Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukan Harga Mati, 'Kan?

Pembahasan ruu perpajakan, rochmat soemitro, staf ahli bphn, menganggap ada beberapa kelemahan dalam ruu tersebut. (hk)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"BAYI" undang-undang perpajakan tampaknya akan lahir enan mulus. Sudah dua tahap - Pemandangan Umum dan Panitia Khusus - dilalui rancangannya (RUU). Dan, awal pekan ini, 47 anggota Pansus berbondong-bondong menuju Hotel Horison, di Teluk Jakarta, untuk memasuki tahapan Panitia Kerja. RUU Perpajakan - RUU Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah- menurut Menteri Keuangan Radius Prawiro kepada TEMPO, dibuat oleh tim yang dipimpin Direktur Jenderal Pajak. Kemudian, dengan SK Menteri Keuangan, Dirjen Pajak membentuk tim lain, yang terbagi dalam beberapa kelompok kerja. Setelah enam bulan tim itu bekerja, kemudian dibicarakan lagi oleh tim Menteri Ekuin: Ali Wardhana, Soemarlin, Moerdiono, Radius Prawiro, serta dibantu Widjojo Nitisastro (TEMPO, Laporan Utama, 19 November 1983). Namun, Rochmat Soemitro, guru besar di Unpad dan staf ahli BPHN, menganggap para penyusun RUU itu "tidak menguasai situasi dan kondisi di Indonesia." Ia sendiri menyetujui rencana pemerintah menyederhanakan UU Perpajakan. Tetapi hendaknya dihilangkan kesan tergesa-gesa "dalam menyusun perundang-undangan." Rochmat lantas menunjuk pengalaman dengan pelaksanaan Menghitung Pajak Sendiri (MPS), yang ditetapkan bersama Menghitung Pajak Orang (MPO) dalam UU nomor 1 tahun 1967. "Hasilnya," kata Rochmat, "penghasilan pemerintah dari sektor itu berkurang 50 persen." Karena itu, pemerintah terpaksa mengeluarkan undang-undang baru, mengubah MPS itu menjadi MPS lonesome. Artinya, pemerintah sendiri yang menentukan jumlah pajak MPS yang harus dibayar para wajib pajak. Sistem self assessment yang mulai diterapkan kembali membutuhkan "kesadaran pihak aparat pajak itu sendiri maupun para wajib pajak," kata Parulian Silalahi, anggota Pansus RUU Perpajakan. "Sebab, banyak di antara kita yang punya kebanggaan bila tidak membayar pajak kepada negara," katanya lagi. Kemudian ia mensinyalir ketentuan perpajakan baru ini memungkinkan adanya "kompromi" antara petuas pajak dan wajib pajak. "Justru di sinilah timbul kesulitan untuk mengontrolnya," ujar Parulian. Sementara itu, Jaksa Agung Ismail Saleh, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, menganggap sanksi pidana pada RUU Perpajakan belum memadai. Menurut Ismail Saleh, konsideran dan atau beberapa pasal RUU itu perlu dikaitkan dengan UU nomor 3 tahun 1971, tentang pemberantasan korupsi, selain harus memperhatlkan yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam perkara korupsi. Seperti diberitakan, Mahkamah Agung RI pernah menolak permohonan kasasi PT Tobusco dan PT Kalimantan Steel yang terlibat dalam kasus manipulasi pajak. Beberapa anggota Pansus yang dihubungi tidak berkeberatan dengan masuknya aparat pajak sebagai penyidik. "Justru yang lebih kami inginkan adalah adanya majelis perpajakan yang bersikap independen," kata seorang anggota Pansus dari fraksi terbesar di DPR. Dengan begitu, pihak petugas pajak yang bertindak sebagai penyidik tidak akan "berbuat semau-maunya." Wajib pajak dapat mengadukan nasibnya kepada majelis perpajakan ini. Menurut seorang anggota Pansus lainnya,"pihak pemerintah tampaknya sudah menyetujui adanya majelis perpajakan ini. Tinggal merembukkan pengertian independen itu." Tentang materi RUU, Rochmat Soemitro melihat beberapa kelemahan. Misalnya soal warisan. "Dalam RUU tidak tercantum batas waktu yang pasti," kata Rochmat. Hanya disebutkan, "warisan yang belum terbagi dianggap sebagai wajib pajak." Ia juga tidak setuju jika "subyek pajak yang tidak termasuk subyek dalam negeri adalah subyek pajak luar negeri." Kemudian pada pasal 4 RUU PPh, "tidak dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan manfaat ekonomis." Akhirnya, menurut Rochmat, ketidaktegasan dalam RUU Perpajakan itu, selain disebabkan kurang penguasaan legal drafting para pembuat, juga karena "para penyusun tidak memahami bahasa hukum." Perlukah UU Pokok Perpajakan? Tampaknya hal ini mustahil walau dua fraksi di DPR sempat menyuarakan keinginan itu di hadapan pemerintah pada kesempatan pemandangan umum. "Waktunya terlalu singkat. Lagi pula terlalu banyak materi dan pokok persoalan yang harus dibahas," kata seorang anggota Pansus. Namun, agaknya, pemerintah tidak memasang harga mati. "Di antara tiga RUU yang diajukan, RUU Ketentuan Umum Perpajakan tampaknya akan diubah judulnya. Dan nantinya RUU itu akan bersifat seperti UU Pokok Perpajakan," kata anggota pansus tadi. Sebenarnya, "kalau kita memiliki UU Pokok Perpajakan, maka UU Perpajakan lainnya cukup hanya mencantumkan obyek, subyek, dan tarif," kata Rochmat, yang pernah menyusun RUU Pajak atas pesanan BPHN. Masalahnya sekarang, seperti kata Rochmat lagi, "apakah struktur dan organisasi aparat pajak sudah siap? Meningkatkan pajak bukan hanya mengubah peraturan, tapi juga sikap mental pejabat-pejabatnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus