Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dianggarkan Atau Dari Dana Taksis

Kebijaksanaan gubernur DKI, Tjokropranolo, untuk meninjau penyaluran dana bagi lembaga bantuan hukum DKI. Dana untuk LBH tidak dikeluarkan lagi dari anggaran belanja daerah, tapi dari dana taktis saja. (hk)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELAYANAN hukum bagi masyarakat bakal meningkat. Harapan begitu terasa setelah pidato Presilen Soeharto di muka DPR RI 16 Agustus lalu dan ketika menyambut Nuzul Al Qur'an belum lama ini. Ketika itu Kepala Negara berbicara tentang "pemerataan keadilan" dan "bantuan hukum" bagi warganegara yang tidak mampu. Bagi rakyat jelata di Jakarta, tentulah tak begitu sulit mewujudkan hal itu. Mereka boleh berbondong-bondong menuju kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta di Jalan Kebon Binatang atau Klinik Hukum di Jalan Sabang. Terutama LBH, pimpinan Adnan Buyung Nasution Sll -- lembaga yang membantu masyarakat buta hukum atau yang tak mampu membayar advokat atau pokrol sekalipun -- cukup mempunyai tenaga pembela bertitel SH yang memadai. Di Solo memang ada LBH yang diurus oleh advokat kawakan Sumarno P. Wirjanto SH. Atau di Medan, Semarang dan Surabaya juga ada LBH yang lumayan aktivitasnya. Di beberapa ibukota propinsi lain terdapat pula lembaga bantuan hukum milik para advokat atau biro konsultasi milik fakultas hukum. Tapi semuanya boleh merasa iri terhadap LBH Jakarta yang makin membengkak kegiatannya. Sejak dibuka resmi sejak April 1971, dengan subsidi tetap dari pemerintah DKI Jakarta Rp 300 ribu sebulan, Adnan Buyung Nasution tak usah pusing lagi memikirkan biaya rutin. Bantuan ini terus mengalir. Jumlahnya makin meningkat dan selalu tercantum dalam APBD. Dalam anggaran 1978/1979 ini DKI menetapkan dana rutin LBH Rp 30 jura setahun. Gebrakan LBH pertama, membelarakyat yang digusur di proyek Taman Mini Indonesia lndah, cukup mengangkat namanya. Belum lagi soal Simpruk dan lain-lain lagi. Tapi minggu lalu Adnan Buyung Nasution murung. Kebijaksanaan baru Gubernur Tjokropranolo untuk meninjau kembali penyaluran dana bagi lembaga dan badan yang bergerak dan dikenal masyarakat, cukup mengejutkan. Ada yang beruntung dengan kebijaksanaan baru gubernur ini. Sebab misalnya Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta maupun Lembaga Pendidikan Kebudayaan Jakarta, akan mendapat kenaikan jumlah subsidi. Tapi Dewan Harian Nasional Angkatan '45, kabarnya akan kehilangan subsidi. Semua ini karena kebijaksanaan Bang Noli yang hanya akan lebih memperhatikan organisasi itu di tingkat daerah saja. Buyung sendiri belum tahu pasti apa dan bagaimana kebijaksanaan gubernur terhadap LBH. Hanya, menurut Harian Kompas minggu lalu, Gubernur menyatakan tak hendak menghapus sama sekali bantuan pemerintah daerah buat LBH. Namun, katanya, dana bagi lembaga itu tak akan dikeluarkan lagi dari mata anggaran belanja daerah. Cukuplah dari kantong dana taktis gubernur saja. Gaji Alasannya tak begitu jelas. Sumber harian itu menyebut-nyebut gaji para pembela. Katanya, gaji seorang Direktur LBH, ada yang sampai Rp 225 ribu. Jumlah sekian itu memang jauh di atas gaji seorang pegawai bidang hukum DKI. Juga disebut-sebut soal kejadian LBH pernah menolak seorang pencari keadilan yang datang kepadanya. Buyung Nasution kali ini tak banyak Komentar seperti biasanya. "Untuk kelangsungan hidup LBH," katanya, "dana sebaiknya tetap dikeluarkan melalui anggaran belanja daerah." LBH akan merasa mempunyai gantungan kuat untuk anggaran rutinnya. Pun, kata Buyung, "hal itu akan memberikan kesan yang baik bagi kita semua." Buyung pun bercerita. LBH, katanya, sudah melangkah jauh sejak pemerintah DKI Jakarta menganggap perlu hadirnya lembaga tersebut. "Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan hukum yang layak bagi warganya." Dan dengan adanya LBH, yang disokongnya, "sebagian tugas pemerintah tersebut sudah dilaksanakan LBH." Karenanya, "sudah sewajarnya jika pemerintah menambah dana dan memperkuat LBH, agar lembaga dapat lebih giat bekerja membantu pemerintah melayani masyarakat." Buyung menyangkal soal gaji direktur yang sampai Rp 225 ribu itu. Dia sendiri, sebagai salah satu sponsor LBH, tentu tak makan gaji. Dari subsidi yang diterima Rp 2,5 juta sebulan, untuk tahun anggaran 1978/1979, LBH memang mengajukan kenaikan dana sampai Rp 4 juta sebulan. Jika seluruh rencana anggaran itu disetujui DKI, maka gaji pembela seperti Minang Warman SH, yang menjabat sebagai salah seorang direktur lembaga, memang akan mencapai Rp 250 ribu. ltu baru rencana. Nyatanya tahun ini DKI tak menaikkan dananya bagi LBH. Subsidi ditentukan Rp 30 juta sebulan, sama seperti anggaran sebelumnya. Jadi, menurut Minang, gaji tertinggi seorang pembela tak jadi Rp 250 ribu. Hanya Rp 175 ribu. Pembela lainnya -- LBH punya 15 pembela termasuk Buyung sendiri -- menerima antara Rp 80 ribu sampai Rp 130 ribu. "Menurut saya," kata Minang, "gaji sekian itu layak saja." Lembaga, walaupun tak ingin pembelanya terlalu betah nongkrong di LBH, "bukankah LBH ini hanya tempat latihan saja," kata Minang, "tapi jangan sampai mereka juga kelaparan, mata duitan dan sampai minta-minta kepada kliennya." Untuk keperluan insidentil, seperti penataran, mengirim utusan ke seminar di luar negeri, LBH juga mendapat bar.tuan dari lembaga bantuan seperti Ford atau Asia Foundation. NOVIB, lembaga bantuan keuangan non agama dari Belanda, baru-baru ini membantu LBH untuk memperoleh kantor yang layak. "Saya tidak hipokrit," kata Buyung, "untuk bekerja layak kita harus mendapat fasilitas yang layak juga." LBH pernah mengusulkan tempat di daerah Kuningan. Tapi NOVIB, yang akan membiayai 75%, tak menyetujui. Alasannya, tak layak LBH berkantor di suatu daerah, bekas rumah-rumah rakyat tergusur dari sana. Kemudian LBH menunjuk sebuah gedung di daerah Menteng, di muka bioskop Megaria. Hampir saja lembaga yang akan membantu keuangannya itu menolak. Alasannya, LBH itu tak layak berada di daerah elit, jauh dari rakyat. Tapi Buyung berhasil meyakinkan, bahwa daerah Menteng yang dipilihnya itu, bukan termasuk yang kelas I. "Lagi pula untuk membantu rakyat kecil yang miskin, kita tak perlu juga ikut compang-camping" kata Buyung, "yang penting kejujuran dan keikhlasan kita saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus