ORGANISASI Palang Merah Indonesia (PMI) bagaikan memperoleh setetes darah penyelamat dari Mahkamah Agung (MA). Melalui putusan peninjauan kembali (PK), baru-baru ini peradilan tertinggi itu membatalkan putusannya semula yang menghukum PMI untuk membayar ganti rugi Rp 2,29 milyar kepada Nyonya Myrna Marina Magdalena. Pada 1988, MA memutuskan bahwa tanah tempat gedung berlantai empat milik PMI berdiri di Jalan Gatot Subroto Kaveling 96, Jakarta, adalah milik sah wanita tersebut. Tapi, berdasarkan keputusan terbaru itu, berarti tanah seluas 3.820 m2 itu, ya, "Tetap milik sah PMI," kata H.J.R. Abubakar, pengacara PMI dan PT Tripoda, developer gedung tersebut. Abubakar mengaku sudah melihat putusan PK itu dua pekan lalu. Sayangnya, keputusan PK -- yang merupakan upaya hukum luar biasa dan terakhir itu -- tak berarti melegakan PMI. Pasalnya, gedung baru PMI itu masih digoyang oleh beberapa pihak lainnya, yang juga merasa sebagai pemilik tanah tersebut. Jadi, "Perkaranya belum final," ujar Kaptin Adisumarta, dari PT Baskara Cahaya Mas, salah satu pihak yang menggugat tanah itu dari PMI. Cerita berlanjut? Perkara panjang itu bermula dari perjanjian tukar-menukar (ruislag) antara PMI dan PT Tripoda, yang diteken kedua pihak pada 9 Mei 1984. Dalam perjanjian disebutkan bahwa PMI akan melepaskan gedung tuanya, di atas tanah seluas 10.000 m2 Jalan Abdul Muis, Jakarta, yang lebih strategis. Sedangkan Tripoda akan menggantikannya dengan tanah seluas 3.820 m2 seharga Rp 925 juta dan gedung megah berlantai empat, senilai Rp 1,2 milyar, plus beberapa buah mobil. Singkat cerita, pada Desember 1985, PMI sudah menempati gedung baru itu yang diresmikan oleh Presiden Soeharto. Ternyata, kantor mentereng dengan sertifikat plus IMB itu tak membuat pengurus PMI tenang. Tanah yang diberikan PT Tripoda untuk gedung baru PMI itu ternyata sarat dengan sengketa. Tak hanya Myrna yang mengaku pemilik sah tanah itu. Ada juga Baskara, Butar-butar, Muhamad Said, yang semuanya mengaku membeli tanah itu dari ahli waris pemilik, yang ternyata berbeda. Dalam perkara Myrna, setelah melalui proses pengadilan sampai ke tingkat kasasi. MA ternyata mengalahkan PMI. Menurut MA, tanah adat itu memang sudah dibeli Myrna dari ahli waris pemiliknya, Rohayah, seharga Rp 135 juta pada 25 Januari 1985. Berdasarkan itu, MA menghukum PMI dan Tripoda untuk membayar ganti rugi Rp 2,29 milyar kepada Myrna. Begitu pula dalam perkara antara Baskara dan PMI, sampai tingkat banding, kemenangan berada di pihak Baskara. Pengadilan sependapat dengan dalih Baskara, yang mengaku tanah itu merupakan bagian dari tanah seluas 7.500 m2, yang dibelinya pada 1981 -- separuh tanah ini kini digunakan Bank Dagang Negara. Perkara ini memang belum tuntas, karena hingga kini masih diproses di tingkat kasasi. Rupanya, dua keputusan yang sama tapi berbeda itu dimanfaatkan PMI untuk menyusun serangan baru. Selain itu, antara lain, karena adanya cacat dalam putusan kasasi perkara Myrna. Yakni MA tak menyatakan bahwa sertifikat atas nama PMI menjadi tidak berkekuatan hukum, dan luas tanah sengketa di lokasi (3.450 m2) berbeda dengan dalam putusan (3.820 m2). Ternyata, majelis hakim agung dipimpin langsung Ketua MA Ali Said, yang menangani PK tersebut, pada 21 September 1989, menerima dalil baru PMI itu. Tentu saja, PMI menyambut gembira putusan ini kendati belum berarti semua sengketa PMI telah tuntas. Pengacara Myrna, W.J. Abraham, misalnya, tetap menganggap tanah tersebut milik sah kliennya. Abraham pun menyatakan: kemungkinan kliennya akan menggelar gugatan baru dengan kiat baru. Ada darah penyelamat lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini