UNDANG-UNDANG Pemilihan Umum bukan lagi macan kertas. Dua pekan lalu, dua pengadilan negeri (Semarang dan Jombang) menggunakan taring undang-undang itu untuk menjerat pemilih yang mencoblos dua kali, saat pemungutan suara 9 Juni silam. Pemakaian Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 1 Tahun 1985) itu, dalam catatan TEMPO, baru pertama kalinya. Sebelum ini pelanggar pemilu hanya dikenai pasal pidana biasa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut penelitian Sintong Silaban dalam buku Tindak Pidana Pemilu, pelanggaran Pemilu umumnya diselesaikan dengan musyawarah. Di Sumatera Utara, dari 15 MDNMpelanggaran Pemilu 1987, tak satu pun yang dibawa ke pengadilan. Silaban menduga, gejala ini berkaitan dengan keputusan politik. Penemuannya menunjukkan pelanggaran itu menguntungkan partai terkuat, Golongan Karya (Golkar). Jika pelanggaran itu dibeberkan, bisa jadi akan menurunkan jumlah perolehan suara. Tapi kini keadaan telah berubah. Pelanggaran di Semarang dan Jombang itu juga untuk memperbesar kemenangan Golkar, tapi pelakunya diseret ke pengadilan. Dan yang menarik untuk dicatat, jaksa menggunakan ancaman pidana yang tercantum dalam UU Pemilu. Pada peradilan yang di Jombang, dua terdakwa, Kasmin dan Musta'in, dituduh melanggar pasal 27 ayat 7 UU Pemilu. Mereka diancam hukuman 5 tahun penjara. Dua penduduk Desa Barong Sawah ini mengaku mencoblos dua kartu suara atas namanya dan atas nama orang lain, yang kebetulan tak bisa datang mencoblos karena sakit. "Saya melakukan itu atas izin Ketua Panitia Pemilihan," kata Kasmin, petani buta huruf berusia 60 tahun ini, dengan lugu. Gerak-gerik mereka, yang berada cukup lama di dalam bilik pencoblosan, mengundang rasa curiga saksi PPP, Achwanul Muslimun. Begitu mereka keluar, langsung ditanya Achwanul. Dengan polos mereka menjawab, memang telah mencoblos dua kartu suara dan diketahui Ketua Panitia -- Ketua Panitia sendiri membantah. Saat itu juga dua orang yang masih bersaudara itu dilaporkan ke polisi Jombang, dan selanjutnya diproses. Di Pengadilan Negeri Semarang, Nuriah dan anaknya Yudiani duduk berdampingan di kursi pesakitan. Seperti di Jombang, mereka dituduh mencoblos dua kali. Terbongkarnya kasus itu, menurut Jaksa Budiwati, bermula dari tertangkapnya Yudiani, sesaat setelah mencoblos di TPS 4 Kelurahan Sumeneban. Taufik, saksi dari PPP, memergokinya. Sebagai penduduk asli Sumeneban, Taufik tahu persis, Yudiani yang baru tamat SMA itu bukan warganya. Kebetulan ia juga tahu, Yudiani penduduk Kelurahan Purwodinatan, tetangga Sumeneban. Setelah diusut, ketahuan bahwa Yudiani sudah mencoblos. Ia mengakui terus terang, kartu suara itu diperoleh dari ibunya, yang kendati orang Purwodinatan, bekerja sebagai Kepala Urusan Umum Kelurahan Sumeneban. "Saya hanya disuruh Ibu," kata Yudiani, polos. Di persidangan, Nuriah mengaku menyuruh anaknya mencoblos di kelurahan tempat ia bekerja. Bahkan diketahui pula, Nuriah sebenarnya juga punya dua kartu suara, tapi begitu anaknya tertangkap, ia urung menggunakan kartunya. Sebagai anggota panitia pendaftar pemilih, tidak sulit bagi Nuriah untuk mendapat kartu dobel. "Perbuatan saya atas sepengetahuan Kepala Desa," katanya. Tapi di pengadilan, Kepala Desa Sumeneban, Daliman, membantah keras tuduhan anak buahnya itu. "Perbuatanmu ngawur dan mengacaukan data kelurahan sampai pusat," kata Ketua Majelis Hakim Andhika Wijaya. "Apa ada pesan untuk memenangkan Golkar?" tanya hakim lagi. "Saya tak berani berkomentar, karena Wali Kota Semarang meminta saya untuk diam," jawab Nur. Kendati ancaman hukuman terberat 5 tahun penjara, Jaksa Budiwati Sabtu pekan lalu menuntut hanya 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan untuk Yudiani. Sedangkan Nur dituntut 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan. Begitu mendengar tuntutan itu, ibu dan anak itu menangis. "Saya benar-benar menyesal," kata Nur terisak. Celakanya, Nur seolah dicampakkan oleh atasannya. Karena, begitu kasusnya terbongkar, jabatannya sebagai Kepala Urusan Umum Kelurahan Sumeneban dicopot. Ia dipindahkan ke kantor Wali Kota Semarang. Kalau benar pengakuan Nur yang menyebut perbuatannya itu diketahui atasan, mengapa hanya Nur yang dikorbankan? Terlepas dari itu, penyidangan kasus pelanggaran pemilu itu -- yang menggunakan pasal dalam UU Pemilu -- disambut gembira sejumlah praktisi hukum. Namun, tuntutan jaksa dinilai advokat senior Semarang, Susilo Yuwono, terlalu ringan. "Kejahatan pemilu adalah masalah serius. Kalau vonisnya ringan, saya khawatir kejadian serupa akan berulang," katanya. Ahli hukum pidana Fakultas Hukum UI, Dr. Loebby Loqman, tak sependapat. Ia melihat tuntutan itu sebagai sesuatu yang patut dipersoalkan. "Tujuan Undang-Undang itu bukan menghukum, tapi menegakkan hukum. Yang penting adalah supaya orang tak menyepelekan Pemilu," ujar Loebby. Ia berharap, dihukumnya pencoblos dobel itu bisa dijadikan pelajaran agar masyarakat tidak seenaknya mencederai demokrasi. "Perbuatan mereka termasuk tindak pidana ketatatanegaraan," katanya. Aries Margono, Bandelan Amarudin, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini