Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Yudi Purnomo berusia 24 tahun saat bergabung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2007. Dia baru satu tahun lulus dari jurusan ilmu sejarah di Universitas Indonesia. Sebagai seorang sarjana muda, Yudi harus menyesuaikan diri dengan budaya di lingkungan kerja barunya. Sesuai namanya, ada ekspektasi bagi para pegawai di lembaga antirasuah untuk menjaga diri dengan ketat dari berbagai kemungkinan perbuatan koruptif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat pertama bertugas di bagian pencegahan KPK, Yudi berusaha menyesuaikan diri dengan komitmen rekan-rekannya. Dia kerap khawatir jika suatu saat tidak sengaja menyalahgunakan posisi di lembaga khusus pemberantasan korupsi itu. Yudi terus berkarier di KPK hingga akhirnya menjadi penyidik pada 2013.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai penyidik, Yudi berupaya ketat menjaga integritas mulai dari hal yang sederhana. Salah satunya dengan tidak menerima pemberian apa pun jika sedang bertugas, termasuk makanan atau minuman. Dia juga memutus hubungan dengan hampir semua pihak yang mungkin berperkara dengan KPK.
Yudi sering menolak berbagai undangan acara-acara resmi untuk memperkecil kemungkinan dirinya bertemu orang yang salah. “Kalau enggak penting-penting banget saya enggak akan datang undangan, karena takut bertemu dengan pejabat yang kasusnya sedang saya usut,” kata Yudi kepada Tempo pada Selasa, 10 Desember 2024.
Yudi Purnomo Harahap. TEMPO/Imam Sukamto
Tumpak Hatorangan, salah satu Wakil Ketua KPK periode pertama, mengumpamakan budaya di KPK saat itu seperti hidup dalam kesunyian. “Kita jarang mau pergi ke mana-mana. Kegiatan seremonial kita batasi. Takut, nanti bisa terjadi konflik kepentingan,” kata Tumpak pada Kamis, 12 Desember 2024.
Tumpak, yang kemudian menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas KPK periode 2019-2024, mengatakan KPK saat itu hanya berfokus kepada upaya pengungkapan kasus-kasus korupsi. Masalah lain, seperti birokrasi, tidak terlalu memusingkan mereka.
Mantan Kepala Biro Sumber Daya Manusia KPK Chandra Sulistio Reksoprodjo menceritakan, KPK saat awal dibentuk pada 2002 memang sengaja merekrut orang-orang dengan nilai independensi yang kuat. “Kalau dulu, memang kami mendapat pesan dari pimpinan KPK agar merekrut orang-orang kritis supaya bisa menyentuh ‘menara gading’ untuk memberantas korupsi,” kata Chandra pada Kamis, 12 Desember 2024.
Chandra menilai rekrutmen pegawai pada masa-masa awal KPK berhasil membentuk kultur yang bisa kritis terhadap penyimpangan. Contohnya, pegawai KPK saat itu bisa saja mengkritik atasan atau pimpinan yang mereka anggap salah. Teguran itu mereka sampaikan secara terbuka di mailing list internal yang diikuti para insan KPK, dari pimpinan hingga pegawai.
Lakso Anindito, mantan penyidik KPK yang kini menjadi Ketua IM57+ Institute, mengatakan para pegawai KPK ketika itu bersama-sama berupaya menjaga muruah lembaga tempat mereka bekerja. Selain melalui kritik yang disampaikan secara terbuka, para pegawai juga bisa melakukan protes. Salah satunya saat mereka menolak pelimpahan kasus dugaan korupsi yang menyeret eks Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri Budi Gunawan. Saat itu, mereka menolak pelimpahan kasus Budi Gunawan dari KPK ke Kejaksaan Agung.
Lakso menilai ada budaya aktivisme di antara pegawai KPK saat itu untuk menentang hal-hal yang mereka anggap keliru. “KPK itu dulu ada check and balances yang berasal dari internal,” kata Lakso pada Kamis, 12 Desember 2024.
Ketika itu, KPK mengenal sebuah serikat pekerja yang bernama Wadah Pegawai (WP) KPK. Melalui WP KPK, para pegawai kerap berinisiatif melakukan kerja-kerja pengawasan internal seperti advokasi, demonstrasi, hingga diskusi-diskusi dengan pimpinan.
Adanya kebiasaan untuk saling menegur di KPK bukan berarti tidak ada pegawai yang bermasalah. Selama bertugas di KPK pada 2007-2021, Yudi Purnomo menyampaikan dirinya beberapa kali mengetahui ada pegawai KPK yang terseret problem, dari terlibat pungutan liar di rumah tahanan KPK hingga perselingkuhan. Namun, Yudi berujar masalah itu bisa cepat selesai. Pegawai yang melakukan pelanggaran akan langsung dipecat atau mengundurkan diri. “Bagi saya KPK itu adalah kolam bersih. Jadi ketika ada orang kotor masuk ke kolam bersih, dia enggak akan lama bertahan hidup,” ucap laki-laki yang juga pernah menjadi Ketua WP KPK itu.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengamini persoalan internal di KPK memang sudah terjadi sejak dulu. Namun, persoalan yang menyeret pegawai sebelumnya tidak menjadi masalah besar karena adanya mekanisme pengawasan internal yang berjalan di antara para insan KPK.
Agus menilai masalah yang melibatkan pegawai KPK mulai masif terjadi setelah 2019. Ada dua hal yang menjadi sorotan pada tahun tersebut. Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang KPK yang membuat pegawai KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN). Kedua, terpilihnya Firli Bahuri menjadi Ketua KPK. “Persoalan di internal menurut saya yang belakangan agak masif ya di eranya Firli Bahuri, dari pimpinan sampai yang level bawah ada kasus-kasusnya,” kata Agus pada Jumat, 13 Desember 2024.
Banyak perubahan yang terjadi di KPK pada masa kepemimpinan mantan Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan Polri Komisaris Jenderal (Purn) Firli Bahuri. Firli bersama empat wakilnya, yaitu Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron, mewajibkan seluruh pegawai KPK untuk ikut Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dengan dalih peralihan menjadi ASN sesuai mandat UU KPK baru. Setidaknya 58 pegawai KPK gugur melalui tes tersebut, termasuk Yudi Purnomo, Chandra Sulistio Reksoprodjo, Lakso Anindito, dan sejumlah pentolan WP KPK lainnya.
Sejak revisi UU KPK pada 2019, ada sejumlah kasus yang menyeret pimpinan hingga pegawai KPK. Beberapa di antaranya menjadi sorotan publik. Pada 2020, seorang pegawai Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK mencuri 1,9 kilogram emas dari ruangan barang bukti. Pada 2022, penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju juga terseret kasus suap hingga Rp 11 miliar dan US$ 36 ribu ketika menangani kasus korupsi.
Selain itu, kasus pungutan liar oleh puluhan pegawai rumah tahanan KPK juga terungkap pada 2023. Jumlah pungli yang dimintakan para pegawai kepada tahanan KPK mencapai Rp 6,3 miliar. Pada tahun yang sama, seorang pegawai KPK juga diduga menilap uang perjalanan dinas sebesar Rp 550 juta. Deretan kasus tersebut belum termasuk dua perkara dugaan gratifikasi yang menyeret pimpinan KPK, yaitu Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar, yang kemudian mengundurkan diri dari lembaga antirasuah.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengklaim terungkapnya kasus-kasus yang melibatkan pegawai KPK justru merupakan bukti pengawasan internal masih berjalan. “Ini sebenarnya bukti bahwa KPK tidak main-main. Bila memang masyarakat ataupun internal mengetahui ada main-main, itu pasti akan ketahuan,” kata Tessa pada Jumat, 13 Desember 2024.
Tessa menyampaikan KPK memang dibentuk dengan model yang memungkinkan bagi orang-orang di dalamnya untuk saling mengoreksi. Namun, dia mengakui ada perubahan dalam internal lembaga sejak revisi UU KPK pada 2019. “Yang paling saya rasakan perubahan itu adalah komunikasi antara pimpinan dan pegawai. Karena semakin besar KPK-nya, maka semakin jauh komunikasinya, semakin birokratis,” ujar laki-laki yang bertugas di KPK sejak 2008 itu.
Mantan Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan juga berpendapat KPK kini lebih birokratis. Dia menilai KPK saat ini berfungsi selayaknya kementerian dengan berbagai direktorat dan kedeputian. Tumpak, yang menjabat Wakil Ketua KPK pada 2003-2007 dan Plt Ketua KPK pada 2009-2010, mengatakan pola tersebut sangat berbeda dengan masa-masa awal lembaga antikorupsi. “Kami dulu enggak berpikir untuk sampai sejauh itu, cukup KPK ini kecil tapi melakukan tugasnya yang maha besar,” kata Tumpak.
Ketua Majelis sidang etik Dewan Pengawas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, menggelar sidang pembacaan surat putusan pelanggaran etik tanpa dihadiri terperiksa Wakil Ketua KPK, Nurul Gufron, di gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa, 21 Mei 2024. Dewas KPK menunda pembacaan putusan sidang etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada kasus penyalahgunaan wewenang berupa intervensi dalam mutasi ASN Kementerian Pertanian karena berdasarkan putusan sela dari PTUN Jakarta meminta Dewas KPK untuk menunda pemeriksaan etik Nurul Ghufron dan menunggu hasil putusan di PTUN berkekuatan tetap dan mengikat. TEMPO/Imam Sukamto
Seorang pegawai KPK yang tidak mau disebut namanya mengatakan kebijakan komunikasi berjenjang mulai diterapkan saat masa kepemimpinan Firli Bahuri. Cara kerja birokratis ala pegawai negeri sipil mulai berlaku setelah perubahan status pegawai KPK menjadi ASN.
Selain itu, kata dia, perubahan menjadi ASN juga berujung penggantian Wadah Pekerja KPK menjadi Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang menaungi ASN. Korpri, kata dia, tak bisa berfungsi secara kritis seperti WP KPK dulu. “Kalau dulu, ada Wadah Pegawai yang memang mengimbangi. Jadi Wadah Pegawai ini juga merupakan bagian tidak terpisahkan yang memberi masukan kepada lembaga, apa yang disuarakan oleh pegawai, dan itu yang berubah.”
Mantan Kepala Biro Sumber Daya Manusia KPK Chandra Sulistio Reksoprodjo menilai kultur pegawai negeri sipil cenderung menutup ruang bagi orang-orang untuk berpikir kritis. Chandra, yang juga bertugas sebagai pengajar di salah satu sekolah kedinasan, mengatakan jika ada hal yang mereka anggap salah, ASN cenderung mengutamakan harga diri atasan mereka dibanding mengkritisi secara terang-terangan.
Pegawai negeri sipil, kata Chandra, juga memiliki kekhawatiran bisa suatu waktu terkena mutasi jika terlalu vokal. Dalam konteks KPK, ujar dia, para pegawai juga memiliki kecemasan akan dipecat dengan preseden TWK yang menggugurkan para pentolan WP KPK. Chandra khawatir cara pikir demikianlah yang kini menjadi status quo di KPK. Dia berkata KPK saat ini didesain untuk menjadi bagian dari birokrasi. “Dan kita tahu, birokrasi kerap gagal menangani korupsi,” kata Chandra.
Legislator DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan revisi UU KPK pada 2019 membuat KPK yang sebelumnya merupakan lembaga independen menjadi berada di bawah rumpun eksekutif. Ketika itu, Nasir bercerita, mayoritas anggota DPR menyetujui revisi disahkan dengan tujuan membuat KPK lebih berdaya dalam pencegahan korupsi. Namun, Nasir mengakui perubahan UU KPK saat itu berjalan sangat cepat tanpa pelibatan masyarakat yang cukup.
Revisi tersebut, kata dia, juga membuat perubahan kultur dalam tubuh lembaga antirasuah. “Pegawai di dalamnya adalah ASN. Maka kultur ASN itu berjalan di sana,” kata anggota Komisi III DPR yang merupakan mitra kerja KPK itu pada Selasa, 10 Desember 2024.
Nasir menyampaikan kultur ASN adalah ewuh pakewuh. Dalam Bahasa Jawa, ewuh pakewuh berarti sikap menjaga nilai-nilai kesopanan. Secara sederhana, kata “ewuh” dapat diartikan dengan makna sungkan, sementara “pakewuh” berarti tidak nyaman.
Budaya tersebut, kata Nasir, membuat pegawai KPK menjadi takut salah dan cenderung menunggu perintah atau tidak mengambil inisiatif. “Kultur ASN yang selama ini ada di birokrasi kita itu enggak bisa tiba-tiba luntur. Sama seperti di kepolisian juga, seperti di kejaksaan,” ucap Nasir.
Nasir menilai budaya whistle blowing atau pelaporan pelanggaran harus kembali hidup di internal KPK. Dengan whistle blowing, kata Nasir, KPK bisa mencegah dampak buruk dari kebiasaan ewuh pakewuh, yang sebenarnya bukan bertujuan untuk membiarkan kesalahan. “Kalau whistleblowing hadir di KPK, itu akan membuat KPK semakin lebih bermuruah,” ujar dia.
Mantan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, yang menjabat pada periode 2019-2024, mengakui pegawai KPK tidak lagi sevokal dulu selama lima tahun masa kepemimpinannya. Alexander mengatakan pegawai KPK baru mengirim email internal, seperti yang dilakukan Lakso cs dahulu, pada akhir masa jabatannya. “Baru akhir-akhir ini ada yang kirim email internal menyatakan keprihatinan atas kekalahan KPK di beberapa kasus,” kata Alexander. “Aku bilang, ini sudah terlambat kalian, kenapa baru sekarang?”
Saat ini, KPK telah dipimpin jajaran baru. Masa jabatan Alexander dan pimpinan KPK periodenya telah usai pada 20 Desember 2024 lalu. Para pimpinan yang kini memimpin KPK adalah Ketua KPK Setyo Budiyanto dan empat wakilnya, yaitu Fitroh Rohcayanto, Agus Joko Pramono, Ibnu Basuki Widodo, dan petahana Johanis Tanak. Mereka akan menjabat hingga 20 Desember 2029.
Nasir Djamil, anggota DPR yang ikut serta dalam uji kelayakan mereka di Komisi III, mengatakan beberapa pimpinan terpilih sudah menyampaikan komitmen untuk kembali menghidupkan budaya whistleblowing di KPK. Dalam uji kelayakan, Nasir berujar ada dua atau tiga orang pimpinan yang dia ingat ingin membudayakan kembali whistleblowing di lembaga antirasuah. “Mulai level pegawai level bawah sampai atas itu diharapkan berani dan punya integritas untuk meniup peluit kalau ada yang salah. Jangan membiarkan kalau ada hal-hal yang menyimpang,” ujar legislator dari daerah pemilihan Aceh II itu.
Pilihan Editor: Gatot Kaca dan Pandawa Lima di Era Pimpinan Baru KPK