SUATU ketika, di Kota Jahilia, Mahound ditegur Gibreel. Karena Tuhan marah pada nabi itu. Soalnya, Mahound hendak berkompromi dengan seterunya, dan tak mau lagi bermusuhan dengan masyarakat di sekitarnya. Maka, ia, atas bisikan setan, setuju menempatkan tiga dewa mendampingi Tuhan. Tuhan menganggap Mahound telah berlaku lancang. Bukankah Tuhan tidak mewahyukan demikian? Kisah Mahound dengan tiga dewa itu termuat dalam buku Ayat-Ayat Setan Umat Islam menganggap cerita itu adalah kisah Nabi Muhammad. Salman Rushdie, pengarang buku Ayat-Ayat Setan itu, sulit untuk memungkiri anggapan itu. Boleh jadi, Salman, seperti dikatakannya sendiri, tak bermaksud menghina Islam, agama yang juga dianutnya. Mungkin ia sekadar ingin bermain imajinasi. Tetapi imajinasi itu telah memancing marah banyak orang. Cerita Ayat-Ayat Setan jelas imajinasi Salman. Karena lahir dan tumbuh dalam lingkungan Islam, tentu ia mengenal dengan baik kisah mengenai Muhammad. Tak heran bila latar belakang dan sejumlah nama pelaku dalam Ayat-Ayat Setan terasa "dekat" dengan kehidupan di zaman Rasulullah. Entah suatu kebetulan atau tidak, kisah yang dituangkan Salam dalam hovel Ayat-Ayat Setan terlihat persamaannya dengan satu kontroversi sejarah Nabi. Menurut sebuah cerita yang tak dipercaya oleh orang-orang Islam, Muhammad dikabarkan pernah hendak memposisikan tiga patung yang disembah kaum kafir -- Lata, Uzza, dan Manata -- di samping Allah. Itu, menurut yang empunya cerita, dilakukan Muhammad agar berdamai dengan kaum kafir. Betulkah? Pengarang Mesir Muhammad Hussein Haekal mengulas khusus soal itu dalam bab yang dinamai gharaniq, pada buku Sejarah Hidup Muhammad. Dikisahkan, waktu Muhammad masih berada di Mekah, dan posisi umat Islam masih lemah, mereka dipojokkan, dicaci maki, bahkan disiksa kaum kerabat sendiri. Penderitaan itu memaksa sejumlah muslimin hijrah ke Abisina. Menurut salah satu versi, yang disadur bebas oleh Salman, Rasulullah sedih melihat penderitaan pengikut-pengikutnya itu. Terpikir olehnya, andai kata ia tidak menyampaikan ajaran Islam, masyarakat Mekah tentu tetap damai. Tak akan ada orang dianiaya. Tak akan orang yang menderita dan terpisah dari kerabatnya. Melihat penderitaan itu, Muhammad hendak menebus kesalahannya. Ia mendatangi kerumunan penduduk Mekah, lalu duduk bersama mereka, dan kemudian membacakan ayat-ayat Quran (Surat An-Najm, 19-20). Setelah membaca ayat yang menyebut nama Lata, Uzza, dan Manata, Nabi disebut-sebut telah menambahi ayat-ayat itu dengan kalimat sendiri: "Itulah gharaniq yang luhur, syafaat-nya amat diharapkan." Artinya: tiga nama itu bisa dijunjung tinggi, seperti Allah. Lalu Muhammad meneruskan bacaannya hingga selesai, dan bersujud. Orang-orang kafir pun ikut bersujud. "Ya, Muhammad, karena engkau menerima dewa-dewa kami, kami pun menerima engkau." Akibat kelakuan Muhammad (menurut versi ini, tentu saja) menambah-nambahi wahyu, Jibril pun datang. "Apakah aku telah menyampaikan dua kalimat (tambahan) itu kepadamu?" tanya Jibril. Muhammad menjawab, "Aku mengatakan sesuatu yang tidak difirmankan Allah." Ahli-ahli tafsir menolak keras kebenaran cerita itu. Tapi, menurut banyak ahli Barat yang menelaah Islam, peristiwa itu benar-benar terjadi. Alasan mereka: tak lama setelah masa itu, kaum muslimin hijrah kembali ke Mekah. Mustahil mereka berani pulang bila -- di Abisina -- tak mendengar kabar Muhammad telah berkompromi dengan orang kafir. Kesimpulan seperti itu antara lain diungkapkan oleh Sir William Muir, penulis buku Kehidupan Muhammad. Dasar lain yang suka dipakai kaum orientalis untuk memperkuat argumentasi mereka adalah Surat Al-Hajj ayat 52: "Jika ia (Nabi) punya keinginan, setan berbisik jahat dalam keinginan itu." Anggapan mereka, ini pernyataan Allah yang menyebut Rasul dibisiki setan dalam menerima wahyu. Termasuk dalam soal gharaniq, saat Muhammad membacakan Surat An-Najm. Muir memang mengambil rujukan dari kalangan Islam. Kisah gharaniq itu, menurut Haekal, termuat dalam kitab At'Tabaqat Al-Qubra karya Ibn Sa'd, dan Tarikh Ar-Rusul Wal Muluk dari At-Thabari. Sumber paling tua yang dirujuk Muir adalah dari Waqidi, yang hidup sekitar 200 tahun setelah Nabi. Tetapi banyak ulama memastikan kisah gharaniq itu sebagai isapan jempol belaka. Sama seperti cerita yang mengisahkan bahwa selagi kecil Muhammad pernah didatangi malaikat, dibelah dadanya, dan dicuci hatinya. "Itu kisah yang diselundupkan pada zaman Umayyah," kata Ustad Hasan Baharun. Kepala Perguruan Islam Al-Khairiyah, Bondowoso, Jawa Timur. Pendapat itu diperkuat oleh Muhjiddin Soewondo, dosen Sejarah Kebudayaan Islam pada IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Benar bahwa Surat An-Najm dibacakan Muhammad di hadapan kaum kafir. Tetapi pembacaan surat itu bukan untuk mengakui pemujaan terhadap Lata, Uzza, dan Manata, melainkan menyampaikan sindiran Allah pada pemujaan tersebut. Benar bahwa sesudah pembacaan surat tersebut semua yang hadir bersujud -- kecuali Ummayah bin Khalf. Mereka bersujud, menurut Maulana Muhammad Ali dalam Qur'an Suci, karena "begitu terkesan" oleh isi Surat An-Najm, bukan lantaran Muhammad berkompromi. Ayat tentang "bisikan setan" juga tak bisa dipertautkan dengan perkara gharaniq. Ayat itu turun delapan tahun kemudian. "Bisikan setan" yang disebut Allah hanya berhubungan dengan keinginan nabi untuk mengajarkan kebenaran. Bukan dalam soal turunnya wahyu. Kalau kisah gharaniq bukan fakta, mengapa At- Thabari melansirnya? Bukankah ia ahli tafsir ternama? Begitu juga halnya Ibn Sa'd dan Waqidi. At-Tabari, atau ahli tafsir yang lain, bisa saja salah. Bahkan Muir mengakui. At-Tabari "suka sembrono". Mengenai reputasi buruk Waqidi, Muhammad Ali menunjuk kitab Mizan al-i'tidal, yang mengupas kehidupan dan karakter tokoh-tokoh periwayat hadis, sebagai rujukan. Waqidi, menurut kitab itu, adalah orang yang, "tak dapat dipercaya dan suka membuat-buat Hadis." Mungkin saja perkara gharaniq itu bukan semata hasil "kesembronoan" At-Tabari atau bikinan Waqidi. Pada masa mereka hidup, kisah Israiliyat, cerita-cerita dari kalangan Yahudi, memang berkembang pesat. Termasuk cerita gharaniq. Ini dibenarkan ahli tafsir yang paling dirujuk umai, Ibnu Katsir. Apa pun cerita yang berkembang di masyarakat -- biarpun belum teruji kebelialannya -- mudah menyusup dalam kitab tafsir atau sejarah. Menurut ahli tafsir Quraisy Shihab, dosen pada IAIN Jakarta, jumlah hadis tentang gharaniq puluhan. Tetapi hanya ada tiga yang kuat. Itu pun hanya kuat dalam hal matan (kandungannya), bukan dalam hal sanad (urutan periwayatannya). "Ketiga hadis itu masih setingkat mursal," kata Shihab. Hadis demikian belum bisa dipercayai sebagai kebenaran. Bila banyak cerita musykil tertera dalam literatur Islam, diduga penyebabnya terlambatnya pengkodifikasian hadis dilakukan para sahabat Nabi. Bahkan pada masa 2Tabi'in (generasi setelah sahabat Nabi) kodifikasi hadis belum usai. Masih ada riwayat fakta dan bukan fakta yang bercampur aduk. Tak heran, ketika ahli-ahli tafsir terdahulu, termasuk Tabari, menggunakan riwayat-riwayat itu untuk menjelaskan sejarah atau menafsirkan Quran, dongeng pun bisa menyusup. "Aku tidak melihat riwayat itu bersandar pada cara yang sahih," kata Ibnu Katsir. Imam Bukhari -- periwayat hadis paling teliti dan hidup sebelum Tabari -- tak menyebut-nyebut gharaniq. Tetapi dongeng itu telah menjadi khasanah cerita Islam. Lalu Salman Rushdie mendongengkannya kembali dalam novel yang menghebohkan, dan laku.Zaim Uchrowi, Yulizar kasiri, Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini