SEMBARANGAN menuding orang terlibat PKI bisa bikin runyam sendiri. Gara-gara asal tuding itu, Chalid Umar Baras, eksponen '66 yang aktif di Laskar Arif Rachman Hakim, Senin dua pekan lalu divonis hakim 8 bulan penjara -- dua bulan lebih berat dari tuntutan jaksa. Menurut hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Moch. Taufik, Chalid terbukti memfitnah. "Dia terbukti memberikan pengaduan palsu kepada penguasa," kata Taufik. Fitnah? Pada, 23 Agustus 1988, Chalid, 47 tahun, membuat surat pengaduan ke alamat Presiden Soeharto. Dalam pengaduannya yang berisi soal pembagian komisi jual beli tanah, ia juga menuding Edhi Siswoko, bekas kepala Kejaksaan Negeri Pasuruan, 1966, terlibat PKI. Padahal, Edhi tak terlibat kasus tanah yang diadukannya. Hanya kebetulan Edhi adalah ayah Tonny Hardiyanto, orang yang bersengketa dengan Chalid. Surat itu memang belum sampai ke tangan Presiden. Tapi telah menyebar ke mana-mana. "Terlepas dari sampai tidaknya surat tersebut, pengaduan itu sudah merupakan kejahatan karena tembusan surat itu sudah sampai ke mana-mana," ujar Taufik. Pada September 1988, Edhi Siswoko, 62 tahun, yang kini menjadi pengacara, mengadukan Chalid ke polisi. Ia merasa nama baiknya tercemar akibat surat Chalid itu. Selain mengadu secara pidana, Edhi sebelumnya menggugat Chalid secara perdata ke pengadilan yang sama. Hakim S.M. Binti, yang mengadili kasus itu, pada 26 Juli 1989 menghukum Chalid membayar ganti rugi Rp 10 juta. Di persidangan tudingan Chalid itu dipatahkan Edhi. Ia membuktikan dirinya bersih dengan menunjukkan surat pernyataan tak terlibat PKI yang dibuat Tim Skrining Pusat, Kejaksaan Agung, pada 12 Juli 1966. Karena itu, hakim menyatakan tuduhan Chalid tak beralasan. "Sebagai hakim, saya lebih percaya pada bukti-bukti formal. Berdasarkan bukti-bukti itu, Edhi memang tidak terlibat," kata Moch. Taufik. Edhi memang pernah diskrining oleh Kejaksaan Agung pada 1966 silam. Waktu itu, sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Pasuruan, Jawa Timur, Edhi Siswoko pernah didemonstrasi oleh KAMI/KAPPI. "Kejadian itu dipolitisir oleh Bupati Pasuruan waktu itu, Ismangun Danusastro. Sebelumnya bupati ini sempat diseret Edhi ke meja hijau karena terlibat penggelapan kain belacu jatah rakyat," tutur Taufik. Kasus itu, menurut Chalid, bermula dari transaksi pelepasan hak tanah eigendom seluas 2,99 ha di Kelurahan Cipinang Baru, Pulogadung, Jakarta Timur. Tanah itu milik Chalid (30%), Deddy Umar Hamdun (30%), dan almarhum Tjutju Efendi (40%) -- pada Agustus 1988 dijual ke PT Bina Reksa Perdana (BRP) milik Hutomo Mandala Putera. Seorang perantara almarhum, Warsih memperkenalkan ketiga pemilik tanah kepada Tonny, komisaris PT Bina Reksa Perdana, pada 1985. Ketika itu disepakati tanah itu dilepas dengan nilai Rp 800 juta itu. Dari harga jual itu disepakati pula, Rp 300 juta dikeluarkan sebagai komisi. Komisi ini, menurut perjanjian dibagikan kepada Warsih dan suaminya Pramudji (Rp 90 juta), Chalid, Deddy, dan ahli waris Tjutju (Rp 90 juta), dan buat Tonny Rp (120 juta). "Ternyata, pada waktu pembayaran saya tidak diundang. Uang itu dibagi dua. Deddy dapat Rp 400 juta, Tonny dapat Rp 400 juta. Saya tidak dapat apa-apa," kata Chalid. Karena kesal, Chalid mengirim surat kepada Presiden itu. "Hanya sebagai informasi pada Presiden, bahwa tak semua teman Pak Hoetomo Mandala Putra baik. Saya tak mau Pemerintah kecolongan " kata Chalid. Konon, uang Rp 800 juta itu berasal dari Hutomo Mandala Putra. Persoalannya, kenapa sengketa itu merembet-rembet ke Edhi Siswoko. Chalid sendiri mengaku tak mengetahui langsung bahwa Edhi terlibat PKI. "Saya mendengar dari Pramudji bahwa Edhi itu terlibat PKI," kata Chalid. Terbukti, kini, bahwa tuduhan itu tidak benar. "Yang saya butuhkan adalah clearence, bahwa saya tidak terlibat PKI. Kalau Chalid dihukum, itu kesalahannya sendiri," kata Edhi. Sebaliknya Chalid, "Saya tidak terima putusan itu, saya banding." Dihukum karena sembarangan menuduh orang terlibat PKI juga pernah menimpa penulis buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, Soegiarso Soerojo. Pengadilan yang sama, pada November 1989 lalu, menghukum Soegiarso membayar ganti rugi Rp 25 juta kepada bekas Bupati Nganjuk, Soendoro. Soegiarso dipersalahkan karena di dalam bukunya ia menulis bekas bupati Nganjuk, Jawa Timur, (1962-1968) itu terlibat PKI (TEMPO, 25 November 1989). Muchsin Lubis dan Ardian T. Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini