Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum pidana Mudzakkir menilai tidak ada bukti sah dalam penetapan tersangka Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong di kasus dugaan korupsi impor gula Kementerian Perdagangan pada 2015-2016. Menurut Mudzakkir, Kejaksaan Agung tidak mampu menunjukkan bukti konkret kerugian negara berdasarkan laporan anggaran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi kalau tidak ada bukti kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh tersangka itu artinya salah satu unsur tindak pidana Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 (UU Tindak Pidana Korupsi) tidak terbukti secara sah meyakinkan,” ujar Mudzakkir saat memberi keterangan media di kafe Matang di Pohon, Kemang, pada Jumat, 22 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya Mudzakkir telah memberikan kesaksian ahli dalam sidang praperadilan Tom Lembong pada Kamis, 21 November 2024. Berdasarkan fakta persidangan, ia menyimpulkan tim kejaksaan tidak mengajukan dokumen pembuktian yang menyatakan adanya kerugian negara berdasarkan hasil audit investigasi.
Sebagai pakar hukum pidana, Mudzakkir memandang ketiadaan bukti itu adalah bentuk pemidanaan tanpa adanya perbuatan pidana. Sehingga, Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia itu berpendapat Tom Lembong tidak bisa dipidanakan dalam dugaan korupsi impor gula saat ia menjadi Mendag. “Penetapan tersangka yang ada harus juga dinyatakan tidak sah,” kata Mudzakkir menegaskan.
Kejaksaan Agung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka kasus korupsi impor gula bersama Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, Charles Sitorus. Menurut Kejagung, kebijakan Tom Lembong memberikan persetujuan impor gula kristal mentah kepada PT Angels Products melanggar aturan. Kejagung menyatakan, saat itu pemerintah menyatakan stok gula nasional surplus sehingga tak diperlukan impor.
Kebijakan impor gula sebanyak 105 ribu ton pada 2015 itu, kata Kejagung, merugikan negara hingga Rp 400 miliar. Hitungan tersebut merupakan taksiran penyidik yang dinilai dari keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik perusahaan pelat merah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI).