Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Radnet menggugat pemerintah Indonesia ke pengadilan New York, Amerika Serikat.
Gugatan itu buntut dari proyek Internet masuk desa Kemenkominfo yang bermasalah satu dekade lalu.
Aset-aset pemerintah di Negeri Abang Sam pun terancam disita jika Radnet memenangi gugatan.
PEMERINTAH Indonesia menghadapi gugatan PT Rahajasa Media Internet (Radnet) di Pengadilan Negeri Federal Amerika Serikat untuk Daerah Selatan New York. Radnet mengajukan permohonan gugatan setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tak kunjung membayar utang proyek penyediaan Internet sebesar Rp 225,5 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum Radnet, Sri Hardimas Widajanto, mengatakan kliennya meminta pengadilan di New York mengakui putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang telah berkekuatan hukum tetap dan membantu mengeksekusinya. Pada 2017, Radnet mengajukan gugatan kepada BANI terhadap Kemenkominfo untuk membayar utang tersebut dan menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dimas, pengadilan di New York bisa membantu eksekusi atas aset-aset pihak tergugat yang berada di Amerika. Dalam gugatannya, Radnet mencantumkan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo, Kemenkominfo, Kemenkeu, dan pemerintah RI sebagai pihak tergugat. “Eksekusi putusan bisa dilakukan berdasarkan aset pihak yang kami tuntut yang berada di New York,” kata Dimas kepada Tempo pada Selasa, 16 Oktober 2024.
Utang-piutang itu bermula ketika Radnet menjadi salah satu pemenang tender proyek penyediaan Internet kewajiban pelayanan universal atau universal service obligation di bawah Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI), yang sekarang bernama Bakti Kominfo. Radnet memenangi lima paket tender pada 2010-2012 dengan nilai total Rp 314,97 miliar. Perusahaan milik cucu pahlawan nasional Mohammad Yamin, Roy Yamin, itu menjadi vendor untuk program Mobil Penyedia Layanan Internet Kecamatan, Jalin Wi-Fi, dan Desa Pintar.
Pemerintah menghentikan program tersebut karena bermasalah pada 2013. Saat itu Dewan Perwakilan Rakyat bahkan meminta Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit program ini. Hasilnya, BPK menemukan sejumlah penyimpangan di lapangan. Kejaksaan Agung pun pernah mengusut proyek itu secara pidana. Kepala BP3TI Santoso Serad dan direktur salah satu perusahaan rekanan Kemenkominfo, PT Multidana Rencana Prima, Doddy Nasiruddin Ahmad, harus mendekam di penjara karena proyek ini.
Penghentian proyek ini membuat Radnet meradang karena telanjur mengeluarkan uang besar. Mereka pernah mendapat fasilitas kredit Rp 188 miliar dari Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB) untuk modal menggarap proyek itu. Dimas menyatakan berhentinya proyek itu membuat Radnet tak bisa membayar sebagian utang kepada Bank BJB. Hal itulah yang kemudian membuat Radnet mengajukan gugatan kepada BANI, tapi putusannya tak kunjung dipatuhi Kemenkominfo.
Karena tak melihat ada iktikad baik dari pemerintah, Dimas menyatakan Radnet mengajukan gugatan pertama kepada Pengadilan Negeri Federal Amerika Serikat untuk Daerah Selatan New York pada 3 Januari 2021. Namun proses persidangan pada 2021 tidak terlaksana karena pemerintah Indonesia tidak merespons. Radnet kembali mendaftarkan gugatan ke pengadilan di New York pada 28 Juni 2024. Sidang perdana kasus ini dengan agenda mendengarkan pendapat pun digelar pada 20 September 2024. “Pemerintah Indonesia hadir melalui kuasa hukumnya,” kata Dimas.
Tempo telah meminta penjelasan dari Kemenkominfo serta Kemenkeu soal gugatan ini. Wakil Menteri Kementerian Komunikasi Nezar Patria serta Direktur Jenderal Informasi Komunikasi Publik Prabu Revolusi tidak menjawab pesan yang dikirim Tempo hingga berita ini ditulis. Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban dan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo juga tidak merespons pertanyaan Tempo.
Dosen hukum internasional Universitas Indonesia, Yu Un Oppusunggu, menjelaskan bahwa Radnet bisa mengajukan gugatan terhadap pemerintah Indonesia di Amerika. Pasalnya, Indonesia dan Amerika sama-sama menandatangani Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing atau Konvensi New York 1958 (United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards). Konvensi tersebut, kata Yu Un, membuat pengadilan asing bisa menangani perkara arbitrase yang berasal dari sesama negara penanda tangan. “Ada banyak negara yang sudah mengesahkannya, antara lain Indonesia dan Amerika,” ucapnya kepada Tempo pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Dengan menjadi penanda tangan konvensi itu, Yu Un menjelaskan, pengadilan di Amerika bisa mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase dari Indonesia. Dengan kata lain, pengadilan New York bisa saja melaksanakan putusan BANI yang memenangkan Radnet. Yu Un pun menilai kemungkinan besar pengadilan New York menerima gugatan Radnet. “Karena sudah ada putusan inkrah (putusan BANI),” ujarnya.
Selain konvensi tersebut, Yu Un mengimbuhkan, pengadilan Amerika bisa merujuk pada Uniform Foreign Money Judgments Recognition Act untuk mengadili perkara yang didaftarkan Radnet. Ada sejumlah persyaratan dalam aturan tersebut agar perkara pihak asing dapat dieksekusi di Amerika, di antaranya perkara tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat di negara asalnya. “Tidak dalam proses upaya hukum dalam konteks putusan banding,” ucapnya.
Nantinya, menurut Yu Un, pengadilan New York bisa memerintahkan eksekusi terhadap aset-aset para tergugat yang berada di wilayah kekuasaannya. Artinya, aset pemerintah Indonesia di sana, termasuk aset Kemenkominfo dan Kemenkeu, bisa disita jika mereka mengabulkan gugatan Radnet. Hanya, Yu Un menyatakan hasil putusan di Amerika itu tak akan memiliki kekuatan memaksa di Indonesia. Putusan pengadilan di Negeri Abang Sam itu tak akan bisa menjadi dasar jika Radnet ingin mengeksekusi aset pemerintah Indonesia di dalam negeri.
Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta. Dok. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Dosen hukum internasional Universitas Airlangga, Iman Prihandono, sependapat dengan Yu Un. Dia menambahkan, Radnet mengajukan gugatan ke Amerika karena mengalami kesulitan mengeksekusi putusan BANI tersebut lantaran melawan pemerintah negara sendiri.
Menurut Iman, pengadilan di Amerika juga memiliki tendensi untuk menerima gugatan dari pihak beperkara. Sebab, ekosistem peradilan di Amerika cenderung lebih mudah menerima gugatan. “Paling mudah menggugat orang itu di Amerika, meskipun belum tentu dikabulkan,” ucapnya.
Iman memprediksi Radnet bisa mengajukan eksekusi terhadap sejumlah aset milik para tergugat jika memenangi sidang di pengadilan New York. Salah satunya melalui pengajuan sita jaminan hingga pembekuan rekening milik Bakti Kominfo, Kemenkominfo, ataupun Kemenkeu yang berada di Amerika Serikat. Iman menilai Radnet mengajukan gugatan ke New York karena mempertimbangkan kemungkinan adanya aset milik lembaga-lembaga tersebut di sana. “Asumsi saya, Radnet tahu bahwa Bakti, Kemenkominfo, Kemenkeu, dan lain-lain punya rekening atau punya aset di Amerika. Makanya dia pakai cara itu,” tuturnya.
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan laporan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo