Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VONIS ringan itu membuat Komisi Yudisial turun tangan. Jumat pekan lalu, Komisi membentuk sebuah tim yang terdiri atas seorang komisioner dan dua anggota staf ahli. Inilah tim yang ditugasi menelisik putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas kasus penggelapan 343 butir ekstasi yang melibatkan dua jaksa, Esther Tanak dan Dara Veranita. ”Vonisnya tak wajar,” ujar Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas kepada Tempo.
Rabu dua pekan sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang terdiri atas Eko Supriyono, Purwanto, dan Kamaruddin Simanjuntak, memang memberi kejutan. Ketiga hakim itu memberi vonis superringan untuk dua jaksa tersebut. Esther divonis satu tahun penjara dan denda Rp 5 juta, sedangkan Dara—ini lebih mencengangkan lagi—divonis bebas.
Tak hanya dua jaksa tersebut, pelaku lainnya dalam kasus ini pun mendapat ”hadiah” tak kalah mengejutkan. Irfan, anggota Kepolisian Sektor Pademangan, Jakarta Utara, divonis satu tahun enam bulan penjara. Adapun Jenanto dihukum satu tahun plus denda Rp 5 juta. ”Putusan itu mencederai rasa keadilan masyarakat,” kata Busyro mengomentari putusan setebal 86 halaman yang dibacakan Eko Supriyono, ketua majelis hakim yang menangani kasus ini.
Bersama Irfan dan Jenanto itulah, Esther, menurut hakim, terbukti bersekongkol menggelapkan barang bukti ekstasi dari perkara yang tengah ia tangani. Ia membarter pil haram itu dengan BlackBerry Bold dan Nokia seri N82. Kedua gadget senilai Rp 11 juta itu, kata Eko, yang menyediakan Irfan. ”Dia mengorbankan karier demi BlackBerry,” ujar Eko.
Kendati Dara juga menerima BlackBerry 8320 seharga Rp 4,4 juta dari Irfan, menurut hakim, yang dilakukannya tak ada kaitannya dengan penggelapan. Hakim menganggap itu sekadar ”uang dengar”, lantaran Dara mengetahui ”bisnis” Esther-Irfan ini. Di persidangan, kata Eko, juga tak ada kesaksian yang memberatkan Dara.
Jika hukuman Irfan lebih berat ketimbang yang lain, itu lantaran hakim menilai ia intellectual dader dalam perkara ini. Jaksa memang menilai Irfan otak penggagas penyelewengan barang bukti itu. Irfan sendiri membantah tudingan itu. Ia justru menunjuk inisiatif penjualan ekstasi datang dari Esther. Adapun Jenanto terbukti sebagai kurir yang bertugas menjual ekstasi itu.
Memang, dari Jenanto inilah kasus penggelapan ekstasi itu terbongkar. Saat menjajakan ekstasi itu, awal Maret lalu, ia dicokok polisi. Kepada polisi, saat itu Jenanto buka mulut: pil tersebut dari Irfan. Irfan sendiri, setelah dicokok sejumlah petugas, menyebutkan pil haram tersebut ia dapatkan dari Esther dan Dara. Maka, pada 23 Maret lalu, dua jaksa itu pun resmi jadi tersangka dan langsung ditahan.
PERLAKUAN istimewa atas dua jaksa itu sebenarnya sudah terjadi sejak perkara tersebut ditangani polisi. Tatkala Irfan dan Jenanto terus mendekam di tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Esther dan Dara justru sempat dibebaskan. Saat itu penyidik membebaskan keduanya lantaran tak mendapat izin perpanjangan penahanan dari kejaksaan tinggi. Kejaksaan berdalih, polisi tak punya izin penahanan dari Jaksa Agung. Padahal izin ini mutlak ada untuk jaksa yang terjerat kasus. Ujung dari semua ini, keduanya hanya dikenai wajib lapor.
Sempat menghirup udara bebas, tiga bulan kemudian, setelah berkas dilimpahkan ke kejaksaan, Esther dan Dara dijebloskan ke tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Untuk menangani perkara yang mencoreng korps adyaksa tersebut, Kejaksaan Agung menunjuk dua jaksa dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan satu jaksa Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Adapun Esther dan Dara didampingi 14 pengacara.
Sidang perdana baru digelar pertengahan Juli. Bersama Irfan dan Jenanto, kedua jaksa itu didakwa dalam satu berkas. Jaksa menuntut keduanya dengan dakwaan berlapis. Dalam dakwaan primer, mereka dijerat dengan Pasal 71 dan Pasal 60 Undang-Undang Psikotropika tentang persekongkolan mengedarkan psikotropik. Ancaman pelanggar pasal ini lima belas tahun penjara. Adapun untuk dakwaan subsider, mereka dibidik pasal 71 dan pasal 62 undang-undang yang sama tentang persekongkolan kepemilikan psikotropik. Ancamannya lima tahun penjara. Sejumlah saksi dihadirkan untuk perkara ini, di antaranya atasan Esther dan Dara serta pemilik gerai penjual BlackBerry.
Keganjilan mulai terasa saat tahap penuntutan. Di luar perkiraan, dua jaksa itu ternyata dituntut jauh lebih ringan daripada ancamannya. Esther dituntut satu tahun enam bulan penjara dan Dara sepuluh bulan penjara. Padahal, dalam sidang sebelumnya, Agus Sirait, jaksa penuntut kasus ini, menyatakan, dengan bukti-bukti yang ada, kedua jaksa itu terbukti bersekongkol mengedarkan psikotropik.
Menurut majelis hakim, hanya dakwaan sekunder yang dianggap terbukti. Kedua jaksa itu, kata Eko, terbukti melakukan persekongkolan kepemilikan psikotropik dengan cara penggelapan. Yang dilakukan Esther, menurut Eko, semata-mata kelalaian. Majelis juga menunjuk alasan kenapa vonis untuk dua jaksa itu jauh dari ancaman dalam pasal yang didakwakan. Keduanya dianggap telah berjasa untuk negara. ”Esther sudah belasan tahun menjadi jaksa dan telah berjasa,” ujar Eko.
PUTUSAN ”luar biasa” ini membuat para aktivis antinarkoba bereaksi. Dua hari setelah vonis superringan itu diketuk, puluhan aktivis Satgas Antinarkoba menggeruduk Kejaksaan Agung. Mereka membakar keranda sebagai simbol ketidakpercayaan kepada jaksa yang menangani perkara ini. Menurut mereka, jaksa tidak serius menangani kasus ini karena yang menjadi terdakwa kolega mereka sendiri.
Kecaman juga datang dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi). Lembaga ini menduga ada persekongkolan dalam penanganan perkara itu sehingga membuahkan vonis yang ringan. ”Seharusnya dua jaksa itu dihukum berat karena, selain sengaja melakukan, mereka adalah penegak hukum,” ujar Hasril Hananto, Ketua Mappi.
Menurut Busyro, adanya dugaan persekongkolan itu wajar. Busyro membandingkan vonis untuk Esther dengan vonis Amir Machmud. Sopir Badan Narkotika Nasional itu, Maret 2008, divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat gara-gara menyimpan sebutir ekstasi yang harganya sekitar Rp 100 ribu. Nilai ini tentu saja tak seberapa dibanding 343 ekstasi yang digelapkan Esther, yang harganya lebih dari Rp 30 juta.
Dari catatan Tempo, trio hakim ini—Eko, Purwanto, dan Kamaruddin—pada September lalu juga pernah menghukum tujuh tahun penjara seorang mahasiswa yang tertangkap tangan membawa ganja lima kilogram yang di pasar harganya sekitar Rp 5 juta. Adapun Eko, pada November silam, saat menjadi ketua majelis hakim, pernah pula memvonis bebas Khasmiatun, terdakwa dalam kasus kepemilikan 56 ribu ekstasi dan 20 kilogram sabu-sabu yang melibatkan pula suaminya, Effendi. Padahal, sebelumnya, jaksa menuntut perempuan itu delapan belas tahun penjara.
Tudingan adanya persekongkolan itu ditepis Eko. Dia berkukuh, dalam perkara ini Dara tidak terbukti melakukan penggelapan. Adapun bagi Esther, kata Eko, hukuman satu tahun itu sudah berat. ”Kariernya juga tertunda.” Ditemui Tempo di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dua penuntut umum perkara ini, Agus Sirait dan Djumadi, memilih tutup mulut. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Andhi Nirwanto juga menolak mengomentari vonis beraroma ”persekongkolan” ini.
Penjelasan datang dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kemal Sofyan. Kemal membantah jika dikatakan pihaknya ”main mata” untuk meringankan hukuman terhadap Esther dan Dara. ”Tuntutan itu sudah diperiksa berlapis-lapis,” kata Kemal. ”Sampai ke saya, sudah tujuh lapis.”
Menurut Kemal, pihaknya tak puas atas vonis itu. Jaksa, kata dia, akan mengajukan permohonan kasasi atas bebasnya Dara. Sementara itu, untuk Esther, kata Kemal, karena putusannya lebih dari setengah tuntutan, kejaksaan tak akan meminta banding. Esther menerima vonis itu. Ia tak berminat meminta banding. ”Kalau banding, makan waktu,” kata pengacaranya, Yusuf Sileti.
Kejaksaan sendiri belum memastikan akan menjatuhkan sanksi apa terhadap Esther. Menurut Kemal, bekas jaksa di Kejaksaan Negeri Palu itu harus menjalani pemeriksaan internal dulu oleh tim Kejaksaan Agung. Adapun untuk Dara, statusnya masih menunggu putusan tetap.
Jikapun kelak putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tetap membebaskan Dara, bekas jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dan Bekasi itu tak otomatis bisa bertugas kembali di tempatnya sekarang, Kejaksaan Negeri Kuningan, Jawa Barat. ”Dia juga harus menjalani pemeriksaan internal dulu,” kata Kemal.
Anton Aprianto, Wahyudin Fahmi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo