OPERASI Kikis yang dilancarkan Mudjono sejak menjabat Ketua
Mahkamah Agung, belum berhasil menggusur tunggakan perkara di
lembaga peradilan tertinggi itu. "Kalau jumlah hakim agung tidak
ditambah, di akhir Pelita III ini (dua tahun mendatang)
tunggakan akan melebihi sepuluh ribu perkara," ujar Mudjono yang
bulan ini sudah mengusulkan nama-nama 27 orang hakim agung baru.
Sejak zaman Ketua Mahkamah Agung. Oemar Seno Adji, masalah
tunggakan perkara merupakan sasaran kritik berbagai pihak.
Sampai-sampai guru besar hukum pidana itu menantang orang yang
mengritiknya. "Coba tunjukkan di negara mana di dunia ini yang
tidak ada tunggakan perkara," kata Prof. Oemar ketika itu.
Sebab itu target utama yang dibawa Mudjono ketika memasuki
Mahkamah Agung Februari tahun lalu adalah menggusur tunggakan
perkara. Sekitar 10 ribu perkara kasasi ketika itu menumpuk di
Mahkamah Agung. "Kalau boleh membawa buldozer dan tank akan saya
gunakan untuk menggusur tunggakan itu," ujar Mudjono ketika
dilantik.
Berbagai usaha sudah dilakukannya. la membentuk operasi kikis,
dan menambah asisten hakim agung 54 orang. Ia juga
membagi-bagikan wewenang ketua kepada hakim-hakim agung yang 27
orang - sekarang tinggal 24 orang. Setiap Pengadilan Tinggi
mempunyai seorang pengawas dari hakim agung, semacam Kowilhan.
Pembagian wewenang dan kekuasaan yang paling besar dilakukannya
dengan melantik 6 orang Ketua Muda Mahkamah Agung, 27 Maret
lalu. Sebuah jilbatan yang memang ditentukan Un dang-undang
Kekuasaan Mahkamah Agung (UU no 13/1965). Tapi sejak 17 tahun
lalu itu, tidak pernah diwujudkan adanya instansi ketua muda
untuk mengawasi berbagai peradilan di bawah Mahkamah Agung itu.
"Saya tidak taku membagikan wewenang itu," ujar Mudjono. "Semua
perkara toh akan bermuara ke Mahkamah Agung."
Keenam ketua muda baru itu adalal Asikin Kusuma Atmadja (bidilng
peradilan perdata), Djoko Sugianto (peradilan adat) Busthanul
Arifin (peradilan agama ), Indoharto (peradilan tata usaha
negara) Andi Andoyo Sutjipto (peradilan pidana), dan Piola Isa
(peradilan militer).
Tapi gigi baru yang dipasang oleh Mudjono itu ternyata mempan
untuk menggigit tunggakan perkara di Mahkamah Agung. Sebab
selain tunggakan perkara sisa lama -- bulan ini tercatat 9.400
perkara -- setiap tahun Mahkamah Agung menerima 6000 perkara
kasasi. Hakim agung yang ada sebanyak 2 orang -- berarti 8
majelis hakim -- hanya mampu menyelesaikan perkara sebanyak
4.800 setiap tahunnya.
"Sebab itu, kalau tidak diatasi dengan penambahan hakim, pada
akhir Pelita nanti tunggakan akan mencapai 10 ribu lebih.
Padahal target saya semua tunggakan akan habis waktu itu," ujar
Mudjono. Ke 27 orang hakim agung baru itu, menurut Mudjono,
sudah disetujui Presiden. "Sehagian besar hakim karir, beberapa
yang dari militer," ujarnya.
Banyak memang yang meragukan penambahan jumlah hakim agung saja
sudah cukup untuk mengatasi masalah tunggakan perkara. "Sistem
kasasi di Indonesia memberikan beban berat untuk Mahkamah
Agung," kata Dosen Pengantar Hukum Amerika, FHUI, Gregory
Churchil J.D. Peranan pengadilan tinggi di Indonesia menurut
ahli hukum ini, belum menyaring perkara yang akan kasasi.
"Karena sistem di Indonesia yang membenarkan semua perkara
sampai ke kasasi, wajar kalau semua pembela juga menempuh jalan
yang paling maksimal untuk membela kliennya," komentar Greg
Churchil.
Di AS, penyaringan sedemikian berjalan baik. Sebuah kasus baru
diperiksa Mahkamah Agung di sana, kalau 4 orang hakim agung --
dari 9 jumlah hakim agung -- menyetujuinya. Ada berbagai syarat
untuk kasus yang bisa lolos ke Mahkamah Agung. Antaranya bila
kasus itu pertama kalinya (belum ada yurisprudensi). Atau
yrisprudensi yang ada perlu ditinjau kembali. Bisa juga untuk
perkara yang diputuskan di pengadilan rendah ternyata penafsiran
atau penerapan hukumnya bertentangan. "Jadi tidak semua perkara
bisa kasasi," kata Creg.
Di beberapa negara berkembang tunggakan perkara sering menjadi
masalah. Filipina misalnya, tercatat lebih dari 430 ribu
tunggakan perkara pada akhir Juli 1979. Masalahnya menurut Greg
Churchil, karena kurangnva kepastian hukum. Misalnya, sebuah
putusan peradilan tidak mengikat untuk peradilan lainnya, walau
kasus yang ditangani itu sama saja. "Seharusnya keputusan suatu
hakim itu untuk efisiennya menjadi hukum untuk perkara lain,"
ujarnya. Maksudnya tentu saja sistem pembentukan hukum dengan
yurisprudensi seperti yang berlaku di AS sana.
Mudjono bukan tidak menyadari semua kekurangan dalam sistem
peradilan kita. "Tapi untuk mengubah sistem itu tentunya bukan
dari saya, tapi dari wakil-wakil rakyat," katanya. Sementara
KUHAP -- hukum acara pidana kita yang baru saja diberlakukan
masih menganut asas semua perkara bisa banding dan kasasi.
"Perkara dua ratus perak saja bisa kasasi," ujar Mudjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini