PENAHANAN itu Pro Justita: demi keadilan, hukum atau
undang-undang Tapi Endang Wijaya alias A Tjai, terdakwa dalam
perkara BPO (Badan Pelaksana Otorita) Pluit yang dituduh
merugikan keuangan negara sampai meliputi Rp 23 milyar, merasa
tak diperlakukan demikian.
A Tjai merasa mulai ditutup kebebasannya sejak September 1977.
Yaitu sejak dicomot dan diperiksa oleh petugas Opstib. Namun,
menurut Jaksa Anas Bhisma SH, yang menyeret A Tjai ke pengadilan
dengan tuduhan manipulasi kredit bank, perpajakan dan korupsi
yang seluruhnya disebut sebagai kejahatan subversi (TEMPO,
Nasional, 30 September), kejaksaan baru merasa menahan
pesakitannya sejak 24 Juli kemarin saja.
Jadi, apa yang dialami A Tjai selama hampir setahun tanpa
kebebasan? Tak ayal pembela Azwar Karim SH, yang mendampingi
tertuduh, mendesakkan ini dalam sidang September kemarin di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jaksa hanya menjawab singkat. Sebelum perkara dilimpahkan ke
kejaksaan, si A Tjai telah lebih dulu berurusan dan "ditahan
Kodam". Maksudnya, sebagai tahanan Laksusda Jaya. Nah, "kalau
begitu, apakah yang dilakukan Kodam terhadap tertuduh itu bukan
penahanan namanya?" tukas Karim si pembela.
Surat Edaran
Jaksa tak hendak berdebat panjang. Sebab, seperti para ahli
hukumpun telah lama maklum, Mahkamah Agung sendiri sejak awal
tahun lalu bersikap tegas. Tak diakuinya segala macam penahanan
lain, di luar dasar yang ditentukan kitab hukum pidana (KUHP)
atau hukum acara (HIR). Begitu seperti tertuang jelas dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung, No 2/1977, yang ditanda tangani
Ketuanya, Prof. Oemar Seno Adji SH, 25 Pebruari 1977.
Surat Edaran itu penting untuk memperhitungkan nasi seseorang
terhukum. Sebab jika hakim memutuskan suatu hukuman penjara
potong masa tahanan, yang dimaksud "adalah tahanan sementara
yang yustisiil." Dan penahanan yang masuk "yustisiil", menurut
undang-undang, ialah yang dilakukan polisi atau jaksa saja
secara sah.
Sayangnya, di Indonesia banyak penahanan yang dilakukan oleh
bukan polisi, bukan jaksa. Sampai hansip-hansip pun sekarang
ikut-ikutan main tahan, seperti kata Jaksa Agung Ali Said. Lalu,
penahanan seperti yang dialami A Tjai, disebut penahanan macam
apa?
Itu masalahnya. Mahkamah Agung, seperti disebut dalam surat
edarannya, memang mengakui ada bentuk penahanan lain. Melalui
ketentuan khusus (TAP MPR 1973 dan Keppres 1974), lembaga
Kopkamtib/Laksusda memang berwenang juga melakukan penahanan
untuk perkara subversi, khususnya perkara G 30 S/PKI. Tapi,
betapapun, Mahkamah Agung menganggap penahanan oleh lembaga
tersebut "tidak merupakan tahanan sementara yustisiil".
Apapun namanya, menurut pembela yang lain, Gani Djemat SH,
akibatnya sama bagi pesakitan yang merasa terkurung
kebebasannya. "Artinya," kata Gani Djemat, "ditahan oleh
siapapun, hakekatnya, sejak hari pertama seseorang diambil dari
rumahnya sudah merupakan mulainya masa penahanan." Jadi,
lanjutnya, "penahanan oleh Kopkamtib pun, sebagai instansi
pemerintah, harus disebut juga penahanan sementara yustisiil."
Itu demi hak asasi pesakitan. Kalau tidak, seperti kata Azwar
Karim "apakah ditahan di Kodam itu dianggap indekos?"
Pendapat pembela pada dasarnya ternyata sefaham dengan pikiran
salah seorang hakim yang ikut mengadili A Tjai. Henky Izmu Azhar
SH, menganggap penahanan oleh Kopkamtib/Laksus itu layak
dianggap sebagai penahanan yustisiil juga.
Hakim memang berwenang menentukan penafsiran tentang suatu
bentuk penahanan. Seperti kata seorang Hakim Agung, Palti Raja
Siregar SH, "kebijaksanaan seorang hakim tidak terpengaruh oleh
faktor apapun." Untuk memotong suatu masa hukuman pidana dengan
lamanya seorang pesakitan menjalani tahanan sementara, "hakim
tidak terikat, apakah penahanan itu sendiri yustisiil atau demi
keamanan," kata Palti Raja Siregar.
"Diminta Agar Hakim .... "
Penafsiran memang tidak tertutup. Surat Edaran Mahkamah Agung
tentang hal tersebut juga mengakui kewenangan hakim yang
demikian. Tapi Surat Edaran itu toh menambahkan, bahwa "masalah
tersebut masih problematis sifatnya." Jadi, apa boleh buat,
penafsiran tertinggi dan final, nantinya, berada dalam tangan
Mahkamah Agung jika perkara sampai ke tingkat kasasi.
Tak heran bila Mahkamah Agung, terhadap kemungkinan para hakim
bawahan menafsirkan penahanan "demi keamanan 8 ketertiban" itu
sebagai penahanan yustisiil, telah pagi-pagi mengeluarkan
peringatan. "Dimintakan kepada saudara-saudara hakim tidak
mempergunakan penafsiran demikian . . . "
Pertanyaan, jadinya, tetap saja tinggal pertanyaan. Jika
Kopkamtib/Laksus mempunyai kewenangan menahan orang -- mengapa
penahanannya tak boleh disebut "yustisiil"? Mengutip pernyataan
Hakim Henky Izmu Azhar SH, "Kopkamtib itu 'kan lembaga negara
--dan bukan perkumpulan sepakbola?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini