INI berita gembira buat para ilmuwan: 200 mikrofilm manuskrip asal Keraton Yogyakarta, yang diboyong orang Inggris seabad lampau, akan dikembalikan. Itu dikemukakan Annabel Teh Gallop, Kepala Koleksi Oriental British Library, London, kepada peserta Kongres Bahasa Indonesia V di gedung LIPI, Kamis pekan lalu. Tapi naskah aslinya masih disimpan di sana. Sekitar 300 tahun silam para pakar Barat, terutama Belanda, sudah menekuni bahasa dan sastra kuno dari beberapa daerah di Nusantara. Lebih dari satu setengah abad yang silam. Sir Thomas Stamford Raffles sangat getol memburu naskah lama, dibantu pujangga Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Di akhir masa kekuasaannya, Gubernur Jenderal Inggris untuk Indonesia itu (1811-1816) mengangkut sejumlah benda berharga dari Indonesia dalam satu kapal penuh, termasuk manuskrip, tapi tenggelam di laut. Bukan hanya Inggris, Belanda, dan beberapa negeri lain di Eropa Barat, "Amerika Serikat juga menyimpan manuskrip asal Indonesia," ujar Annabel. Tapi Belanda merupakan "pembajak" manuskrip paling rakus. Sementara itu, pengembaliannya sulit, karena "berkaitan dengan prosedur dan transaksi dari kedua pemerintah," kata Annabel lagi. Berapa jumlah khazanah yang "diungsikan" itu belum jelas. KITLV (Koninnklijk Intitut voor de Taal en Volkenkunde) lembaga swasta di Belanda yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan -- memiliki koleksi lebih dari 2.000 naskah. Sedang British Library di London menyimpan 420 manuskrip, termasuk 200 buah dari Keraton Yogya. Katalog naskah-naskah itu memang ada, tapi hanya untuk manuskrip di beberapa perpustakaan tertentu. M.C. Ricklefs, misalnya, menyusun katalog koleksi British Library. Pencatatan itu biasanya tanpa mencantumkan penulisnya, sebab penulis naskah kuno umumnya anonim. Dalam pameran buku menyambut Kongres Bahasa Indonesia di gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, minggu lalu, sekitar 1.500 buku dipajang, sebagian di antaranya buku-buku kuno semacam itu. Terdiri dari karya sastra, tata bahasa, kamus, dalam bahasa Indonesia maupun daerah. Yang paling tua terbitan 1650. Buku-buku antik itu kertasnya sudah menguning kusam berlubang-lubang bekas gigitan ngengat. Buku-buku kuno yang tak ternilai harganya itu hanya sebagian kecil koleksi perpustakaan Museum Nasional. Sebagian koleksi tersebut sudah dipindahkan dari "Gedung Gajah" di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, yang sempit, sumpek, dan lembap ke beberapa ruangan baru yang segar, terang, dan ber-AC, di gedung baru Perpustakaan Nasional Jalan Salemba yang berlantai tujuh itu. Buku tertua, terbitan Amsterdam pada 1650, adalah sebuah kamus. Karena sudah sangat tua, kamus Vocabularium ofte Woort Boeck naar Ordre vandem Alphabet in 't Duytsch-Maleisch susunan D. Casparum Wiltens itu dipamerkan dalam kotak kaca. Yang "lebih muda" terbitan London pada 1701, A Dictionary English and Malayo, Malayo and English susunan Thomas Bowrey. Thomas tidak hanya mencatat kosakata Melayu secara alfabetis dan menerjemahkannya, tapi juga menulis tata bahasanya. Dari peta penduduk pengguna bahasa Melayu dalam buku itu diketahui bahwa ratusan tahun silam bahasa Melayu sudah jadi lingua franca alias bahasa pengantar di Nusantara. Sampai 1873, paling tidak enam kamus sudah disusun oleh para pakar dari Barat sebagian besar orang Belanda. Buku pelajaran bahasa Melayu dengan pengantar bahasa Belanda pun sudah disusun. Misalnya: Malaeische Spraakkunst: uit de eige Schiften der Maleiers Opgemaakt, karangan G.H. Werndly, terbitan Amsterdam pada 1736. Khusus mengenai tata bahasa, ditulis oleh Johannis Christophori Lorberin pada 1688, berjudul Grammatica Malaica, Tradens Praecepta Brevia Idiomatis Linguae in Indi Orientali Celeberrimae ab Indigenis Dictae Malayo. Sementara itu, pakar pribumi pertama, Raja Ali Haji, baru pada akhir abad ke-18 menyusun Kitab Logat Melayu. Itu tidak berarti manuskrip kita sudah ludes sama sekali. Beberapa perpustakaan di daerah Aceh, Sumbawa, Yogyakarta, misalnya -- juga masih memelihara sejumlah koleksi. Perpustakaan Museum Nasional sendiri memiliki koleksi buku 450 ribu eksemplar. Sebagian kecil berupa naskah lama, antara lain 954 naskah berbahasa Melayu, belum lagi yang berbahasa Jawa,Sunda, Batak, dan sebagainya. Dasar-dasar filologi -- ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno -- di Indonesia dipancangkan oleh filolog Belanda, W.H. Rassers, pada 1922, dengan menyusun De Panji-Roman, sebuah analisa tentang cerita Panji berikut alih aksaranya. Kemudian muncul Van Ronkel, H.N. Juinboll, diikuti para pakar pribumi seperti Poerbatjaraka, dilanjutkan Prof. Achadiati Ikram, Haryati Soebadio (kini Menteri Sosial), dan sebagainya. Kini, ialah bagaimana memelihara naskah-naskah tua yang bisa cepat hancur bila tidak disimpan dalam ruangan ber-AC. Setelah berpuluh tahun menanti, baru tahun ini gedung Perpustakaan Nasional terwujud -- yang kabarnya akan diresmikan Desember mendatang. Dan karena masih banyak naskah kuno tersimpan di "negeri seberang", para filolog Indonesia harus lari ke luar negeri untuk meneliti. Achadiati Ikram misalnya, harus ke Inggris dan Belanda untuk membaca naskah asli Hikayat Sri Rama. Priyono B. Sumbogo dan Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini