Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Peluang Ekosida Menjadi Pelanggaran HAM Berat Perusakan Lingkungan

Sejumlah lembaga meminta pemerintah memasukkan ekosida sebagai pelanggaran HAM berat. 

31 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) meluncurkan riset bertajuk ‘Menguak Ekosida sebagai Pelanggaran Berat HAM’, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin, 23 Desember 2024. Dok.PBHI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para pegiat lingkungan dan hak asasi manusia meminta pemerintah memasukkan ekosida sebagai pelanggaran HAM berat.

  • Masih terjadi impunitas terhadap korporasi atau aparatur negara yang merusak lingkungan secara masif dan terstruktur.

  • Butuh kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk memasukkan ekosida ke dalam revisi UU Pengadilan HAM.

SEJUMLAH pegiat lingkungan dan hak asasi manusia mendorong pemerintah Indonesia mengadopsi ekosida, perusakan lingkungan secara terstruktur dan masif, sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, upaya ini terbentur beberapa persoalan. Salah satunya belum ada payung hukum yang bisa mendefinisikan ekosida sebagai pelanggaran HAM berat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Tim Penyusun Riset Ekosida dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Linda Dewi Rahayu mengatakan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya mengakui dua jenis pelanggaran HAM berat: genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itu, PBHI meminta pemerintah merevisi undang-undang tersebut agar ekosida masuk ke dalam definisi pelanggaran HAM berat. “Kami mendorong bagaimana ekosida, baik itu konflik agraria maupun perusakan lingkungan, tidak diselesaikan secara case-by-case, melainkan dengan perubahan sistem dan reformasi hukum agar hukum kita lebih baik lagi,” kata Linda.

Istilah ekosida muncul dalam Konferensi Perang dan Tanggung Jawab Nasional di Washington, DC, Amerika Serikat, pada 1970. Ahli biologi Yale University, Amerika, Profesor Arthur W. Galston, mencetuskan istilah ini untuk mengkritik penggunaan senjata biologis bernama Agent Orange oleh tentara Amerika untuk menggunduli hutan di Vietnam. Tujuannya agar tentara Vietkong tak bisa menggunakan taktik perang gerilya yang merepotkan pasukan Negeri Abang Sam. Arthur yakin senjata biologis itu tak hanya menghancurkan hutan, juga mengubah gen manusia.

Tiga tahun berselang, ahli kejahatan perang Princeton University, Profesor Richard A. Falk, merancang Konvensi Internasional tentang Kejahatan Ekosida. Ada tujuh kategori ekosida dalam rancangan Richard tersebut, enam di antaranya berhubungan dengan penggunaan senjata yang merusak lingkungan untuk kepentingan militer atau perang. Satu kategori lain, tentang pemindahan paksa manusia atau hewan untuk kepentingan militer atau industri sebagai ekosida. 

Pembukaan lahan untuk perkebunan tebu di Distrik Tanah Miring, Papua Selatan, 4 September 2024. TEMPO/George William Piri

Definisi ekosida tersebut lantas berkembang luas. Linda Dewi Rahayu mengatakan perlu indikator tertentu untuk mengkategorikan kasus perusakan lingkungan sebagai ekosida di Indonesia. “Tidak semua penghancuran, tidak semua kejahatan lingkungan itu ekosida,” ucapnya.

PBHI, kata Linda, mengkategorikan ekosida sebagai perusakan, penghancuran, dan pemusnahan ekosistem lingkungan hidup serta sumber-sumber kehidupan secara sistematis, masif, parah, dan permanen. Definisi itu mereka susun berdasarkan riset terhadap sejumlah kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia. 

Misalnya pemberian konsesi ekstraktif di Papua yang sudah berlangsung sejak 1960-an. PBHI menilai pemberian izin konsesi kepada korporasi itu diikuti eksploitasi, kekerasan, dan penghancuran hutan. Pemberian konsesi tersebut, menurut PBHI, juga merampas lahan dan merusak lingkungan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat Papua.

Selain itu, PBHI menilai proyek penghiliran tambang nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah sebagai ekosida. PBHI menduga terjadi kekerasan, kerusakan, dan krisis berdimensi sosial-ekologis yang tidak dapat dipulihkan dalam proyek-proyek tersebut.

Linda mengatakan setidaknya ada tiga indikator ekosida yang mereka rumuskan. Pertama, adanya pola kerja ataupun relasi yang sistematis dalam proses perencanaan, implementasi, serta dampak yang didominasi elite politik dan bisnis. “Pola relasi di sini adalah kepentingan antara negara dan korporasi,” ujarnya.

Kawasan tambang ore nikel di Desa Siumbatu, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Januari 2023. ANTARA/Mohamad Hamzah 

Indikator kedua, kata Linda, terdapat praktik penggunaan keamanan berlebihan melalui penjarahan untuk melindungi kepentingan elite sehingga memiliki impunitas hukum. Sementara itu, indikator ketiga adalah adanya dampak yang mengarah pada penghancuran ekologis secara sistematis dan tidak bisa dipulihkan.

Tiga indikator kerusakan lingkungan itu, kata Linda, mengakibatkan kemusnahan rangkaian ekosistem pendukung kehidupan. Dalam indikator ketiga ini, ekosida merujuk pada kejahatan lingkungan yang di dalamnya terdapat pula perubahan fisik dan psikis manusia yang terkena dampak. 

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia juga bersepakat bahwa ekosida termasuk pelanggaran HAM berat. Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi Abdul Ghofar menyatakan pihaknya juga telah menyusun indikator suatu kejahatan lingkungan yang bisa dianggap sebagai ekosida.

Pertama, menurut Gofar, dampak masif dan berkepanjangan terhadap fungsi kehidupan masyarakat. Hasil kerusakan tersebut juga tidak dapat dipulihkan kembali. Kedua, praktik perusakan itu memusnahkan kesatuan ekosistem lingkungan. “Misalnya ada bentang alam atau ekosistem tertentu yang hancur,” ucapnya kepada Tempo pada Senin, 30 Desember 2024. 

Kemudian, indikator ketiga merujuk pada kejahatan lingkungan yang mengakibatkan penyimpangan fisik ataupun psikis manusia. Contohnya, kata Ghofar, peristiwa perusakan lingkungan itu menyebabkan korban meninggal, mengalami kecacatan fisik, hingga gangguan mental.

Pada 2019, Walhi mempublikasikan Ecocide, studi kasus kejahatan lingkungan yang memenuhi indikator ekosida. Kasus pertama ialah semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi pada Mei 2006. Semburan tersebut muncul setelah pengeboran oleh PT Lapindo Brantas.

Ghofar menjelaskan, dampak kasus lumpur Lapindo masih berlangsung hingga sekarang. Akibat peristiwa itu, belasan desa tenggelam, sungai tercemar, hingga orang-orang mengalami kecacatan fisik. Tak hanya itu, masyarakat pun dipaksa pindah dari tempat tinggal mereka. “Kasus lumpur Lapindo seharusnya layak disebut ekosida,” tutur Ghofar. Hal ini terutama karena adanya campur tangan manusia dalam penyebab kerusakan lingkungan itu.

Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) yang terendam lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, Mei 2007. Dok.TEMPO/Arie Basuki

Kendati demikian, Ghofar mengatakan Walhi cenderung berhati-hati menetapkan suatu kasus lingkungan yang berkaitan dengan korporasi sebagai ekosida. Menurut dia, memang perlu dilakukan riset mendalam untuk menentukan kejahatan ekosida sebagai pelanggaran HAM berat. 

Jika ekosida diakui sebagai pelanggaran HAM, Ghofar berharap tak ada lagi impunitas terhadap korporasi ataupun negara. Dia mencontohkan, pencemaran udara atau air sebagai kejahatan lingkungan tidak dilihat sebagai pencemaran saja, melainkan dilihat juga dari kacamata pelanggaran hak-hak dasar masyarakat. “Jadi upaya penegakan hukum terhadap korporasi akan lebih kuat,” kata Ghofar. 

Selama ini, kata dia, korporasi yang menyebabkan kasus kebakaran hutan dan lahan hanya mendapat hukuman denda. Sementara itu, jika korporasi dijerat dengan kasus ekosida, pemerintah bisa menutup perusahaan yang bertanggung jawab atas peristiwa itu. Korporasi juga dapat dituntut untuk memberikan remediasi dan memastikan adanya pemulihan lingkungan ataupun korban yang terkena dampak.

Ghofar menyatakan saat ini sejumlah negara anggota Mahkamah Pidana Internasional mulai mengusulkan ekosida sebagai kejahatan luar biasa kelima, menyusul kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Karena itu, dia menilai peluang Indonesia memasukkan ekosida sebagai pelanggaran HAM berat dalam revisi UU Pengadilan HAM cukup terbuka lebar.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Saurlin P. Siagian sepakat dengan Ghofar. Saurlin menilai ekosida memungkinkan diakui sebagai pelanggaran HAM berat melalui konteks kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab, kata Saurlin, lingkungan hidup yang layak berkaitan erat dengan hak hidup manusia. “Tentu masuk ranah kejahatan kemanusiaan kalau ada hak hidup yang dicabut,” ucap Saurlin saat dihubungi secara terpisah, kemarin.

Saurlin mengatakan Komnas HAM sudah mulai berdiskusi soal ekosida sebagai pelanggaran HAM berat secara internal. “Saya dalam berbagai hal sepakat bahwa kejahatan lingkungan hidup itu bisa didorong oleh lembaga seperti Komnas HAM untuk masuk ke ranah Undang-Undang Pengadilan HAM,” ujarnya.

Namun Saurlin pun memberi catatan bahwa dugaan kejahatan lingkungan itu harus dapat dibuktikan telah dilakukan secara terorganisasi, sistematis, dan meluas. Jika memang terbukti, kasus kerusakan lingkungan itu memenuhi kualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat. 

Saurlin menyebutkan Komnas HAM sudah banyak menerima laporan mengenai konflik agraria dan sumber daya alam dari seluruh penjuru Indonesia. Menurut catatan Saurlin, setidaknya hingga Agustus 2024, terdapat 2.639 laporan konflik lingkungan yang mendarat di mejanya. Konflik-konflik tersebut meliputi penangkapan dan penahanan aktivis lingkungan, serta penggusuran masyarakat adat. Komnas HAM, kata dia, masih menelaah laporan-laporan itu. 

Untuk dapat menetapkan kejahatan lingkungan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tetap perlu dilihat apakah peristiwa yang terjadi memenuhi syarat yang diamendemenkan dalam undang-undang. “Apakah unsur-unsur itu memenuhi syarat kejahatan lingkungan hidup dan agraria, itu bisa kami lacak satu per satu,” tutur Saurlin.

Dosen hukum hak asasi manusia Universitas Airlangga, Haidar Adam, juga sepakat bahwa ekosida masuk kategori pelanggaran HAM berat. Menurut dia, ada kemiripan antara pola ekosida dan pola kejahatan yang telah diakui sebagai pelanggaran HAM berat. “Dari sistematisasinya, widespread atau meluasnya dampak ekosida, hingga kerusakan yang mengancam kehidupan manusia,” kata Haidar.

Ide bahwa ekosida merupakan pelanggaran HAM berat, tutur dia, muncul karena gagasan mengenai HAM yang dinamis. Dulu, pembahasan HAM masih berfokus kepada manusia. Namun, belakangan, persoalan HAM mulai bergeser ke lingkup yang lebih luas. Manusia tidak lagi dipandang sebagai spesies yang independen atau berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari ekosistem alam. Hal ini, menurut Haidar, sesuai dengan prinsip interdependensi dalam HAM. Prinsip itu, kata Haidar, mengacu pada semua jenis hak asasi yang saling berkaitan, saling bergantung, dan tidak dapat dipisahkan. “Sehingga, ketika terjadi destruksi terhadap alam, secara otomatis akan mengancam jiwa manusia itu sendiri,” ucapnya.

Menurut Haidar, Indonesia memang masih perlu melewati berbagai tahapan untuk dapat mengakui ekosida sebagai pelanggaran HAM berat. Indonesia, menurut dia, bisa memulainya melalui konvensi internasional. Dari situ, hukum nasional dapat mengadopsi hukum internasional tersebut. Indonesia dapat meratifikasi aturan mengenai kejahatan lingkungan ekosida dan menyesuaikannya dengan situasi di dalam negeri.

Namun, Haidar mempertanyakan apakah pemerintah bersedia mengadopsi konsep ekosida sebagai pelanggaran HAM berat ke dalam hukum nasional. Ia menyinggung ihwal Indonesia yang hanya mengadopsi dua dari empat jenis kejahatan luar biasa dalam Statuta Roma 1998. “Political will itu menjadi sangat penting dalam proses untuk mengajukan hal-hal yang terhitung baru seperti ekosida di dalam sistem hukum negara.”

Dosen hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, punya pandangan berbeda. Dia menilai hukum yang sudah ada saat ini sebenarnya bisa menjerat para pelaku perusakan lingkungan. Menurut dia, pemerintah hanya perlu menegakkan aturan tersebut. “Tidak usah bicara sampai ekosida,” kata Hikmahanto. 

Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan laporan ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus