Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Endang Wijaya, Ditahan Atau Indekos?

Status penahanan Endang Wijaya oleh Laksusda Jaya selama 1 tahun di kodam dipertanyakan oleh pembelanya, Azwar Karim, di pengadilan negeri jak-pus. (hk)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Endang Wijaya, Ditahan Atau Indekos?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PENAHANAN itu Pro Justita: demi keadilan, hukum atau undang-undang Tapi Endang Wijaya alias A Tjai, terdakwa dalam perkara BPO (Badan Pelaksana Otorita) Pluit yang dituduh merugikan keuangan negara sampai meliputi Rp 23 milyar, merasa tak diperlakukan demikian. A Tjai merasa mulai ditutup kebebasannya sejak September 1977. Yaitu sejak dicomot dan diperiksa oleh petugas Opstib. Namun, menurut Jaksa Anas Bhisma SH, yang menyeret A Tjai ke pengadilan dengan tuduhan manipulasi kredit bank, perpajakan dan korupsi yang seluruhnya disebut sebagai kejahatan subversi (TEMPO, Nasional, 30 September), kejaksaan baru merasa menahan pesakitannya sejak 24 Juli kemarin saja. Jadi, apa yang dialami A Tjai selama hampir setahun tanpa kebebasan? Tak ayal pembela Azwar Karim SH, yang mendampingi tertuduh, mendesakkan ini dalam sidang September kemarin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa hanya menjawab singkat. Sebelum perkara dilimpahkan ke kejaksaan, si A Tjai telah lebih dulu berurusan dan "ditahan Kodam". Maksudnya, sebagai tahanan Laksusda Jaya. Nah, "kalau begitu, apakah yang dilakukan Kodam terhadap tertuduh itu bukan penahanan namanya?" tukas Karim si pembela. Surat Edaran Jaksa tak hendak berdebat panjang. Sebab, seperti para ahli hukumpun telah lama maklum, Mahkamah Agung sendiri sejak awal tahun lalu bersikap tegas. Tak diakuinya segala macam penahanan lain, di luar dasar yang ditentukan kitab hukum pidana (KUHP) atau hukum acara (HIR). Begitu seperti tertuang jelas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung, No 2/1977, yang ditanda tangani Ketuanya, Prof. Oemar Seno Adji SH, 25 Pebruari 1977. Surat Edaran itu penting untuk memperhitungkan nasi seseorang terhukum. Sebab jika hakim memutuskan suatu hukuman penjara potong masa tahanan, yang dimaksud "adalah tahanan sementara yang yustisiil." Dan penahanan yang masuk "yustisiil", menurut undang-undang, ialah yang dilakukan polisi atau jaksa saja secara sah. Sayangnya, di Indonesia banyak penahanan yang dilakukan oleh bukan polisi, bukan jaksa. Sampai hansip-hansip pun sekarang ikut-ikutan main tahan, seperti kata Jaksa Agung Ali Said. Lalu, penahanan seperti yang dialami A Tjai, disebut penahanan macam apa? Itu masalahnya. Mahkamah Agung, seperti disebut dalam surat edarannya, memang mengakui ada bentuk penahanan lain. Melalui ketentuan khusus (TAP MPR 1973 dan Keppres 1974), lembaga Kopkamtib/Laksusda memang berwenang juga melakukan penahanan untuk perkara subversi, khususnya perkara G 30 S/PKI. Tapi, betapapun, Mahkamah Agung menganggap penahanan oleh lembaga tersebut "tidak merupakan tahanan sementara yustisiil". Apapun namanya, menurut pembela yang lain, Gani Djemat SH, akibatnya sama bagi pesakitan yang merasa terkurung kebebasannya. "Artinya," kata Gani Djemat, "ditahan oleh siapapun, hakekatnya, sejak hari pertama seseorang diambil dari rumahnya sudah merupakan mulainya masa penahanan." Jadi, lanjutnya, "penahanan oleh Kopkamtib pun, sebagai instansi pemerintah, harus disebut juga penahanan sementara yustisiil." Itu demi hak asasi pesakitan. Kalau tidak, seperti kata Azwar Karim "apakah ditahan di Kodam itu dianggap indekos?" Pendapat pembela pada dasarnya ternyata sefaham dengan pikiran salah seorang hakim yang ikut mengadili A Tjai. Henky Izmu Azhar SH, menganggap penahanan oleh Kopkamtib/Laksus itu layak dianggap sebagai penahanan yustisiil juga. Hakim memang berwenang menentukan penafsiran tentang suatu bentuk penahanan. Seperti kata seorang Hakim Agung, Palti Raja Siregar SH, "kebijaksanaan seorang hakim tidak terpengaruh oleh faktor apapun." Untuk memotong suatu masa hukuman pidana dengan lamanya seorang pesakitan menjalani tahanan sementara, "hakim tidak terikat, apakah penahanan itu sendiri yustisiil atau demi keamanan," kata Palti Raja Siregar. "Diminta Agar Hakim .... " Penafsiran memang tidak tertutup. Surat Edaran Mahkamah Agung tentang hal tersebut juga mengakui kewenangan hakim yang demikian. Tapi Surat Edaran itu toh menambahkan, bahwa "masalah tersebut masih problematis sifatnya." Jadi, apa boleh buat, penafsiran tertinggi dan final, nantinya, berada dalam tangan Mahkamah Agung jika perkara sampai ke tingkat kasasi. Tak heran bila Mahkamah Agung, terhadap kemungkinan para hakim bawahan menafsirkan penahanan "demi keamanan 8 ketertiban" itu sebagai penahanan yustisiil, telah pagi-pagi mengeluarkan peringatan. "Dimintakan kepada saudara-saudara hakim tidak mempergunakan penafsiran demikian . . . " Pertanyaan, jadinya, tetap saja tinggal pertanyaan. Jika Kopkamtib/Laksus mempunyai kewenangan menahan orang -- mengapa penahanannya tak boleh disebut "yustisiil"? Mengutip pernyataan Hakim Henky Izmu Azhar SH, "Kopkamtib itu 'kan lembaga negara --dan bukan perkumpulan sepakbola?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus