak tahun 1970-an oleh para pemilik OCI dan Taman Safari Indonesia.
Delapan orang perwakilan korban yang hadir, sebagian besar perempuan paruh baya, menceritakan kronologi mereka dipekerjakan sejak masih anak-anak sebagai pemain sirkus di OCI. Mereka mengaku mengalami berbagai bentuk penyiksaan seperti dipukul, disetrum, dipaksa bekerja dalam kondisi sakit, dipisahkan dari anaknya, hingga dipaksa makan kotoran hewan.
Wakil Menteri HAM Mugiyanto mengatakan ada beberapa kemungkinan pelanggaran HAM dari cerita para korban. “Ada perbudakan, penyiksaan, pelanggaran hak atas rasa aman, hak atas pendidikan, kemudian hak atas identitas,” katanya di hadapan para korban, pendamping korban, dan wartawan.
Ia mengatakan Kementerian HAM akan mengambil langkah agar kejadian-kejadian tersebut tidak terulang lagi. Selain itu, kata Mugiyanto, kementeriannya akan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain untuk menindaklanjuti kasus ini.
Komisaris Taman Safari Indonesia dan pelatih satwa di Oriental Circus Indonesia (OCI), Tony Sumampouw, membantah perusahaannya mengeksploitasi para pekerja sirkus OCI. “Apa yang disampaikan sama sekali mengada-ada,” ujar Tony saat dihubungi lewat pesan WhatsApp, Selasa, 15 April 2025.
Nabiila Azzahra berkontribusi pada penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: KPK Periksa Rasamala Aritonang di Kasus TPPU Yasin Limpo