Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hakim Memvonis

Suparlan terbukti melakukan kejahatan pemerkosaan anak sampai korban mati. hakim memvonis hukuman mati tanpa menunjuk pasal kuhp yang telah dilanggar. jaksa mengajukan naik banding. (hk)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI sebuah pengadilan yang sepi - hanya dengan hakim tunggal, tanpa pembela dan lewat sekali sidang tidak lebih dari satu jam -- nasib seorang tertuduh ditentukan: Suparlan (40 tahun), buruh bangunan di Surabaya, dijatuhi hukuman mati. Ini mungkin peristiwa paling mengejutkan dalam sejarah pengadilan Indonesia. Lihatlah. Baru tiga hari vonis, yang jatuh 29 November, Hakim Suradi SH dari Pengadilan Negeri Surabaya sudah lupa pasal mana yang pernah dipilihnya untuk menghukum pesakitannya tersebut. Kepada TEMPO hakim ini menggumumkan beberapa pasal -- yang tidak bisa ditangkap pasal mana yang dimaksud. "Nanti dulu," ujar Suradi, "tanyakan saja kepada panitera." Ternyata Panitera Asnan juga "lupa". Adakah hakim menjatuhkan sesuatu hukuman tanpa menunjuk pasal KUHP yang dilanggar. Barangkali demikian. Sebab Jaksa Titiek Waluyo sendiri, yang membawa Suparlan ke pengadilan, memang tidak ada mendengar Hakim Suradi menyebutkan sesuatu pasal sebelum membacakan keputusannya -- luar kepala -- dan mengetukkan palu vonisnya. Yang jelas, menurut jaksa ini, hakim tidak menyebut pasal-pasal tuduhan dan tuntutan. Yaitu yang menyangkut kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur (sampai korban mati) dengan ancaman hukuman paling banter 15 tahun penjara (pasal-pasal 287 yo 291, 338 dan 365 KUHP). Kejahatan Suparlan memang terbukti. Mei lalu, buruh bangunan itu membujuk dan memaksa Mariana, gadis kecil berumur 7 tahun, melayani nafsu setannya di sebuah rumah di Jalan Dukuh Kupang (Surabaya). Karena korbannya menolak dan memberontak, menurut Suparlan, dia terpaksa mencekik lehernya. Mariana tewas. Sebelum meninggalkan korbannya-yaitu sebelum kabur dan bersembunyi di rumah keluarganya di Jakarta -- Suparlan masih menyikat anting-anting emas dari telinga Mariana. Korban diketemukan keluarganya di tempat kejadian. Tempat itu ialah sebuah rumah yang sedang diperbaiki oleh Suparlan -- di seberang rumah korban sendiri. Mariana terbungkus kasur. Jaksa Titiek sedianya akan menuntut Suparlan dengan hukuman tertinggi 15 tahun penjara. Tapi, katanya, mengingat tertuduh tidak rewel mengakui semua tuduhan dan menyesali perbuatannya tuntutan diturunkan jadi 14 tahun penjara. Selesai jaksa membacakan tuntutannya ayah Mariana yang duduk di kursi saksi, Nasar, angkat tangan "Saya usul pak hakim," seru Nasar. Walaupun terasa janggal -- tak ada hak bagi seorang saksi (yang dirugikan sekalipun) untuk mengajukan keberatan terhadap tuntuan jaksa -- hakim mengizinkan Nasar bicara juga. "Saya tidak bisa menerima tuntutan jaksa .... saya mohon pengadilan berjalan seadil-adilnya. Caranya, nyawa diganti dengan nyawa!" lanjut ayah yang kehilangan anak ke-5-nya itu. Dia juga mempersoalkan: mengapa jaksa tidak membawakan pasal-pasal bagi kejahatan pembunuhan berencana yang diancam hukuman mati atau selama-lamanya 20 tahun penjara? Terserah Hakim ternyata juga melayaninya. " Apakah saudara minta hukuman mati?" desak hakim. Nasar menjawab: "Terserah .... saya sudah minta, nyawa diganti nyawa." Perdebatan berakhir ketika hakim menyadari peranannya di pengadilan. "Saudara tidak berhak mencampuri urusan ini -- karena saudara hanya saksi," sergah hakim lulusan UGM (1952) ini dengan wajah kemerah-merahan. Namun Nasar masih menyelipkan sebuah kalimat lagi "Saya ini orang tua liorban. Bagaimana kalau Bapak hakim sendiri mengalami?" Hakim Suradi menghentikan dan menunda sidang. Lima menit kemudian ia sudah siap dengan keputusannya -- dan ternyata isinya seperti yang diharapkan Nasar. Suparlan, tanpa menunjukkan kesan apapun, menerimanya. Itu membuat jaksa yang menuduh dan menuntutnya penasaran. "Apa kamu 'ngerti putusan hakim tadi?" tanya Jaksa Titiek. Suparlan geleng kepala. Wah. "Saya sudah menasihatkan agar dia mencabut pernyataannya," kata Titiek. "Dan saya sendiri naik banding," lanjutnya. Dengan naik bandingnya pihak jaksa, masih boleh diharapkan, keputusan pengadilan tingkat pertama dapat diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi. Tanpa upaya jaksa wanita itu hukuman bagi pesakitan yang buta hukum akan menjadi pasti. Dan Pusbadhi (Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum Indonesia) di Jakarta memujinya begitulah sikap penegak hukum sejati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus