DARI sebuah pengadilan yang sepi - hanya dengan hakim tunggal,
tanpa pembela dan lewat sekali sidang tidak lebih dari satu jam
-- nasib seorang tertuduh ditentukan: Suparlan (40 tahun), buruh
bangunan di Surabaya, dijatuhi hukuman mati. Ini mungkin
peristiwa paling mengejutkan dalam sejarah pengadilan Indonesia.
Lihatlah. Baru tiga hari vonis, yang jatuh 29 November, Hakim
Suradi SH dari Pengadilan Negeri Surabaya sudah lupa pasal mana
yang pernah dipilihnya untuk menghukum pesakitannya tersebut.
Kepada TEMPO hakim ini menggumumkan beberapa pasal -- yang
tidak bisa ditangkap pasal mana yang dimaksud. "Nanti dulu,"
ujar Suradi, "tanyakan saja kepada panitera." Ternyata Panitera
Asnan juga "lupa".
Adakah hakim menjatuhkan sesuatu hukuman tanpa menunjuk pasal
KUHP yang dilanggar. Barangkali demikian. Sebab Jaksa Titiek
Waluyo sendiri, yang membawa Suparlan ke pengadilan, memang
tidak ada mendengar Hakim Suradi menyebutkan sesuatu pasal
sebelum membacakan keputusannya -- luar kepala -- dan
mengetukkan palu vonisnya. Yang jelas, menurut jaksa ini, hakim
tidak menyebut pasal-pasal tuduhan dan tuntutan. Yaitu yang
menyangkut kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur
(sampai korban mati) dengan ancaman hukuman paling banter 15
tahun penjara (pasal-pasal 287 yo 291, 338 dan 365 KUHP).
Kejahatan Suparlan memang terbukti. Mei lalu, buruh bangunan itu
membujuk dan memaksa Mariana, gadis kecil berumur 7 tahun,
melayani nafsu setannya di sebuah rumah di Jalan Dukuh Kupang
(Surabaya). Karena korbannya menolak dan memberontak, menurut
Suparlan, dia terpaksa mencekik lehernya. Mariana tewas.
Sebelum meninggalkan korbannya-yaitu sebelum kabur dan
bersembunyi di rumah keluarganya di Jakarta -- Suparlan masih
menyikat anting-anting emas dari telinga Mariana. Korban
diketemukan keluarganya di tempat kejadian. Tempat itu ialah
sebuah rumah yang sedang diperbaiki oleh Suparlan -- di seberang
rumah korban sendiri. Mariana terbungkus kasur.
Jaksa Titiek sedianya akan menuntut Suparlan dengan hukuman
tertinggi 15 tahun penjara. Tapi, katanya, mengingat tertuduh
tidak rewel mengakui semua tuduhan dan menyesali perbuatannya
tuntutan diturunkan jadi 14 tahun penjara.
Selesai jaksa membacakan tuntutannya ayah Mariana yang duduk di
kursi saksi, Nasar, angkat tangan "Saya usul pak hakim," seru
Nasar. Walaupun terasa janggal -- tak ada hak bagi seorang saksi
(yang dirugikan sekalipun) untuk mengajukan keberatan terhadap
tuntuan jaksa -- hakim mengizinkan Nasar bicara juga. "Saya
tidak bisa menerima tuntutan jaksa .... saya mohon pengadilan
berjalan seadil-adilnya. Caranya, nyawa diganti dengan nyawa!"
lanjut ayah yang kehilangan anak ke-5-nya itu. Dia juga
mempersoalkan: mengapa jaksa tidak membawakan pasal-pasal bagi
kejahatan pembunuhan berencana yang diancam hukuman mati atau
selama-lamanya 20 tahun penjara?
Terserah
Hakim ternyata juga melayaninya. " Apakah saudara minta hukuman
mati?" desak hakim. Nasar menjawab: "Terserah .... saya sudah
minta, nyawa diganti nyawa." Perdebatan berakhir ketika hakim
menyadari peranannya di pengadilan. "Saudara tidak berhak
mencampuri urusan ini -- karena saudara hanya saksi," sergah
hakim lulusan UGM (1952) ini dengan wajah kemerah-merahan. Namun
Nasar masih menyelipkan sebuah kalimat lagi "Saya ini orang tua
liorban. Bagaimana kalau Bapak hakim sendiri mengalami?"
Hakim Suradi menghentikan dan menunda sidang. Lima menit
kemudian ia sudah siap dengan keputusannya -- dan ternyata
isinya seperti yang diharapkan Nasar.
Suparlan, tanpa menunjukkan kesan apapun, menerimanya. Itu
membuat jaksa yang menuduh dan menuntutnya penasaran. "Apa kamu
'ngerti putusan hakim tadi?" tanya Jaksa Titiek. Suparlan geleng
kepala. Wah. "Saya sudah menasihatkan agar dia mencabut
pernyataannya," kata Titiek. "Dan saya sendiri naik banding,"
lanjutnya.
Dengan naik bandingnya pihak jaksa, masih boleh diharapkan,
keputusan pengadilan tingkat pertama dapat diperbaiki oleh
Pengadilan Tinggi. Tanpa upaya jaksa wanita itu hukuman bagi
pesakitan yang buta hukum akan menjadi pasti. Dan Pusbadhi
(Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum Indonesia) di Jakarta
memujinya begitulah sikap penegak hukum sejati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini