Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh menyebut dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK berubah-ubah terhadap dirinya. Ia menyampaikan ini saat membacakan duplik di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2024.
Duplik pribadi yang diberi judul Dalih Loncat Katak ala Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut dibacakan Gazalba dalam agenda sidang lanjutan dugaan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dan dugaan tindak pidana pencucian uang atau TPPU. “Salah satu yang utama adalah dalih penuntut umum tentang dugaan waktu pertemuan saya dengan Ahmad Riyadh di Bandara Juanda. Di surat dakwaan, penuntut umum menyatakan di bulan September 2024. Namun di surat tuntutan berubah menjadi tanggal 29 Agustus 2022. Kemudian di repik berubah lagi menjadi tanggal 30 Agustus 2022,” kata Gazalba dalam persidangan, Selasa.
Gazalba menilai, Jaksa Penuntut Umum KPK telah melakukan rekayasa fakta dengan mencari dalih yang loncat-loncat tanpa arah dan tujuan yang jelas layaknya seekor katak. “Mencari waktu atau tanggal yang dianggapnya tepat dengan dalih seolah-olah benar padahal sebenarnya tidak benar,” kata Gazalba.
Gazalba mengklaim tidak pernah melakukan pertemuan dengan Ahmad Riyad, seorang advokat asal Surabaya, yang kala itu menjamin bisa mengatur putusan kasasi yang diajukan Jahwahirul Fuad soal pengelolaan limbah tanpa izin dengan nomor perkara 3679 K/Pid.Sus-LH/2022 yang salah satu majelis hakimnya adalah Gazalba Saleh. “Memang tidak ada pertemuan saya dengan Ahmad Riyadh, apalagi penyerahan uang di Bandara Juanda,” kata Gazalba.
Apalagi, ujar Gazalba, Ahmad Riyadh telah mencabut keterangannya soal pertemuannya dan pemberian uang terhadap dirinya yang terjadi di Bandara Juanda, Sidoarjo. “Sangat disayangkan bila ambisi penuntut umum lebih dikedepankan daripada penegakan hukum yang berkeadilan terhadap perkara ini,” kata Gazalba.
Jika pun ada pertemuan dan penyerahan uang dari Ahmad Riyadh kepadanya, Gazalba meminta jaksa penuntut umum menghadirkan bukti-bukti pendukung seperti saksi, rekaman CCTV, hingga bukti percakapannya dengan sang advokat. “Dalam hubungan apa saya meminta uang tersebut, kan tidak mungkin Ahmad Riyadh sekonyong-konyong memberikan uang tanpa ada pembicaraan sebelumnya. Hal-hal seperti inilah yang harus dibuktikan oleh penuntut umum,” kata Gazalba.
Dalam persidangan pemeriksaan saksi sebelumnya, nama Ahmad Riyadh memang disebut-sebut oleh Kepala Desa Kedulongsari Mohammad Hani dan pemilik UD Logam Jaya Jawahirul Fuad. Dalam pemeriksaan saksi 15 Juli 2024, Hani dan Jawahirul mengatakan telah memberikan uang Rp 650 juta kepada Ahmad Riyadh untuk diserahkan kepada Gazalba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu pun dikuatkan dengan BAP Ahmad yang menyebut penyerahan uang dilakukan di Bandara Juanda. Namun, dalam kesaksiannya pada sidang pemeriksaan saksi pada 18 Juli 2024, Ahmad Riyadh mencabut keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) soal pemberian uang kepada Gazalba di Bandara Juanda setelah putusan kasasi yang dikabulkan oleh majelis hakim Mahkamah Agung.
Gazalba Saleh didakwa menerima gratifikasi secara bersama-sama senilai Rp 650 juta. Jaksa KPK mengatakan gratifikasi itu diterima Gazalba dari Jawahirul Fuad terkait perkara kasasi Nomor 3679 K/PID.SUS-LH/2022. Jawahirul merupakan pemilik usaha UD Logam Jaya yang mengalami permasalahan hukum terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin dan diputus bersalah dengan vonis 1 tahun penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gazalba juga didakwa melakukan TPPU. Dalam dakwaannya, jaksa awalnya menjelaskan Gazalba Saleh menerima uang dari sejumlah sumber. Pertama, Gazalba disebut menerima SGD 18 ribu atau Rp 200 juta yang merupakan bagian dari total gratifikasi Rp 650 juta saat menangani perkara kasasi Jawahirul Fuad.
Berikutnya, Gazalba disebut menerima Rp 37 miliar saat menangani peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaffar Abdul Gaffar pada 2020. Uang itu diterima oleh Gazalba bersama advokat Neshawaty Arsjad.
Gazalba juga menerima penerimaan selain gratifikasi SGD 18 ribu sebagaimana dijelaskan dalam dakwaan pertama. Jaksa menyebut Gazalba menerima SGD 1.128.000 atau setara Rp 13,3 miliar, USD 181.100 atau setara Rp 2 miliar, dan Rp 9.429.600.000 (Rp 9,4 miliar) pada 2020-2022. Jika ditotal, Gazalba menerima sekitar Rp 62 miliar.
Jaksa kemudian menyebutkan Gazalba menyamarkan uang itu dengan membelanjakannya menjadi sejumlah aset. Antara membeli mobil Alphard, menukar ke valuta asing, membeli tanah/bangunan di Jakarta Selatan, membeli emas, hingga melunasi KPR teman dekat. Total TPPU-nya sekitar Rp 24 miliar.
Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut Gazalba Saleh dengan 15 tahun penjara denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan pengganti selama enam bulan, serta pidana tambahan untuk membayar uang pengganti SGD 18.000 dan Rp 1.588.085.000 selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
Pilihan Editor: Jubir Sebut Aksi Cuti Massal Hakim Tuntut Kenaikan Gaji Bukan Rencana Tiba-tiba