Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA belas sukarelawan tengah sibuk menghitung uang logam yang berserakan di lantai. Di ruangan seluas sekitar empat puluh meter persegi,Kamis sore pekan lalu itu, mata mereka awas memilah-milah ribuan koin sumbangan masyarakat untuk Prita Mulyasari.
Dibuka sejak Jumat dua pekan lalu, nyaris setiap hari ada yang datang mengantarkan sumbangan ke markas Koin Peduli Prita—demikian nama tempat itu—yang terletak di kompleks PWR Nomor 60, Jatipadang, Jakarta Selatan. ”Nilainya sudah tembus Rp 151 juta,” kata Sisilia Pujiastuti, salah satu sukarelawan di posko tersebut, kepada Tempo. Sejumlah penyumbang, kata Sisilia, bahkan datang sembari menenteng celengan. ”Celengan itu dipecah di sini,” ujarnya.
Pos Peduli Prita kini berdiri di sejumlah tempat. Di Jalan Langsat, Kramat Pela, juga di Jakarta Selatan, ratusan orang menyerahkan koin mereka untuk ”diteruskan” ke Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang. Posko ini pekan lalu pun mendapat sumbangan satu peti berisi koin senilai Rp 5 juta dari Yenny Wahid, putri bekas presiden Abdurrahman Wahid.
Gerakan menyumbang Prita juga merembet ke tokoh-tokoh penting dan partai politik. Bekas Menteri Perindustrian Fahmi Idris, misalnya, menyumbang Rp 102 juta, separuh dari nilai ganti rugi. Adapun dari Partai Demokrat dan Dewan Perwakilan Daerah, Prita mendapat Rp 100 juta dan Rp 50 juta.
Gerakan mengumpulkan koin untuk Prita itu menggelinding kencang setelah Pengadilan Tinggi Banten, 8 September lalu, memenangkan gugatan banding Rumah Sakit Omni. Dalam putusannya, pengadilan memerintahkan Prita, 32 tahun, membayar ganti rugi untuk rumah sakit itu Rp 204 juta.Sebelumnya, Prita digugat perdata PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola Rumah Sakit Omni, dan dua dokter rumah sakit itu, dokter Hengky Gozal dan Grace Hilza, lantaran dituduh mencemarkan nama baik mereka. Itu karena ibu dua anak tersebut menulis e-mail yang ia kirimkan ke sejumlah temannya, berisi pengalaman buruknya saat dirawat di rumah sakit itu.
Para penggugat menuntut Prita membayar ganti rugi Rp 500 miliar. Saat itu, lantaran diadukan ke polisi, Prita juga sempat ditahan di penjara wanita Tangerang. Penahanan ini kemudian memancing reaksi keras masyarakat, yang tidak saja mengecam kepolisian, tapi juga jaksa yang dianggap berpihak kepada Omni. Pada 11 Mei silam, Pengadilan Negeri Tangerang mengabulkan gugatan ini. Prita dihukum untuk membayar ganti rugi Rp 300 juta. Omni, yang tak puas dengan putusan itu, lantas mengajukan permohonan banding. Di tengah gencarnya masyarakat mengkritik sikap Omni yang memperkarakan Prita, Pengadilan Tinggi lantas ”mengorting” hukuman Prita menjadi Rp 204 juta. Putusan inilah yang kemudian disambut oleh kalangan yang bersimpati terhadap kasus Prita untuk melakukan gerakan ”pengumpulan koin untuk Prita”, gerakan yang bukan sekadar tanda simpati kepada Prita, tapi sekaligus ”melecehkan” putusan hakim dan Rumah Sakit Omni.
Sejumlah pihak sebenarnya sudah turun tangan menjembatani perkara Omni-Prita ini. Pemerintah Kota Tangerang, misalnya, pernah berusaha mendamaikan kedua belah pihak, tapi gagal. Pascaputusan Pengadilan Tinggi, giliran Departemen Kesehatan turun tangan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Inti perdamaian: kedua belah pihak saling memaafkan dan tidak saling menuntut lagi.
Usul perdamaian versi Departemen Kesehatan itu disambut Omni dengan antusias. ”Ini win-win solution,” ujar juru bicara Rumah Sakit Omni, Ronald Simanjuntak. Menurut Ronald, dengan kesepakatan itu, Rumah Sakit Omni akan mencabut gugatan perdata dan Prita tidak perlu membayar ganti rugi.Pihak Prita tak mau gegabah menerima tawaran itu. Tim kuasa hukum Prita mengajukan draf perjanjian baru. Selain mencabut gugatan perdata, Omni diminta menyetop perkara pidananya yang kini tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang. ”Mencabut perkara perdata gampang, yang penting Prita harus dibebaskan,” ujar Slamet Yuwono, kuasa hukum Prita dari kantor pengacara O.C. Kaligis and Associated. Menurut Slamet, pihaknya khawatir kliennya kelak tetap divonis bersalah meski ada perjanjian damai.
Kuatnya desakan masyarakat yang membela Prita tak pelak membuat pihak Rumah Sakit Omni, Tangerang, akhirnya memilih berdamai dengan Prita. Jumat pekan lalu, Direktur Rumah Sakit Omni Tangerang dokter Bina Ratna Kusuma Fitri menyatakan pihaknya mencabut gugatan perdata mereka terhadap Prita tanpa syarat. ”Kami juga minta maaf,” kata Bina. Kepada Tempo, Ketua Pengadilan Tinggi Banten Soemarno menyatakan, dengan pencabutan itu, otomatis kasus perdata Omni-Prita selesai. ”Ada perdamaian atau tidak ada perdamaian, perkara ini dianggap selesai.”
Tapi, lagi-lagi pencabutan gugatan perdata itu ditanggapi dingin oleh pengacara Prita. Menurut Slamet, pihaknya menghormati pencabutan gugatan itu. ”Tapi ini belum selesai karena masih ada perkara pidana,” katanya. Menurut Slamet, jika Omni ingin perkara ini rampung, Omni mesti menghadap majelis hakim yang kini menangani kasus pidana Prita dan menyatakan mereka tidak menjadi korban pencemaran nama baik seperti yang didakwakan jaksa. ”Hanya dengan cara itu, klien saya bebas,” ujar Slamet.
Menurut Slamet, Prita berencana menggunakan duit yang terkumpul dari masyarakat itu untuk membangun sebuah yayasan. ”Seperti Prita Foundation,” ujar Slamet. Dana yang terkumpul itu akan dipakai untuk membantu mereka yang mengalami ketidakadilan. ”Prita tak akan memakai dana itu sedikit pun untuk kepentingan pribadi.”
Pidana Prita sendiri sebenarnya pernah ”dihentikan” Pengadilan Negeri Tangerang. Saat itu, setelah bersidang sejak 3 Juni, pada 25 Juni majelis hakim membebaskan Prita dari dakwaan melakukan pencemaran nama baik. Hakim menyatakan dakwaan kabur dan tak lengkap. Jaksa meminta banding. Pada 3 Agustus silam, turun putusan Pengadilan Tinggi Banten. Pengadilan memerintahkan Pengadilan Negeri Tangerang menyidangkan kembali kasus pidana Prita.
Jaksa Priyadi membidik Prita dengan Pasal 27 dan Pasal 45 Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik. Intinya, melakukan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni lewat sarana elektronik. Jaksa menuntut Prita hukuman enam bulan penjara.
Slamet berkukuh, untuk kasus pidana ini, semestinya hakim membebaskan Prita. Alasannya, antara lain, kliennya tidak pernah mendapat informasi yang jelas mengenai riwayat kesehatan dan rekam medis yang merupakan haknya seperti yang diatur Undang-Undang tentang Kedokteran. Prita, kata dia, juga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap surat elektronik yang disebarluaskan melalui e-mail dari orang yang tak dikenalnya. Prita sendiri tetap berharap hakim tak menghukumnya. ”Saya ingin hidup normal, menjaga anak-anak saya yang masih kecil,” ujarnya.
Sutarto, Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo