SATU per satu pengunjung sidang bekas wali kota Sabang segera
meninggalkan ruangan, kecele, tak lama setelah sidang 17
November silam dibuka dan hakim ketua mengetukkan palunya,
"Sidang ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan."
Majelis hakim, yang dipimpin Asmar Ismail, S.H., punya alasan
untuk memutuskan itu. Bermula dari eksepsi tim pembela terhadap
dakwaan jaksa. Pembela dari FH Universitas Syiah Kuala, Abdullah
Ahmad, meminta agar dakwaan Jaksa Soeharto, S.H. dibatalkan, dan
menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Sabang tidak berwenang
mengadili. Alasannya, Yusuf Walad semula adalah kepala daerah.
Maka, seharusnya terdakwa diajukan dalam sidang peradilan
administrasi. Untuk itu, pembela mengutip pasal 35
Undang-undang Nomor 5/1974, mengenai kepala daerah yang
melalaikan tugasnya.
Pembelaan ini ternyata ditolak majelis hakim. Pembela lantas
mengajukan perlawanan, verset, ke Pengadilan Tinggi, tanpa lupa
meminta agar sidang ditunda sampai ada keputusan. Majelis
mengabulkan, maka sidan Perkara tindak pidana korupsi setengah
milyar rupiah itu ditunda. Asmar menyebutkan, penundaan itu
untuk melindungi hak-hak terdakwa, juga lantaran perlawanan itu
menyangkut wewenang Pengadilan Negeri Sabang untuk mengadili.
"Kalau hanya menyangkut dakwaan saja, sidang saya teruskan,"
ucap Hakim Asmar.
Penundaan sidang itu tak hanya membuat pengunjung kecewa. Jaksa
Soeharto menggerutu, "Hanya mengulur-ulur waktu saja." Menurut
dia, sidang tidak perlu ditunda hanya untuk menunggu keputusan
pengadilan tinggi mengenai perlawanan yang diajukan pembela. Di
saat-saat pengadilan tinggi memeriksa keberatan itu, Jaksa
mengharapkan agar sidang tetap dilanjutkan, sehingga perkara
perlawanan dapat diputus bersamaan dengan pokok perkara.
Keinginan Jaksa punya dasar. Ketentuannya, menurut Soeharto,
bila hakim menerima keberatan terdakwa atau pembela, pemeriksaan
terhadap perkara dihentikan. Tetapi, jika hakim menolaknya, dan
menganggap bahwa kejelasan baru didapat setelah pemeriksaan,
sidang dilanjutkan. Kali ini, bukan salah satu di antara
keduanya: hakim menolak keberatan pembela, tapi juga memutuskan
sidang ditunda.
Pengacara kawakan, Suardi Tasrif, juga tidak setuju dengan
penundaan sidang. Katanya, sidan tidak perlu ditanguhkan hanya
untuk menunggu keputusan sela dari pengadilan tinggi. Kenapa?
"Kasihan tersangka. Apalagi bila ia tetap dalam tahanan," kata
Tasrif. Tapi pengacara itu juga tidak sepakat bila penangguhan
sidang dianggap melanggar asas peradilan yang cepat dan murah.
"Mereka tidak bermaksud mengulur waktu," tutur pengacara ini.
Tasrif lebih menyoroti segi kemanusiaan, hingga menginginkan
agar sidang dilanjutkan terus. Tapi, bila tersangka ditahan
luar, penangguhan "okey saja."
Sidang ditunda atau tidak, Walad tetap meringkuk di tahanan
Lembaga Pemasyarakatan Sabang. Sementara itu, majelis hakim di
Pengadilan Negeri Sabang bersikap hati-hati: lebih suka menunggu
keputusan Pengadilan Tinggi. Sedangkan peradilan administrasi,
yang menurut pembela berwenang mengadili tersangka, sampai saat
ini masih merupakan angan-angan.
Bukan hanya wewenang pengadilan negeri yang dpertanyakan. Jaksa
malah menuding bahwa undang-undang yang digunakan dalam eksepsi
tidak tepat. Baginya, undangundang itu tidak tepat dikenakan
pada tersangka yang sudah tidak menjadi pejabat. Pegangan Jaksa
adalah SK Menteri Dalam Negeri tanggal 8 November yang berlaku
surut sampai 6 Agustus, ketika tersangka mulai diperiksa
kejaksaan. Surat keputusan itu memberhentikan Yusuf Walad dari
jabatannya sebagai wali kota Sabang.
Silang pendapat tentang penangguhan sidang ini memang bisa
terjadi. Ketentuan yang ada, pasal 156 KUHAP, menegaskan bahwa
pengadilan tinggi berwenang menerima atau menolak perlawanan.
Tetapi prosedur pengajuan perlawanan belum diatur secara jelas
dalam KUHAP itu. "Masih ada celah-celahnya," ujar Soeharto, yang
juga menjadi kepala di Kejaksaan Negeri Sabang.
Kali ini, untuk kedua kalinya, sidang perkara Walad ditunda.
Sidang pertama, 3 November lalu, juga diurungkan. Terdakwa
mengenakan pakaian dinas lengkap dengan lencana. Jaksa
berkeberatan dan bersikeras bahwa Walad bukan wali kota lagi.
"Bila dia sebagai wali kota, kami rikuh," kata Soeharto.
Akhirnya, sidang ditunda. Dalam sidang lanjutan, pakaian dinas
bertukar dengan batik lengan panjang.
Sebenarnya, hal semacam pernah terjadi dalam persidangan kasus
Malari. Hariman Siregar dan kawan-kawan didakwa subversi. Tim
pembela keberatan dan mengajukan perlawanan pada pengadilan
tinggi. Selama proses itu, ternyata sidang di pengadilan negeri
tetap diteruskan, sampai ada keputusan dari pengadilan tinggi.
Namun, Walad cukup beruntung bisa mendapat kejelasan yang lebih
cepat dibanding Hariman waktu itu. Lima hari setelah sidang
dinyatakan ditunda, Pengadilan Tinggi Aceh memberikan kepastian.
Perlawanan ditolak. Dalam minggu ini, sidang akan dibuka
kembali. Selain itu, jumlah saksi akan ditingkatkan sampai 30
orang.
Yang jelas, kini majelis hakim dan jaksa sudah sepakat untuk
mengejar waktu: akan bersidang secara maraton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini