SEBUAH viol menundukkan Saiful, sehingga ia tak lagi menjadi biang keonaran. Anak yatim piatu dari Padang ini mengalami cerebral palsy (CP) spastic atau kekakuan dalam bergerak. Dulu, ketika masih kecil, ia dimasukkan ke tingkat persiapan (taman kanak-kanak) di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta, kelakuannya tak terkendali. Sebagai anak yatim, Saiful sering merasa tertekan dan hanya bisa melongo sepanjang pekan. Sementara itu, teman-teman sebayanya selalu dikunjungi orangtua atau saudaranya. Untuk melampiaskan kesalnya -- dan upaya menarik perhatian -- ia bahkan berbuat sekenanya. Onar, kalau perlu. Pada saat YPAC bingung menghadapi Syaiful, lalu muncul Ruth Badrach. Ia menawarkan agar anak itu diberi biola saja. Sejak 1976, Ruth Badrach telah merintis terapi dengan musik di YPAC Jakarta. Pekerja sosial dari AS ini mengabdikan diri untuk terapi anak-anak cacat di sini, hingga akhir hayatnya pada 1982 karena leukemia. "Menurut teori, viol sangat berpengaruh pada segi mental. Konsentrasi harus sangat penuh, perasaan harus muncul, dan tumbuh ketenangan," demikian kata Amarsih Nahraem, Kepala Sekolah YPAC. Teori tersebut terbukti. Saiful kemudian menjadi asik sepanjang hari, memainkan biolanya. Dalam diri anak itu telah tumbuh rasa percaya diri. Ia tidak lagi getol mengusik orang lain. Lambat laun, sekolahnya di YPAC juga rampung. Sekarang, Saiful sedang belajar di sebuah SMEA. Menurut Amarsih, "Sejak zaman Yunani Kuno, musik dibutuhkan oleh siapa saja. Termasuk kalangan kerajaan yang gila dan hidup tak normal. Bahkan yang psikopat bisa terhibur dan sembuh." Pakar musik dan pianis Irawati Sudiarso mengakui pula, betapa besar artinya musik bagi seseorang. "Rasa kangen, perasaan yang dalam, semua bisa lewat musik," katanya. Ia seorang pembicara pada Simposium Dampak Musik di Dalam Kehidupan Individu (Dan Manfaat Terapi Musik Bagi Penyandang Cacat) yang diselenggarakan YPAC Pusat di Gedung Dharma Wanita Pusat, Kuningan, Jakarta, 5 November lalu. Hari itu, Jaya Suprana, pentolan musik lain yang juga pianis, juga jadi pembicara. Bos Jamu Cap Jago ini, yang kian laris dalam pelbagai acara seminar atau simposium, juga meyakini pentingnya musik bagi terapi. "Apa pun istilah atau kategori ilmiahnya, yang penting musik itu dapat membantu mengurangi penderitaan mereka yang sakit. Jiwa, juga raga," tutur Jaya Suprana. Dan ada catatan tambahan dari dia, antara lain: Untuk kepentingan komunikasi, edukasi, terapi, maupun seni, musik merupakan sekadar suatu sarana. Jadi, bukan tujuan. Dasar yang dipakai oleh YPAC selama ini untuk menegakkan terapi musik di lingkungannya makin kukuh. Dan itu sudah ada kata sepakat antara musikus dan psikolog. Coba simak, misalnya, penuturan Dra. Ediasri T. Atmodiwirjo, dari Fakultas Psikologi UI. "Ada tiga kategori respon seseorang yang perlu digali melalui terapi musik," katanya. Yakni, respon emosional, itu akan bisa menimbulkan pelbagai suasana hati. Perasaan lega, menciptakan kelenturan otot, bahkan sanggup menarik seseorang keluar dari khayalan yang tak sehat. Lalu, respon asosiatif. Ini merangsang proses berpikir, pembentukan ingatan, dan fantasi -- hingga mudah mengekspresikan proses mental yang ditekan, dari bawah sadar. Maka, jangan heran jika Anda suatu kali bertandang ke YPAC Jakarta, dari arah sebuah ruangannya akan terdengar alunan, misalnya, Jenang Gulo. Lagu ini bisa dimainkan Ismail, 15 tahun, kendati ia memiliki IQ di bawah 70 dan sebelah kakinya diamputasi. Si remaja asal Timor Timur yang orangtuanya sudah tak ketahuan lagi dan ia sendiri telah 13 tahun di YPAC ini memang tidak bermain sendiri. Teman-temannya, yang sebagian besar penderita CP, memainkan instrumen lain. Ada gamelan Orff (gamelan mini ciptaan Orff, seorang Jerman), lalu diselingi ketukan bambu dan bambu bergerigi (ret). Tapi, sebelum melatih feeling mereka dengan perkakas musik yang lebih rumit itu, pengajarnya memperkenalkan bunyi-bunyian dasar lebih dulu. Misalnya dengan alat sederhana, seperti kaleng bekas minuman diisi batu-batuan, rebana, atau botol-botol. Sambil melangkah, mereka diinstruksikan membunyikan benda tadi sesuai dengan langkah dan hitungan. "Ini sangat penting untuk latihan konsentrasi," kata Slamet Riyadi, 38 tahun. Lulusan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) ini bertekad meneruskan apa yang sudah dirintis Ruth Badrach itu. Adakala guru bernyanyi keras-keras sebagai melodi lagu, lalu anak-anak didiknya mengiringi dengan suara-suara kaleng, botol, maupun ketokan tukang bakso. Terciptalah suasana meriah -- mata anak-anak itu berbinar, dan tubuh yang sebagiannya tidak normal ikut pula bergoyang mengikuti irama. Sesekali, di antara mereka ada yang menegur kawannya yang memainkan alat secara sumbang. "Itulah yang kami tuju. Mereka jadi sibuk dan berkonsentrasi pada saat musik berlangsung," tutur Amarsih. Salah satu tujuan terapi musik memang ingin mengaktifkan otot-otot mereka secara bertahap dan rutin. Musik adalah bagian yang besar dalam occupational therapy, terapi melalui kesibukan. Yang penting bagaimana anak melakukan sosialisasi, berkomunikasi dengan temannya. "Musik cuma media, agar muncul kerja sama," ujar Slamet. Lebih dari itu, musik yang dimaksudkan bukan sebagai seni mencari prestasi itu bisa mereka pakai sebagai alat menumpahkan segala perasaan. "Supaya si anak berani tampil," katanya. Dari 122 orang siswa YPAC, 70%-nya mengidap CP. Selebihnya cacat fisik yang lain. Tetapi anak-anak cacat itu jangan hanya dikasihani. Demikian tutur Yos Karamoy, yang juga bicara dalam simposium tersebut. Tujuan dari semua ragam latihan dan pendidikan di YPAC adalah membina agar penderita cerebral palsy pada suatu waktu dapat berdiri sendiri dan produktif. "Tapi masyarakat juga memperlakukan keberadaan mereka secara wajar di lingkungannya, dan diberi kesempatan bekerja sesuai dengan kemampuannya. Bukan hanya untuk dikasihani," kata Yos lagi. Guru tari ini pernah menjadi sukarelawati di YPAC Jakarta. Laporan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini