Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gadis Bunting, Sebuah Diskusi

Diksusi panel membahas masalah hamil sebelum nikah ditinjau dari aspek sosial dan hukum, diselenggarakan oleh pusat studi kriminologi fh-uii, yogya. lbh yogya kewalahan menghadapi pengaduan. (hk)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN dihamili, dan sang pacar lari: Apakah hukum bisa menjaring lekaki gombal ini? Itulah pertanyaan yang mengusik LBH Yogyakarta. "Soalnya, kami sering sekali menhadapi kasus semacam itu," ucap Artidjo Alkostar, direktur LBH Yogya. Kantornya di Jalan Agus Salim acap kedatangan perempuan berumur 17-23 tahun. Mereka berstatus pelajar atau mahasiswi, "datang dengan langkah terhuyung-huyung, dan segera tangisnya meledak," kata Artidjo. Sejak Juli sampai November 1983 saja menurut Artidjo, ada 10 gadis hamil yang mengadu ke LBH. Dalam kasus-kasus lain LBH segera turun tangan seraya berkaok, tapi pada kasus gadis "berisi" ini LBH menjadi diam. Sebab, tak ada jalur hukum yang bisa ditempuh untuk membela klien seperti itu. "Hukum tidak mengatur masalah bersetubuh di luar nikah buat orang dewasa," tutur Artidjo, yang juga pembantu dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Dengan alasan semacam itulah, pekan lalu, Pusat Studi Krimiologi FH-UII menyelenggarakan diskusi panel. Mereka membahas soal hamil sebelum nikah ditinjau dari aspek sosial dan hukum. "Ini masalah serius. Di Yogya banyak terjadi," kata Rusli Muhamad, ketua penyelenggara. Jumlah yang mengadu ke LBH memang tidak terlampau banyak karena banyak korban yang malu melaporkan aib. Uniknya, diskusi kali ini selain dihadiri ahli-ahli hukum, psikologi, agama dan kedokteran, tak ketinggalan pemilik tempat indekos. Yang belakangan ini, dalam diskusi, gencar dituduh terlalu memberi kebebasan pada anak-anak yang tinggal menumpang di rumah mereka. Secara ketus, Hasan Basri, psikolog, bakkan menganjurkan pada pemerintah agar menutup tempat-tempat indekos yang tidak diawasi pemiliknya. "Tempat semacam ini membuka peluang bagi mahasiswa berbuat cabul dengan pacarnya," kata dosen Fakultas Psikologi UGM ini. Tudingan Hasan Basri langsung mendapat sambutan hangat kebanyakan peserta. Sebab, seperti dicatat LBH Yogya, baik yang lelaki maupun perempuan yang dihamili adalah para pendatang. Kedua belah pihak anak pondokan. Tapi benarkah mereka "main" di tempat mondok? "Untuk 'gituan', banyak tempat bisa dipakai," kata seorang pemilik rumah indekos dalam diskusi itu. Bagi LBH, yang jadi soal bukan di mana perbuatan mesum itu dilakukan. Tapi bagaimana secara hukum bisa membela korban. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur delik susila, menurut Artidjo, baru terbatas pada perkosaan (285 KHUP) dan perzinahan (284 KUHP) Ada juga hal bersetubuh dengan pasangan di bawah umur (287 KUHP) dan pasangan dalam keadaan pingsan (286 KUHP). "Pasalpasal lain hanya mengatur sekitar pelacuran," kata Artidjo. Jadi, dalam kasus "janji kawin", secara yuridis si pria tidak dapat dijerat. Dihadang dengan pasal perzinahan, menurut Artidjo ia juga lolos. Sebab, salah satu di antara mereka belum ada yang berstatus nikah, seperti yang disyaratkan pasal itu. Dikenai pasal perkosaan, apalagi, "perbuatan mereka 'kan atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur paksaan," ujar Artidjo memberi alasan. Dengan kata lain, hukum belum mampu mengatasi hal bunting sebelum nikah. Sebelum ada aturan hukum yang jelas, menurut LBH, pelaku yang tidak bertanggung jawab sebaiknya dikenai sanksi berdasarkan hukum adat atau agama sesuai dengan yang dianut pelaku. Seorang peserta diskusi lainnya mengusulkan agar "perzinahan" dalam pasal 284 KUHP itu disamakan dengan kata perzinahan dalam hukum Islam. Dalam lslam, katanya, yang disebut zinah tidak terbatas pada orang yang sudah berkeluarga. Alterrlatif yang paling laris adalah mengikuti penafsiran Bismar Siregar. Sebab, dalam kasus "janji kawin", ada unsur penipuan. Jadi, pelaku bisa dihantam pasal 378 KUHP. Bismar Siregar, ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, menafsirkan "barang" wanita termasuk jasa, sehingga memperluas arti penipuan pada pasal 378 KUHP (TEMPO, 15 Oktober). Diskusi menyimpulkan, KUHP harus bisa menjaring kasus penipuan seperti yang dirumuskan Bismar. Kalau tidak, bisa menimbulkan rentetan tindak pidana. "Si perempuan bisa membunuh bayinya. Sudah terbukti, banyak perempuan bunuh diri karena hamil di luar nikah," ujar Hasan Basri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus