KORBAN masih terus bergelimpangan di Korea Selatan (Kor-Sel). Padahal, perang saudara yang pernah berkecamuk di semenanjung itu sudah berakhir tiga puluh lima tahun berselang. Kecuali beberapa penyusupan dari Korea Utara, yang juga menelan korban, suasana di daerah perbatasan kedua negara boleh dibilang tenang -- walaupun mencekam. Hanya ganjilnya, dalam delapan tahun terakhir ini, Kor-Sel harus kehilangan lebih dari 2.600 tentaranya. Mereka bukan gugur di medan perang, tapi tewas karena "sebab-sebab lain". Bisa karena bunuh diri, dipukuli sampai mati oleh sesama rekan atau atasan, atau kecelakaan lainnya yang tidak wajar. Kenyataan ini terungkap ketika berlangsung dengar pendapat antara anggota Majelis Nasional Kor-Sel dengan Kementerian Pertahanan di Negeri Ginseng itu, bulan lalu. Menurut laporan Kementerian Pertahanan Kor-Sel, lebih dari 2.000 prajurit bunuh diri, sekitar 400 tentara tewas akibat siksaan, sisanya hampir 4.000 personel meninggal dalam berbagai kecelakaan "yang sebenarnya tak perlu terjadi". Kelalaian dalam mengunakan senjata atau kecelakaan pesawat terbang militer, misalnya. Peristiwa kematian ini merata pada hampir semua jenjang, mulai dari prajurit hingga perwira di semua unsur angkatan bersenjata negeri itu. Mengerikan, memang. Kalau dihitung pukul rata, sejak tahun 1980 hampir setiap hari pasti ada seorang tentara Kor-Sel yang tewas. Ini tingkat kematian yang cukup tinggi, apalagi itu terjadi dalam suasana damai. Dan terasa kian ironis karena kelompok militer sebenarnya adalah elite penguasa di negera itu. Mereka menikmati sejumlah privilese, khususnya setelah Jenderal Park Chung-Hee mengambil alih pemerintahan sipil di tahun 1961. Tentara lalu menjadi bagian dari birokrasi, dan perannya begitu besar, hingga pers Barat mengejek Kor-Sel sebagai "Negeri Tentara". Tak heran kalau tentara kemudian menjadi model ideal untuk kelompok-kelompok lainnya. Sampai-sampai olahragawan yang disiapkan ke olimpiade harus menjalani latihan ala militer. Atlet dikumpulkan dalam barak, diberi seragam loreng serta perlengkapan serdadu lainnya. Kepada mereka ditanamkan disiplin militer yang kaku dan otoriter. Hasilnya luar biasa. Kor-Sel mampu menyodok sebagai kekuatan baru dalam olahraga dunia. Negeri itu dengan semangat macan Hodori mampu menduduki peringkat 4, dengan 10 medali emas. Dari empat besar Olimpiade, Korea Selatan adalah satu-satunya wakil Asia, sesudah raksasa Soviet, Jer-Tim, dan AS. Mendahului sukses di bidang olahraga adalah sukses Kor-Sel di bidang ekonomi. Tapi berbeda dengan kalangan masyarakat lainnya, tentara tak boleh berleha-leha. Di samping harus menghadapi ancaman komunis dari Korea Utara, tingkah mahasiswa yang militan tiap kali "menggoyang" stabilitas naslonal. Dan adalah tanggung jawab militer untuk mengatasinya. Keharusan untuk selalu siap siaga inilah dalam rentang waktu yang lama dan terus-menerus -- yang menggerogoti mental tentara. Ketika seluruh anak negeri bekerja keras dan kemudian bisa menikmati kemakmuran tentara tetap saja dibebani tugas mengawal ibu pertiwi. Untuk menjaga kedaulatan negara, bahkan semua warga Kor-Sel dilibatkan. Paling tidak, semua pria di sana mesti menjalani wajib militer selama dua tahun. Untuk itu, tiap tahun sekitar 200.000 orang direkrut, masuk barak tentara. Sekalipun begitu, jumlah tentara Kor-Sel "hanya" 650.000 orang, sementara tentara Kor-Ut 800.000 orang. Masing-masing diperkuat 5.000 (Kor-Ut) dan 1.400 (Kor-Sel) tentara cadangan. Dan mereka harus siap menangkal bentrokan, yang kapan saja bisa terjadi, kendati upaya perdamaian masih terus dilanjutkan. Trauma lainnya yang harus dihadapi militer Kor-Sel adalah pertanggungjawaban atas tewasnya 2.000 orang sipil dalam kerusuhan di Kwangju, 1980. Saat itu mahasiswa militan yang didukung oposisi menuntut tegaknya pemerintahan yang lebih demokratis, ketimbang pemerintahan waktu itu yang dikuasai militer dan -- tentu saja -- otoriter. Beban dan sederet "dosa" itulah yang agaknya kemudian membuat sebagian tentara Kor-Sel merasa terasingkan dari masyarakat dan lingkungannya. Masyarakat Kor-Sel mengalami perubahan besar, menjadi satu masyarakat industri yang sama sekali baru. Sementara itu, kelompok militer, bagaikan pulau di tengah-tengah, selalu dibutuhkan tapi dipandang dengan curiga. Dan tak jarang, mereka dibenci. Prajurit yang kurang kuat "iman militer"nya lalu mudah tergoda dan lari dari kenyataan. Mereka frustrasi, malah terdorong untuk mengambil jalan pintas: bunuh diri. Yang paling umum adalah bertindak ugal-ugalan. Kecelakaan kendaraan bermotor dan pesawat terbang militer -- karena faktor kelalaian manusia -- sudah jadi berita biasa. Perbuatan ini banyak dilakukan oleh tentara muda yang tak sempat mengalami Perang Korea. Ancaman komunis, buat mereka, dirasakan terlalu abstrak. Sebaliknya, tuntutan oposisi yang menghendaki pemerintahan yang lebih demokratik tampak lebih kongkret. Tak heran jika sebagian anggota militer bersimpati atas tuntutan mahasiswa militan itu. Akibatnya, mereka diperlakukan secara diskriminatif dan diawasi ekstraketat. Bahkan kenaikan pangkat mereka ditunda. Lebih celaka lagi, para prajurit yang berusia muda -- entah karena alasan apa -- sering dipukuli dan disiksa sampai tewas oleh personel yang lebih senior. Secara alami, manusia memang dibekali kemampuan untuk tiap kali menyesuaikan diri terhadap suasana dan lingkungan yang berbeda, ataupun penindasan yang ditimpakan padanya. Kemampuan itu tak sama, tergantung pribadi yang bersangkutan. Ada yang karena tempaan ala kawah Candradimuka itu, lalu menjelma jadi manusia super, dengan fisik dan mental baja. Ada pula yang bertahan hidup dengan pribadi ganda, seperti tokoh-tokoh dalam Animal Farm karya George Orwell. Tapi ada yang menempuh jalan pintas, seperti 2.000 tentara Kor-Sel yang bunuh diri itu. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini