"BAYI" undang-undang perpajakan tampaknya akan lahir enan
mulus. Sudah dua tahap - Pemandangan Umum dan Panitia Khusus -
dilalui rancangannya (RUU). Dan, awal pekan ini, 47 anggota
Pansus berbondong-bondong menuju Hotel Horison, di Teluk
Jakarta, untuk memasuki tahapan Panitia Kerja.
RUU Perpajakan - RUU Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah- menurut
Menteri Keuangan Radius Prawiro kepada TEMPO, dibuat oleh tim
yang dipimpin Direktur Jenderal Pajak. Kemudian, dengan SK
Menteri Keuangan, Dirjen Pajak membentuk tim lain, yang terbagi
dalam beberapa kelompok kerja. Setelah enam bulan tim itu
bekerja, kemudian dibicarakan lagi oleh tim Menteri Ekuin: Ali
Wardhana, Soemarlin, Moerdiono, Radius Prawiro, serta dibantu
Widjojo Nitisastro (TEMPO, Laporan Utama, 19 November 1983).
Namun, Rochmat Soemitro, guru besar di Unpad dan staf ahli BPHN,
menganggap para penyusun RUU itu "tidak menguasai situasi dan
kondisi di Indonesia." Ia sendiri menyetujui rencana pemerintah
menyederhanakan UU Perpajakan. Tetapi hendaknya dihilangkan
kesan tergesa-gesa "dalam menyusun perundang-undangan."
Rochmat lantas menunjuk pengalaman dengan pelaksanaan Menghitung
Pajak Sendiri (MPS), yang ditetapkan bersama Menghitung Pajak
Orang (MPO) dalam UU nomor 1 tahun 1967. "Hasilnya," kata
Rochmat, "penghasilan pemerintah dari sektor itu berkurang 50
persen." Karena itu, pemerintah terpaksa mengeluarkan
undang-undang baru, mengubah MPS itu menjadi MPS lonesome.
Artinya, pemerintah sendiri yang menentukan jumlah pajak MPS
yang harus dibayar para wajib pajak.
Sistem self assessment yang mulai diterapkan kembali membutuhkan
"kesadaran pihak aparat pajak itu sendiri maupun para wajib
pajak," kata Parulian Silalahi, anggota Pansus RUU Perpajakan.
"Sebab, banyak di antara kita yang punya kebanggaan bila tidak
membayar pajak kepada negara," katanya lagi. Kemudian ia
mensinyalir ketentuan perpajakan baru ini memungkinkan adanya
"kompromi" antara petuas pajak dan wajib pajak. "Justru di
sinilah timbul kesulitan untuk mengontrolnya," ujar Parulian.
Sementara itu, Jaksa Agung Ismail Saleh, dalam rapat kerja
dengan Komisi III DPR, menganggap sanksi pidana pada RUU
Perpajakan belum memadai. Menurut Ismail Saleh, konsideran dan
atau beberapa pasal RUU itu perlu dikaitkan dengan UU nomor 3
tahun 1971, tentang pemberantasan korupsi, selain harus
memperhatlkan yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam perkara
korupsi.
Seperti diberitakan, Mahkamah Agung RI pernah menolak
permohonan kasasi PT Tobusco dan PT Kalimantan Steel yang
terlibat dalam kasus manipulasi pajak.
Beberapa anggota Pansus yang dihubungi tidak berkeberatan dengan
masuknya aparat pajak sebagai penyidik. "Justru yang lebih kami
inginkan adalah adanya majelis perpajakan yang bersikap
independen," kata seorang anggota Pansus dari fraksi terbesar di
DPR. Dengan begitu, pihak petugas pajak yang bertindak sebagai
penyidik tidak akan "berbuat semau-maunya." Wajib pajak dapat
mengadukan nasibnya kepada majelis perpajakan ini. Menurut
seorang anggota Pansus lainnya,"pihak pemerintah tampaknya sudah
menyetujui adanya majelis perpajakan ini. Tinggal merembukkan
pengertian independen itu."
Tentang materi RUU, Rochmat Soemitro melihat beberapa kelemahan.
Misalnya soal warisan. "Dalam RUU tidak tercantum batas waktu
yang pasti," kata Rochmat. Hanya disebutkan, "warisan yang belum
terbagi dianggap sebagai wajib pajak." Ia juga tidak setuju jika
"subyek pajak yang tidak termasuk subyek dalam negeri adalah
subyek pajak luar negeri." Kemudian pada pasal 4 RUU PPh, "tidak
dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan manfaat
ekonomis."
Akhirnya, menurut Rochmat, ketidaktegasan dalam RUU Perpajakan
itu, selain disebabkan kurang penguasaan legal drafting para
pembuat, juga karena "para penyusun tidak memahami bahasa
hukum."
Perlukah UU Pokok Perpajakan? Tampaknya hal ini mustahil walau
dua fraksi di DPR sempat menyuarakan keinginan itu di hadapan
pemerintah pada kesempatan pemandangan umum. "Waktunya terlalu
singkat. Lagi pula terlalu banyak materi dan pokok persoalan
yang harus dibahas," kata seorang anggota Pansus. Namun,
agaknya, pemerintah tidak memasang harga mati. "Di antara tiga
RUU yang diajukan, RUU Ketentuan Umum Perpajakan tampaknya akan
diubah judulnya. Dan nantinya RUU itu akan bersifat seperti UU
Pokok Perpajakan," kata anggota pansus tadi.
Sebenarnya, "kalau kita memiliki UU Pokok Perpajakan, maka UU
Perpajakan lainnya cukup hanya mencantumkan obyek, subyek, dan
tarif," kata Rochmat, yang pernah menyusun RUU Pajak atas
pesanan BPHN. Masalahnya sekarang, seperti kata Rochmat lagi,
"apakah struktur dan organisasi aparat pajak sudah siap?
Meningkatkan pajak bukan hanya mengubah peraturan, tapi juga
sikap mental pejabat-pejabatnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini