SEISI ladang milik Nyonya Lenar, 57 tahun, di Desa Manganti, Kabupaten 50 Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, kini rata dengan tanah. Puluhan pohon kelapa, pisang, nangka, avokad, dan sebuah pondok di ladang seluas 4.000 m2 itu dibabat habis oleh serombongan orang bersenjata parang, kapak, dan cangkul. Rombongan itu bukan gerombolan liar. Mereka bertindak atas izin pengadilan, setelah Nyonya Kartini -- bersama lima saudara kandungnya -- menang berperkara melawan saudara misannya, Tanur Tunus. Karena itu, "eksekusi" tersebut dihadiri pula oleh Panitera Kepala Pengadilan Tanjung Pati, Zachrul Abdulllah, dan dua orang petugas. Ternyata, eksekusi yang terjadi pada 24 Agustus 1988 itu keliru. Sebab, "Ladang itu tak ada sangkut pautnya dengan sengketa saya dan Kartini," ujar Tanur Tunus, adik kandung Lenar, yang sehari-hari bekerja di Kantor Pos dan Giro Payakumbuh. Akibat pengaduan Tanur, Kapolda Sum-Bar Kol. Pol. M. Zahri Amin pekan lalu memerintahkan anak buahnya mengusut eksekusi aneh itu. Kisah eksekusi itu bermula dari sengketa Tanur Tunus, 51 tahun, dengan Kartini, 41 tahun, bersama lima orang saudara kandungnya. Mereka memperebutkan harta pusaka tinggi (warisan adat) almarhum Ramali Datuk Lenggang Marajo, penghulu kaum suku Pagarcancang di Desa Manganti, berupa sawah dan kolam ikan seluas dua hektar. Ramali, yang meninggal pada 1981, selaln meninggalkan anak, Kartini, dan saudara-saudaranya, juga meninggalkan kakak perempuan bernama Raanin, ibu kandung Tanur Tunus. Setelah Ramali meninggal, Tanur diangkat sebagai pimpinan kaum dengan gelar datuk, yang bertindak selaku mamak kepala waris. Sejak itu pula, kata Tanur, harta pusaka tinggi (milik kaum), yang selama ini digarap anak-anak almarhum dengan sistem bagi hasil, dikembalikan kepada Tanur. Tapi pada Februari dan Oktober 1983, menurut Tanur, harta warisan adat itu diserobot kembali oleh pihak Kartini. Upaya Tanur mengadukan Kartini bersaudara itu ke polisi tak membuahkan hasil. Pihak Kartini rupanya merasa berhak atas sawah dan tebat ikan itu. Menurut Kartini, pada tahun 1940-an telah terjadi bakarek rotan (berbagi waris) antara ayahnya, Ramali, dan ibu Tanur, Raanin. Akibat bakarek rotan yang disaksikan para ninik-mamak itu, sebagian harta pusaka (pusako) dikuasai Raanin, dan sebagian lagi dikuasai Ramali. Berdasarkan itu, Kartini menganggap status harta pusaka tinggi (milik kaum) tersebut telah menjadi harta pusaka rendah (hanya bisa diturunkan ke istri dan anak). Bahkan pihak Kartini, katanya, sudah memperoleh hibah atas pusako itu -- berupa 10 piring sawah dan sebuah kolam ikan -- dari almarhum Ramali. Sebab itu pula, menurut Kartini, Tanur tidak berhak lagi menuntut harta itu. Tanur tetap bersikukuh bahwa harta itu merupakan pusaka tinggi yang tak bisa dihibahkan tanpa izin kaum. Itu sebabnya, Tanur menggugat Kartini bersaudara ke Pengadilan Negeri Tanjung Pati. Ternyata, majelis hakim yang diketuai Bay Mastur, Januari 1985, sependapat dengan dalih bakarek rotan serta hibah tadi, dan menolak gugatan Tanur. Di tingkat banding, Juli 1985, kemenangan justru berada di pihak Tanur. Majelis banding menilai kedudukan gelar datuk (sako) menyatu dengan pusako. Sebab itu, majelis tidak mengakui bakarek rotan, apalagi hibah pusaka tinggi dari penghulu kepada anak-anaknya sendiri. Tapi di tingkat kasasi, Oktober 1987, Kartini memenangkan perkara itu. Anehnya, Kartini mengajukan permohonan eksekusi atas putusan itu -- padahal harta yang disengketakan berada di tangannya. Lebih aneh lagi, Ketua Pengadilan Tanjung Pati, Ellyzar Hamzah, mengabulkan permohonan itu. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba pihak Kartini justru mengeksekusi harta Lenar, yang tak terlibat apa-apa dengan sengketa itu. Baik Ellyzar maupun Zachrul Abdullah mengakui kekeliruan mereka. Karena itu, Zachrul berniat mengembalikan keadaan ladang itu seperti semula dan membayar ganti rugi Rp 90 ribu kepada Lenar. "Pondok ilalang itu kami nilai memang hanya seharga itu," kata Zachrul. Sementara itu, Tanur Tunus menyatakan kakaknya, Lenar, tak bersedia menerima ganti rugi itu. "Kami sudah lama diperlakukan sewenang-wenang. Semua harta pusaka itu mereka kuasai, kini harta kami pula yang mereka eksekusi. Akibat tindakan mereka, kini Kak Lenar terbaring sakit," ujarnya. Selain mengadu ke polisi, Tanur kini juga mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahmkamah Agung. Wakil Ketua MA, Purwoto S. Gandasubrata, membenarkan Lenar bisa mengajukan keberatan (verzet) dan menuntut ganti rugi atas eksekusi itu. "Jika obyek sengketa sudah dikuasai pihak yang menang, seharusnya tak ada lagi eksekusi," kata Purwoto Gandasubrata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini