PELAYANAN hukum bagi masyarakat bakal meningkat. Harapan begitu
terasa setelah pidato Presilen Soeharto di muka DPR RI 16
Agustus lalu dan ketika menyambut Nuzul Al Qur'an belum lama
ini. Ketika itu Kepala Negara berbicara tentang "pemerataan
keadilan" dan "bantuan hukum" bagi warganegara yang tidak mampu.
Bagi rakyat jelata di Jakarta, tentulah tak begitu sulit
mewujudkan hal itu. Mereka boleh berbondong-bondong menuju
kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta di Jalan Kebon
Binatang atau Klinik Hukum di Jalan Sabang. Terutama LBH,
pimpinan Adnan Buyung Nasution Sll -- lembaga yang membantu
masyarakat buta hukum atau yang tak mampu membayar advokat atau
pokrol sekalipun -- cukup mempunyai tenaga pembela bertitel SH
yang memadai.
Di Solo memang ada LBH yang diurus oleh advokat kawakan Sumarno
P. Wirjanto SH. Atau di Medan, Semarang dan Surabaya juga ada
LBH yang lumayan aktivitasnya. Di beberapa ibukota propinsi lain
terdapat pula lembaga bantuan hukum milik para advokat atau biro
konsultasi milik fakultas hukum.
Tapi semuanya boleh merasa iri terhadap LBH Jakarta yang makin
membengkak kegiatannya. Sejak dibuka resmi sejak April 1971,
dengan subsidi tetap dari pemerintah DKI Jakarta Rp 300 ribu
sebulan, Adnan Buyung Nasution tak usah pusing lagi memikirkan
biaya rutin. Bantuan ini terus mengalir. Jumlahnya makin
meningkat dan selalu tercantum dalam APBD. Dalam anggaran
1978/1979 ini DKI menetapkan dana rutin LBH Rp 30 jura setahun.
Gebrakan LBH pertama, membelarakyat yang digusur di proyek Taman
Mini Indonesia lndah, cukup mengangkat namanya. Belum lagi soal
Simpruk dan lain-lain lagi.
Tapi minggu lalu Adnan Buyung Nasution murung. Kebijaksanaan
baru Gubernur Tjokropranolo untuk meninjau kembali penyaluran
dana bagi lembaga dan badan yang bergerak dan dikenal
masyarakat, cukup mengejutkan. Ada yang beruntung dengan
kebijaksanaan baru gubernur ini. Sebab misalnya Dewan Kesenian
Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta maupun Lembaga Pendidikan
Kebudayaan Jakarta, akan mendapat kenaikan jumlah subsidi. Tapi
Dewan Harian Nasional Angkatan '45, kabarnya akan kehilangan
subsidi. Semua ini karena kebijaksanaan Bang Noli yang hanya
akan lebih memperhatikan organisasi itu di tingkat daerah saja.
Buyung sendiri belum tahu pasti apa dan bagaimana kebijaksanaan
gubernur terhadap LBH. Hanya, menurut Harian Kompas minggu lalu,
Gubernur menyatakan tak hendak menghapus sama sekali bantuan
pemerintah daerah buat LBH. Namun, katanya, dana bagi lembaga
itu tak akan dikeluarkan lagi dari mata anggaran belanja daerah.
Cukuplah dari kantong dana taktis gubernur saja.
Gaji
Alasannya tak begitu jelas. Sumber harian itu menyebut-nyebut
gaji para pembela. Katanya, gaji seorang Direktur LBH, ada yang
sampai Rp 225 ribu. Jumlah sekian itu memang jauh di atas gaji
seorang pegawai bidang hukum DKI. Juga disebut-sebut soal
kejadian LBH pernah menolak seorang pencari keadilan yang datang
kepadanya.
Buyung Nasution kali ini tak banyak Komentar seperti biasanya.
"Untuk kelangsungan hidup LBH," katanya, "dana sebaiknya tetap
dikeluarkan melalui anggaran belanja daerah." LBH akan merasa
mempunyai gantungan kuat untuk anggaran rutinnya. Pun, kata
Buyung, "hal itu akan memberikan kesan yang baik bagi kita
semua." Buyung pun bercerita.
LBH, katanya, sudah melangkah jauh sejak pemerintah DKI Jakarta
menganggap perlu hadirnya lembaga tersebut. "Pemerintah
berkewajiban memberikan pelayanan hukum yang layak bagi
warganya." Dan dengan adanya LBH, yang disokongnya, "sebagian
tugas pemerintah tersebut sudah dilaksanakan LBH." Karenanya,
"sudah sewajarnya jika pemerintah menambah dana dan memperkuat
LBH, agar lembaga dapat lebih giat bekerja membantu pemerintah
melayani masyarakat."
Buyung menyangkal soal gaji direktur yang sampai Rp 225 ribu
itu. Dia sendiri, sebagai salah satu sponsor LBH, tentu tak
makan gaji. Dari subsidi yang diterima Rp 2,5 juta sebulan,
untuk tahun anggaran 1978/1979, LBH memang mengajukan kenaikan
dana sampai Rp 4 juta sebulan. Jika seluruh rencana anggaran itu
disetujui DKI, maka gaji pembela seperti Minang Warman SH, yang
menjabat sebagai salah seorang direktur lembaga, memang akan
mencapai Rp 250 ribu. ltu baru rencana. Nyatanya tahun ini DKI
tak menaikkan dananya bagi LBH. Subsidi ditentukan Rp 30 juta
sebulan, sama seperti anggaran sebelumnya. Jadi, menurut Minang,
gaji tertinggi seorang pembela tak jadi Rp 250 ribu. Hanya Rp
175 ribu. Pembela lainnya -- LBH punya 15 pembela termasuk
Buyung sendiri -- menerima antara Rp 80 ribu sampai Rp 130 ribu.
"Menurut saya," kata Minang, "gaji sekian itu layak saja."
Lembaga, walaupun tak ingin pembelanya terlalu betah nongkrong
di LBH, "bukankah LBH ini hanya tempat latihan saja," kata
Minang, "tapi jangan sampai mereka juga kelaparan, mata duitan
dan sampai minta-minta kepada kliennya."
Untuk keperluan insidentil, seperti penataran, mengirim utusan
ke seminar di luar negeri, LBH juga mendapat bar.tuan dari
lembaga bantuan seperti Ford atau Asia Foundation. NOVIB,
lembaga bantuan keuangan non agama dari Belanda, baru-baru ini
membantu LBH untuk memperoleh kantor yang layak. "Saya tidak
hipokrit," kata Buyung, "untuk bekerja layak kita harus mendapat
fasilitas yang layak juga." LBH pernah mengusulkan tempat di
daerah Kuningan. Tapi NOVIB, yang akan membiayai 75%, tak
menyetujui. Alasannya, tak layak LBH berkantor di suatu daerah,
bekas rumah-rumah rakyat tergusur dari sana.
Kemudian LBH menunjuk sebuah gedung di daerah Menteng, di muka
bioskop Megaria. Hampir saja lembaga yang akan membantu
keuangannya itu menolak. Alasannya, LBH itu tak layak berada di
daerah elit, jauh dari rakyat. Tapi Buyung berhasil meyakinkan,
bahwa daerah Menteng yang dipilihnya itu, bukan termasuk yang
kelas I. "Lagi pula untuk membantu rakyat kecil yang miskin,
kita tak perlu juga ikut compang-camping" kata Buyung, "yang
penting kejujuran dan keikhlasan kita saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini